rambutnya berantakan. begitu juga gaun selututnya. matanya yang berkaca kaca menatap matahari yang terbenam.
"Bahkan tuhan nggak ngizinin aku ganti baju sebelum aku mati!" teriaknya. ujung tangannya meremas gaun yang dikenakannya. mati matian menahan air matanya agar tidak tumpah.
"Sekarang aku harus kemana? mau mu apa? hah?" teriaknya lagi. kali ini air matanya tumpah tanpa bertanya. dia berlutut diatas pasir putih "mau jadiin aku hantu? arwah penasaran? atau--"
"bukan hantu, bukan arwah penasaran, tapi jiwa." tersadar ada yang mengawasinya dari tadi, gadis itu dengan cepat mengusap air matanya, lalu membalikkan badannya. tampak seorang kakek tua berjalan ke arahnya sambil tersenyum hangat. sedikit menyeramkan, menurutnya.
"kau adalah jiwa." kakek itu mengusap kepalanya lalu kembali tersenyum. gadis itu tak dapat bicara, ia terlalu terkejut. "kau akan mengerti nanti." sambung kakek itu lagi, lalu raib bersama angin.
"tu, t, tung.." ucapnya terbata bata, lalu mengacak acak rambutnya. " jangan pikirkan, tuhan akan membuatmu gila jika kau memikirkannya terus." katanya pada diri sendiri. lalu menyeret kedua kaki kecilnya dengan malas, berharap menemukan 'jiwa' lain untuk mencari informasi, yang pasti tak seaneh kakek tadi. bisa menghilang atau apalah.
***
sekolah, sebaik atau seburuk apapun hidupmu. tak dapat dipungkiri sekolah berperan besar didalamnya. bagaimanapun setengah harimu dihabiskan di sekolah. dan disinilah gadis itu sekarang, berdiri dari luar gerbang menatap sekolahnya yang bahkan tak terlihat menyeramkan sama sekali saat malam. gedung sekolah tempat hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat. setelah beberapa menit terpaku menatap gedung sekolah. matanya menangkap seseorang berhoodie yang berjalan keluar dari gerbang. gerak geriknya mencurigakan. gadis itu memutuskan untuk mengikutinya.
laki laki itu berjalan dengan sunyi. semakin lama langkahnya semakin cepat dan besar. dan jalan yang mereka lewati juga semakin sempit dan gelap. hingga beberapa menit kemudian, langkahnya terhenti.
"apa yang lo mau?" gadis itu mengernyitkan dahi. jelas jelas tak ada orang lain selain laki laki itu disini. apa dia gila? atau laki laki itu bicara padanya? lalu gadis itu teringat dengan kejadian kakek di pantai tadi. akhirnya ia memberanikan diri untuk menjawab. sekedar memastikan
"hah?" jawabnya pendek. hanya ingin memastikan dengan siapa laki laki itu bicara. tak mendapat respon, gadis itu melanjutkan "gue?"
"iya, lo." laki laki itu membalikkan tubuhnya. dan membuka hoodie yang menutupi kepalanya. "Alexandra Williams. most wanted sekolah setelah saudarinya, Aleena Williams. yang meninggal 2 hari yang lalu karena.. kecelakaan?" dengan jelas dia melontarkan sebuah pertanyaan retoris. "sebuah kehormatan" gadis yang disebut bernama Alexandra itu melongo. "apapun tujuan lo nemuin gue, atau entah jiwa mana yang memberi informasi ke lo. yang jelas gue enggak tertarik buat bantu lo." jawabnya.
Gadis itu bingung dengan semua kalimat yang dilontarkan laki laki di depannya. "Lo kenal gue?" tanyanya. lawan bicaranya berdecih.
"nggak usah bersandiwara. lo pasti tau banyak tentang gue dari jiwa jiwa lain kan?"
"hah?" Alexandra mengernyitkan dahi.
"lupain. sandiwara lo keterlaluan." potongnya cepat lalu pergi meninggalkan Alexandra yang terpaku di tempat berdirinya dengan sejuta pertanyaan di kepalanya
***
"Jadi nama lo Austin?" tanya Alexandra setelah membaca sampul buku yang terletak di meja belajarnya. "Austin White. Untuk ukuran seorang laki laki tampan yang nggak pernah dinotis warga sekolah, rumah lo lumayan juga." Ujarnya sambil berkeliling kamar.
kamarnya luas. itu kesan pertama Alexandra saat masuk ke kamar Austin. satu sisi dipenuhi dengan rak buku yang berisi novel dan komik yang sepertinya merupakan favorit Austin. di sisi lainnya, ada set game lengkap. juga beberapa alat musik. juga barang barang yang lumrah ditemukan di kamar remaja laki laki seumurannya. kamarnya juga rapi. hal yang menurut Alexandra membuat kamar ini spesial adalah balkonnya. balkon yang hanya dibatasi dinding kaca dari kamarnya itu menunjukkan pemandangan kota yang luar biasa. ditambah dengan set seofa yang cocok untuk istirahat setelah menghabiskan hari panjang di luar. di pojok balkon juga terdapat teleskop serta kursi kecil.
pikirannya berteriak "ini kok jadi ngagumin kamar orang sihh?!"
"enyahlah" Austin menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.
"jadi nggak ada tempat buat gue?" Alexandra meninggikan suaranya karena merasa diabaikan. satu tangan Austin keluar dari selimut. menunjuk balkon.
"disana bakal dingin. tapi karena lo bukan manusia, mungkin gapapa." katanya lalu kembali menarik tangannya kedalam selimut. Alexandra berdecak. "lagian lo juga tamu ngga diundang."
"Austin." panggilannya tak dihiraukan.
dia berteriak "AUSTINNNN!"
"hmm?"
"Lupain." ujarnya kesal lalu berjalan sambil menghentak hentakkan kakinya ke lantai
kedua tangannya menggenggam erat pagar pembatas. mendadak air matanya menetes. dia menggeleng gelengkan kepalanya lalu menjambak rambutnya.
"Alexandra." isaknya
"kau bodoh" jambakannya makin kuat
"bodoh!" teriaknya.
"kau percaya semuanya"
"kau mengikuti permainannya."
"bodoh! kau berakhir seperti ini sekarang" teriaknya
"rambut lo yang rontok nggak bakal tumbuh lagi. jadi jangan buat hal bodoh." suara Austin menyadarkan Alexandra. Austin menggeser pintu kaca, lalu duduk di salah satu sofa panjang yang ada di balkon tanpa mengalihkan pandangannya dari Alexandra. Alexanda mengusap wajahnya kasar.
"lo ganggu gue tidur." seolah bisa membaca pikirannya, Austin menjawab dengan cepat. Alexandra berdecih lalu bergabung disampingnya.
"ceritain."
"hah?"
"ceritain semuanya. yang buat lo bisa jadi gini, yang buat lo nangis. ceritain."
Tbc.

YOU ARE READING
Where A Soul Goes
RandomDia hanyalah seorang gadis, yang menjalani hidup sempurnanya. Hingga satu kata mengubah jalan hidupnya. Bukan jalan hidupnya, lebih tepatnya, jalan kematiannya.