Kedai kopi di perempatan jalan layang ibukota masih terlihat sejuk dengan rintik hujan kecil yang membasahi dedaunan disisi taman. Kedai itu masih ramai pengunjung, ada yang sengaja datang sebagai fakir wifi, ada yang mampir sebentar hanya untuk berteduh, ada pula yang datang untuk menyesap kopi sambil menunggu luka dihatinya sembuh.
Lantai dua dipojok dekat jendela masih menjadi tempat favorit Aruna. Gadis itu menghirup aroma kopi yang bercampur dengan embun sore yang masuk dari jendela kaca besar disebelah tempat duduknya. Senja kala itu indah, warna-warna jingga menghidupkan ibukota bersamaan dengan nyala lampu-lampu jalan yang menunjukkan betapa sibuknya para penduduk di hari senin.
Jakarta masih ramai saja, anak-anak kecil penjual koran masih hilir-mudik di perempatan lampu merah, supir-supir kendaraan umum masih seenaknya berhenti di tengah jalan sambil meneriaki para pejalan kaki, membujuk untuk diajak pulang. Halte bus juga masih padat metro mini dan kopaja dengan bonus asap hitam mengepul penuh karbon monoksida dari knalpotnya yang menjadi cerminan setia Kota Metropolitan ini.
Kota ini begitu sibuk, setiap orang berlomba-lomba menolong dirinya sendiri hingga tidak ada yang pernah tau bahwa banyak dari mereka yang patah dan butuh pertolongan, seperti Aruna.
Aruna mengela nafasnya untuk yang ketiga kalinya. Aroma kopi tidak lagi sama seperti dulu. Aroma kopi tidak dapat menenangkan hati dan pikirannya lagi. Sudah hampir tiga jam Aruna duduk dipojok kedai kopi ini sambil menatap layar laptopnya yang masih menyala. Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang sedang menungu hari wisudanya, Aruna menghabiskan waktunya untuk kembali ke kota asalnya dan browsing masalah kelanjutan akademisnya.
Bip Bip
Itu suara handphone-nya. Aruna melirik sekilas. Sebuah notification chat line masuk ke hp-nya. Aruna mendiamkan, memilih melanjutkan pencariannya di dunia maya.
Bip Bip
Bip Bip
Bip Bip
Beberapa chat yang lain masuk menyusul chat sebelumnya hingga tertera 17 notification chat dengan 10 missed call. Aruna tau siapa ini.
"Hm," jawab Aruna pada panggilan ke-11-nya
"Lo dimana? Kedai kopi perempatan lampu merah lagi?" tanya suara laki-laki di seberang sana.
"Hm."
"Gue kesana ya?"
"Ngga usah, Yan," kata Aruna.
"Lo ngapain disana?" tanya Vian khawatir. "Udah nentuin mau lanjut profesi dimana?"
"Hm."
"Dimana? Daftar di Jakarta aja ya Na, biar gue bisa jagain lo. Atau yang deket-deket aja kayak di Bandung atau Jogja biar bisa gue samper seminggu sekali," tambah Vian.
Tak ada jawaban dari Aruna. Telfon masih tersambung, hanya terdengar helaan nafas panjang diujung sana.
"Lo mau ke Malang lagi, Na?" tanya Vian pada akhirnya.
Masih tak ada jawaban di ujung sana. Aruna seperti membeku mendengar ucapan Vian. Vian tau ia salah, luka Aruna belum sembuh, tidak untuk saat ini.
"Nggak tau, Yan," jawab Aruna getir.
"Lo stay disana, gue kesana sekarang," ucap Vian mengakhiri telfon secara sepihak.
Aruna memutar bola matanya malas. Itu Vian, sahabatnya sejak SMA. Aruna yakin Vian bakal berusaha mati-matian mencegahnya untuk tidak tinggal lebih lama pada kota yang telah membesarkan iQ nya selama empat tahun terakhir. Namun, peluang untuk melanjutkan profesi memang lebih besar berada di kampusnya itu daripada dia harus mengikuti macam-macam tes masuk lagi di kampus lain. Beruntung jika ia lulus, jika ia tidak lulus, ia harus menunggu tahun depan untuk melanjutkan studi profesinya. Benar-benar merepotkan.
"Malang...," tanpa sadar satu kata itu keluar dari Aruna secara spontan. Tanpa sadar, ia telah menulis dan melingkarkan kata 'Malang' pada jurnal hariannya yang berada tepat disebelah mouse laptopnya.
Satu demi satu kenangan mulai berlarian di kepalanya. Setiap sudut kota Malang punya cerita sendiri untuk Aruna. Entah kota itu tanpa sengaja dinamai 'Malang', atau memang nasibnya saja yang malang ketika disana? Sudah dua tahun berlalu, namun Aruna masih bisa mengingat dengan jelas betapa sulitnya ia harus melanjutkan hidupnya setelah semua kepercayaannya runtuh.
Aruna baik-baik saja sebelum bertemu dengan dia dan harusnya menjadi baik-baik saja pula saat tidak ada dia. Itu yang Aruna percayai, dulu. Kenyataannya, Aruna tidak pernah baik-baik saja. Aruna baru menyadari bahwa mengikhlaskan tidak semudah itu, apalagi melihatnya bahagia bersama orang lain. Semua hal baik yang ia percayai dulu hanyalah kebohongan belaka. Itu hanya sifat manusia yang 'sok' malaikat. Aruna muak. Aruna tidak pernah percaya itu lagi.
Tinggal lebih lama di kota itu bukan jalan yang baik untuk dirinya. Aruna tau itu. Vian pun lebih tau, mengingat Vian berada di kota yang sama ketika masa itu. Vian ada disana ketika semua itu terjadi. Aruna masih ingat bagaimana tangisnya pecah di dalam peluk Vian. Rasa sakit yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, seolah seperti ada lubang yang sangat dalam di hatinya.
Aruna lelah, hidupnya 180 derajat berbalik karena itu. Aruna yang periang, ceria, dan mudah bergaul seakan lenyap. Aruna yang itu sudah mati, begitu jawabnya saat Vian berusaha mati-matian membuatnya kembali seperti dulu. Aruna baru tahu bahwa manusia bisa sehancur itu hanya karena manusia lain.
Aruna mengambil earpods-nya dari dalam ranselnya. Ia jengah dengan semua perasaan dan pikiran mengenai studinya, begitupun dengan kisahnya di kota itu. Ingin rasanya ia menjedotkan kepalanya ke tembok kemudian pingsan lalu amnesia. Namun sayangnya hal itu hanya membuat Vian memarahinya habis-habisan. Aruna sudah bosan dengan omelan Vian. Gadis berambut panjang bergelombang itu sudah malas harus dihantui Vian. Vian itu sahabat atau bodyguard sih?
'Sesuatu di Jogja' mengalun lembut di telinga Aruna. Seolah tidak mau diganggu, Aruna mengencangkan volume lagunya untuk mencari ketenangannya sendiri. Jarak kedai kopi ini dengan rumah Vian lumayan jauh, malah berlawanan arah, mungkin Vian baru tiba tiga puluh menit lagi disini, mengingat sekarang jam pulang kantor.
Aruna melanjutkan pencariannya, hujan diluar semakin deras mengguyur jalanan ibukota. Mobil-mobil tidak bisa bergerak karna kemacetan masih merajalela. Motor-motor mulai menepi, berteduh diatap ruko-ruko, atau memilih berhenti di terowongan yang ada di ujung sana. Aruna tersenyum. Jakarta tidak pernah berubah, hanya Aruna yang berubah.
"Aruna?" panggil seseorang dari belakangnya.
Aruna diam. Lagunya sungguh keras hingga mengalahkan suara hujan. Apalagi hanya sebuah suara panggilan ragu-ragu yang ditunjukkan kepadanya.
"Aruna," panggilnya lebih keras. Masih tidak ada jawaban.
"Aruna," kali ini sambil memegang bahu Aruna.
Aruna melepas earpods-nya setengah kaget. Mana mungkin Vian bisa sampai secepat ini? Vian terbang atau kebetulan menjadi office boy di kedai kopi ini?
"Cepet banget, Yan?"
Aruna menatap seseorang di belakangnya. Matanya terpaku, bibirnya kelu, dan badannya beku. Aruna menahan nafasnya. Sejenak pikirannya kosong, hanya satu-dua ingatan yang berlarian di kepalanya. Bagaimana bisa?
"Kak..., K-kak Abian?" ucap Aruna ragu.
"Kamu masih sahabatan sama Vian?"
Sial, itu bukan Vian.
Haloo temen-temen, semoga suka ya ceritanya. Jangan lupa vote&comment karna saran kalian sangat diperlukan disinii hehe, ikutin terus kelanjutan kisah Aruna ya!
See u in the next part yeaa
Luv
KAMU SEDANG MEMBACA
Sembuh
Teen FictionAruna percaya bahwa setiap manusia memiliki takdirnya masing-masing. Aruna percaya bahwa akan ada pelangi setelah badai menghadang. Aruna juga percaya bahwa akan datang yang lebih baik dari setiap kehilangan. Dan lagi-lagi, Aruna percaya bahwa sesua...