Alexandra memamerkan deretan giginya dengan tersenyum "Nggak ada apa apa kok. maaf banget udah ngeganggu lo tidur. gue enggak bakal gitu lagi kok. maaf banget yah, hehe" dia kembali menunjukkan senyum manisnya. manis. seandainya dia tak melakukan itu setelah menangis.
"hah, lo ngarep gue bakal balik ke kamar, tidur terus lo bisa puas puasan nangis tanpa buat suara?" jawabnya lalu memalingkan wajah. "gua ga bakal.. maksudnya gua bakal terganggu lagi nanti." Alexandra cemberut. "dan gue nggak bakal bisa tidur lagi. mau ngelakuin hal hal yang lain?"
"hal lain?" Alexandra yang tadinya menunduk lesu mengangkat kepalanya.
"pesta barbeque tengah malam?" tanya Austin. Alexandra mengernyitkan dahi. "lo bisa makan. asal lo tau. walaupun lo nggak bakal pernah ngerasain lapar." katanya lagi lagi seolah membaca pikiran Alexandra. Alexandra mengangguk mengerti.
"darimana lo bisa dapet daging malem malem gini?" Austin tersenyum penuh kemenangan. entah kenapa itu membuat perasaan Alexandra menjadi tidak enak.
"watch and learn." katanya lalu beranjak dari sofa dan masuk ke kamar. Alexandra mengikutinya. Austin menyambar walkie talkie yang sebelumnya terletak di meja belajarnya. memencet sebuah tombol, lalu berkata "ambilkan aku beberapa daging untuk pesta barbeque." dia meletakkan walkie talkie itu kembali. lalu tersenyum. lagi lagi perasaan Alexandra tak enak. "sekarang kita tunggu." ujarnya lalu menghempaskan dirinya ke tempat tidur.
"aaah tempat tidurku yang nyaman, aku mencintaimu tempat tidurkuu~" Alexandra yang mendenganya tertawa kecil. tiba tiba pintu terbuka dan menampilkan beberapa orang yang terlihat mengantuk.
"letakkan saja di balkon." beberapa orang itu berjalan sambil membawa barang barang yang diminta Austin. sedangkan Austin kembali bermesraan dengan tempat tidurnya. setelah orang orang itu keluar dan Alexandra berhasil mengontrol tatapan melongonya, dia berkacak pinggang.
"nggak punya rencana bangun?" austin yang sedang asik pun bangun dengan cepat sambil memegangi perutnya. "uuh laper banget. sakit perut, Lexa, lo bisa manggang kan? buatin dong."
Alexandra mencibir. "Lexa Lexa makan noh kerak panggangan!" karena kesal Austin meninggalkannya lalu pergi ke balkon.
"WOI!!" Alexandra berteriak lalu menyusulnya.
"mentang mentang orang nggak bisa ngedengerin lo lo pikir lo bisa teriak seenak jidat lo? mikirin dong nasib kaca jendela gue" jawabnya. Alexandra mendengus.
bunyi desisan daging yang dipanggang menggugah selera. paduan dari udara dingin dan makanan hangat memang luar biasa. ditambah lagi pemandangan dari balkon. dan satu lagi, Austin pandai memanggang. sepertinya dia sering memanggang. ini sudah beberapa bulan sejak terakhir kali Alexandra memakan daging yang dipanggang di depannya.
"kenyang?" itu kalimat pertama yang keluar dari mulut Austin setelah mereka selesai makan. Alexandra mengangguk. "kok gue jadi nggak tega nyuruh lo tidur di balkon ya?" katanya lagi lalu terkekeh. Alexandra masih diam, mengagumi gugusan bintang yang terbentang diatas mereka.
"mau ke kamar tamu?" Alexandra yang sejak tadi terpaku keatas beralih menatapnya. "lo bukan datangin gue karena informasi dari jiwa jiwa lain." Katanya. Alexandra mengernyitkan dahinya tanda tak mengerti. "gue pikir kita bakal jadi teman dalam waktu dekat." Dia berdiri.
Melihat Alexandra tak ikut bangun, Austin mengambil inisiatif untuk bertanya. "kok masih disitu?" alexandra tersadar dan berdiri mengikuti Austin.
Mereka memasuki kamar yang terletak tepat disebelah kamar Austin. Dengan warna dinding biru muda, ruangan ini menyejukkan mata. Luasnya sama dengan kamar Austin, hanya saja lebih kosong. Tak ada tanda tanda kehidupan. Ah, apa yang Alexandra harapkan dari sebuah kamar tamu?
"tetap disini sampe pagi. Lo bisa ganti baju, ambil aja di lemari. Pasti banyak yang belum lo tau tentang 'kehidupan' lo yang sekarang." Katanya sambil membentuk kedua tanda petik dengan tangannya. "kita bisa bahas itu nanti. Istirahatlah. Lo jadi jiwa, bukan berarti lo nggak bisa bertingkah laku kaya manusia, lo bisa mandi, makan, tidur, dan ngelakuin apapun. tapi lo juga bisa nembus peluru. Intinya, jadi jiwa nggak seburuk itu." Austin mengusap wajahnya lalu menguap. "udah, ya? Gua balik. Udah kenyang ngantuknya balik. Night." Katanya lalu membalikkan badan dan keluar.
***
"Mau ikut gue ke sekolah?" sebuah suara membangunkan Alexandra dari tidurnya setelah malam yang panjang. Alexandra pun duduk di atas tempat tidurnya. Austin melanjutkan kalimatnya. "mungkin lo pengen liat muka Aleena, atau temen temen lo yang dulu. Atau mungkin lo kangen sama guru yang selalu nahan lo asal telat?" dia mengangkat pergelangan tangannya untuk melihat jam "mumpung sekarang kita udah telat, kuy!" katanya lalu beranjak. Alexandra yang masih mengucek matanya mengikuti Austin dengan langkah berat.
"gile lo. Sekolah masuk jam 7 dan dengan santainya lo datang jam 8 lewat? Lo nggak tau semacet apa jalan di jam sesibuk ini? Dan lo bawa mobil?" matanya terbelalak saat melihat jam. Austin tertawa lalu menyalakan lagu dan membesarkan volumenya.
"ini seru juga." katanya lalu terkekeh. Playlist lagu berganti menjadi lagu yang diketahui oleh mereka berdua. Alhasil, mereka mengarungi macetnya jalan sambil bernyanyi kecil.
"sampai." Kata Austin lalu memarkirkan mobilnya agak jauh dari gerbang sekolah. alexandra kebingungan. "lo bingung kan kenapa gue nggak pernah dinotis warga sekolah? ya karena ini. Gue enggak narik perhatian. Nggak mungkin lah gue markirin mobil semewah ini di parkiran sekolah. bisa geger." Ujarnya lagi dengan wajah sombongnya yang tak terkontrol. Alexandra menatapnya sinis.
"eeh tapi tunggu dulu!" gerakan Austin yang ingin membuka pintu sontak berhenti. "tadi lo bilang guru yang selalu nahan gue kalo telat. Lo tau gue sering telat?" tanyanya.
"nggak penting." Austin keluar dari mobil. Dan kembali menutup pintu. "Buruan! Lo bisa nembus pintu kan? Gue kunci terus ya!" lalu dengan santainya Austin berjalan pergi—menuju gerbang sekolah.
Alexandra mendengus. "ditinggal mulu, heran."
"Austin White ya.." miss Sandra terlihat menulis sesuatu di bukunya, sedangkan siswa di depannya hanya menatap sekeliling dengan santai. "ada request hukuman? Atau punya persyaratan khusus?" tanya beliau sembari membenarkan posisi kacamatanya.
"gini miss, sebenarnya saya agak sensitif jika menjadi pusat perhatian, jadi lebih baik kalo saya nggak dikasih hukuman lari di tengah lapangan atau bawa bawa papan bertulisan 'saya telat' keliling sekolah"
Sementara itu Alexandra yang berdiri tak jauh dari posisi Austin dan Miss Sandra menggeleng tak percaya, mengacak acak rambutnya lalu berteriak. "hei bodoh! Itu namanyaminta!" dia kembali menggelengkan kepalanya. "liat nanti lo bakal dikasih hukuman apa!"
"hah?" Austin yan mendengar teriakan Alexandra tidak mengerti lalu menggaruk tengkuknya. Beberapa detik kemudian saat dia sadar bahwa dia kelepasan, dengan cepat dia menutup mulutnya.
"hah? Kamu ngomong 'hah" sama saya?" Miss Sandra berkacak pinggang dan meninggikan suaranya dua oktaf. "Austin White, keliling lapangan dua puluh kali, jangan berhenti!"
Austin menepuk dahinya lalu menghela napas, sedangkan Alexa sudah tertawa terbahak bahak hingga tak sanggup berdiri lagi.
tbc.
YOU ARE READING
Where A Soul Goes
RandomDia hanyalah seorang gadis, yang menjalani hidup sempurnanya. Hingga satu kata mengubah jalan hidupnya. Bukan jalan hidupnya, lebih tepatnya, jalan kematiannya.