Part 1

2.8K 238 16
                                    

Apa yang aku rasa tidak mungkin bisa kutunjukan. Semua hanya ada dalam diriku. Ketika rasa percaya yang aku anggap penting. Hanya sebuah kiasan dalam ucapan...


Tatapan gadis itu tidak pernah menyiratkan emosi apapun. Saat ia bertemu lawan jenis terutama. Sorot mata yang ingin dan redup yang akan menyambut pria itu. Gadis yang lebih senang menyendiri daripada bergaul. Memilih sendiri daripada melibat perasaan entah itu teman, sahabat terlebih kekasih. Dengan orang yang membantunya dalam pekerjaan pun semuanya hanya sebatas rekan kerja tidak lebih. Ia sangat menghindari itu.

Fahrania Ayu Pradikta, ia sangat ingin menghapus nama belakangnya. Fahrania sangat membenci nama yang diwarisi oleh ayah kandungnya. Seorang ayah yang tega meninggalkannya demi wanita lain. Rasa benci dan dendam tertanam dihatinya. Ia tidak mau bertemu dengan Damar, ayahnya. Selama 20 tahun Fahrania menolaknya. Di saat usia 4 tahun masih teringat jelas ketika ibunya di tampar oleh ayahnya. Ia menjadi saksi dimana Damar tidak menyayanginya.

"Rania, bangun, sudah jam delapan?" bisik Daninda ditelinganya. Fahrania masih enggan bangun dari tidurnya. "Rania, Daddy pulang.." lanjutnya.

"Eum.. Daddy, Mom?" ucapnya serak.

"Mendengar kata Daddy langsung bangun, kamu ini ya," Daninda mendelik.

"Mom sayang," Fahrania berbalik memeluk peluknya. Menyenderkan kepalanya di perut Daninda.

"Sudah bangun, Daddy menunggu di meja makan. Kasihan Daddy menunggumu bangun dari tadi."

"Iya, Mom," Fahrania bangun lalu duduk mengumpulkan nyawanya yang belum terkumpul penuh. Daninda keluar dari kamar. Semalam Fahrania menelepon Daniel untuk mengizinkannya liburan ke Amerika Serikat. Namun Daniel belum mengiyakannya. Ia menurunkan kakinya mencari sandal. Sebenarnya Fahrania masih mengantuk. Semalam ia sedang mencari ide untuk barang-barang yang menjadi endorsenya. Fahrania adalah seorang selebgram. Ia hanya ingin sesuai konsepnya. Jika pemilik barang menolaknya Fahrania tidak memaksa.

Kakinya melangkah ke kamar mandi. Ia berdiri di depan cermin. Mencoba menarik bibirnya agar bisa tersenyum dimuka umum. Terasa sulit. Berkali-kali setiap pagi ia belajar untuk tersenyum. Nyata setelah dipratekkan hanya tatapan sinis yang ditampilkannya. Ia telah berusaha namun hatinya selalu menolak.

"Rasanya tidak mungkin," desahnya. Mengabaikan semua usahanya. Ia segera mandi.

***

Orangtuanya Fahrania menunggu di meja makan. Daniel sibuk dengan ponselnya. Daninda menghela napas, masih di rumah saja suaminya tetap bekerja. Ia memandangi Daniel. Sampai pria itu menyadarinya, menoleh ke arah Daninda. Bibirnya tersenyum dan mengucapkan kata maaf.

"Dirumah itu waktunya bersama keluarga." Daninda mengucapkannya dengan dingin.

"Maaf, sayang. Aku hanya mengecek email saja." Diraihnya tangan sang istri.

Fahrania memandangi keduanya dari kejauhan. Kelak ia ingin seperti orangtuanya. Namun untuk berhubungan dengan pria, hatinya selalu menolak. Pria satu-satu yang dapat dipercaya hanyalah ayah tirinya. Semakin ia ingin melangkah dari zona amannya. Seperti ada dinding tinggi yang menghalanginya. Dulu Fahrania pernah mencoba lagi-lagi rasa masa lalu membuatnya mundur. Sendiri lebih baik.

"Selamat pagi," sapanya. Fahrania mencium pipi Daninda dan Daniel.

"Akhirnya yang ditunggu keluar juga," ucap Daniel.

"Daddy," rengek Fahrania. Hanya kepada Daniellah ia bisa bermanja-manja.

"Setelah lulus kuliah kamu semakin malas saja, Rania."

Heart Is Beating (GOOGLE PLAY BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang