"HAAHH..."
Yeri bangkit dengan cepat dari posisi tidurnya menjadi duduk. Keringat bercucuran turun dari dahinya. Napasnya terengah-engah dan jantungnya berdetak kencang, persis seperti habis berlari. Padahal, ia baru saja bangun dari tidur.
"Pusing." Yeri memegangi kepalanya yang terasa berat. "Tadi itu cuman mimpi 'kan?"
Bukan.
Mungkin ada jawaban dari sebuah pertanyaan yang ingin coba disampaikan. Sesuatu itu yang menghampiri Yeri hampir tiap malam.
Berulang kali, sampai ia terjebak dalam halusinasi yang sakit.
Yeri sudah mencoba untuk tak membayangkannya, melupakannya. Menganggap hal itu hanya mimpi belaka yang akan dilupakan saat esok tiba.
Tapi semuanya sama dan tak bisa ia lupa. Selalu ada pemuda itu dalam tengah malamnya.
Kali ini juga.
"Tidak lanjut tidur?"
Suaranya pelan, serak, dan membuatnya bergidik -kalau saja ia bisa bergidik. Yeri diam. Matanya jadi bergerak gelisah kala ada jari dingin yang menyentuh lengannya, ditarik ke atas dan ke bawah. Jendela di sampingnya terbuka sedikit, Yeri tahu kalau diluar gelap. Dan mungkin besok, jika ia bisa melewati mala mini, ia akan membiarkan lampu menyala hingga pagi. Dengan itu mungkin pemuda itu tak akan kembali pada tidurnya.
Pemuda itu pernah mengenalkan diri,
Disebutkan satu nama yang menjadi panggilannya,
Juvano.
Membuat Yeri ingin menamparnya karena kepala hitamnya sempat bersandar di perutnya sambil bergumam kata-kata. Pada kenyataannya, Yeri tak bisa. Badannya kaku dan terkekang.
"Aku bisa berjaga di sini kalau kamu mau."
Memperlihatkan sisa-sisa darah di ujung bibirnya, Juvano menyeringai. Bekas dari masa lalu. Laki-laki berambut hitam kelam itu masih memiliki sesuatu yang mengganjal, mencegahnya unttuk pergi. Sempat dikatakan, namun hanya sampai tengah. Sisa kisah dibiarkan menggantung. Membuat Yeri takut dan penasaran di saat yang sama.
"Menjauhlah," Yeri berkata pelan, hampir seperti bergumam tapi masih bisa didengar Juvano.
Kemudian Juvano melepaskan segala yang ia lakukan, mundur ke belakang dengan Yeri yang mencoba untuk tak menyaksikan. Tapi mustahil. Yeri dikunci, dipaksa untuk memusatkan perhatian pada Juvano seorang. Ujung pakaian putih itu disobek, lalu dililitkan pada guratan menganga yang mengintip di mata kaki saat sekiranya Yeri tak memperhatikan-walau akhirnya gagal karena ia tetap melihat lukanya.
Yeri selalu ingin tahu apa Juvano tengah merasa sakit.
"Ups. Sepertinya semakin hari aku berhasil membuatmu bertambah takut. Tenanglah, aku tak akan menjadi lebih buruk dari ini kalau kamu berharap demikian."
Ia mencoba mencerna. Pikirannya saling meloncat lamat-lamat. Yeri tak bisa berpikir dan sepertinya otaknya pun menolak. Lalu ia kembali tertidur. Ia belum lupa isi mimpinya ketika Juvano mendekat lagi dan duduk diam di sampingnya sambil memegang jari kelingkingnya.
Yeri berharap hanya mimpi.
"Kamu mencoba mengusirku," ucap Juvano. wajahnya bertambah pucat seperti terkurung di tempat gelap sekian lama. "Jahat."
Juvano menunduk, melorot ke lantai kayu. Ia mencengkram selimut Yeri kencang. Yeri diam, napasnya barangkali ingin berhenti. Ketika kepala Juvano mendongak memandangnya, ada satu goresan dalam di pipi, juga di pelipis. Dan ia tak tahu apakah ada juga hal serupa di balik bajunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daydream [New Version]
Teen Fiction❝ Kisah yang belum selesai, melahirkan kembali sebuah ikatan baru dengan delusi sebagai penghubung. Mimpi aneh Yeri tentang hal yang tak ia kenali, Semuanya berawal dari sana. ❞ ˗ ˏ ˋ ft 99-00 liners ˎ ˊ ˗ warn; semi-baku, local name by akun...