Part 2

10 0 0
                                    

"Kalau pisah, gimana Na?" kata-kata itu berputar diujung telinga Aruna. Sederhana, namun menyakitkan. 

Aruna menghela nafas panjang, "Kenapa?" tanyanya pelan, suaranya masih stabil, keterkejutannya ia sembunyikan di dalam nada perih itu. 

"Kita bersama kayak gini, itu udah nggak baik, Na," ucapnya sambil menatap lekat-lekat mata hitam gelap Aruna yang meredup perlahan. "Mau sampai kapan?"

"Kita udah sepakat Kak. Janji apalagi yang mau Kaka ingkari?" tanya Aruna sambil membalas tatapan laki-laki itu. 

"Aku mau jadi lebih baik, Na. Perempuan dan laki-laki bersama tanpa ikatan yang benar itu bukan hal yang baik, Na. Aku pingin udahan, aku pingin berubah," 

"T-tapi Kaka u-udah janji," mata Aruna meredup, suaranya bergetar. 

"Iya mau sampai kapan, Na?" tanya laki-laki itu lagi. 

"Kalau Kaka mau berubah jadi lebih baik, harusnya Kaka tepati dulu semua janji Kaka ke aku." 

"Bahagiamu di aku?" pertanyaan sederhana yang mampu menohok hati Aruna. 

Aruna diam. Matanya tak sanggup lagi untuk menahan bendungan air mata yang ia ciptakan karena laki-laki yang ada di depannya ini. Rasanya suaranya kelu, tidak mau lagi ia keluarkan untuk menjawab pertanyaan laki-laki brengsek yang ada di depannya. Aruna bungkam, hening yang panjang. Samar-samar hanya terdengar helaan nafas bersamaan dengan air mata yang mulai membasahi pipi Aruna. 

"Bahagiamu di aku?" tanyanya lagi. 

Aruna masih bungkam, memilih diam untuk menenangkan jiwanya yang terombang-ambing. 

"Bahagiamu di aku, Aruna?" 

"Bahagia Kaka, di aku?" kini Aruna balik bertanya. Air matanya sudah tumpah, kepalanya sudah pusing, nafasnya sendiripun sudah sesak. 

Laki-laki itu diam. 

"Aku tanya, bahagia Kaka di aku?" kali ini Aruna sedikit menaikan nada suaranya. 

Laki-laki itu masih diam. 

"Aku tanya, bahagia Kaka di aku atau bukan?" tegas Aruna sambil terisak. 

"Maafin aku, Na," jawabnya lirih. 

Aruna merasakan dadanya bergetar hebat, sesak nafasnya semakin menjadi, kepalanya berat dan perlahan dunianya menggelap.  

                                                                                                                         ***

Kereta Matarmaja berhenti pada pemberhentian terakhir di Stasiun Malang Kota Baru. Aruna bangkit sambil menarik koper pelanginya dan bergegas turun dari kereta. Jam tangan kulit berwarna coklat dengan simbol mahkota miliknya menunjukkan waktu pukul delapan pagi. 

Aruna menghela nafas, dia terlambat keluar kereta sehingga kini taksi sudah penuh oleh penumpang lain. Ini semua karena mimpi bodoh yang belakangan sering menghantui Aruna. Sudah sebulan mimpi itu berulang dan selalu berhenti di saat yang sama. Dadanya pun selalu terasa sesak setelah mimpi itu datang. Mimpi itu mengingatkannya tentang masa lalunya yang tak mau lagi ia jamah. Semua mimpi ini terjadi setelah ia bertemu kembali dengan laki-laki di dalam mimpi itu sebulan yang lalu. 

Bip Bip 

Bip Bip 

Bip Bip 

Aruna berhenti melangkah, handphone-nya berbunyi di balik saku celana jeansnya yang berwarna coklat tua.

Cahaya matahari menyinari rambut hitamnya, membuat rambutnya berkilau bak permata di pegunungan. Meskipun terik, panas di kota ini selalu baik. Dinginnya Kota Malang tak pernah berubah, udaranya selalu menyejukkan hingga Aruna betah berlama-lama di kota ini. 

"Lo udah turun dari kereta?" tanya Vian setelah Aruna mengangkat dering telfonnya barusan.

"Hm," jawab Aruna pelan sambil sibuk mendorong kopernya keluar dari stasiun.

"Gue di depan, Na," jawabnya membuat Aruna menoleh kesegala sudut. "ini gue lagi dadah-dadah sama lo di patung singa," sambungnya.

Aruna menoleh ketempat yang di maksud. Terlihat Vian berdiri tegak mengenakan kemeja flannel merah favoritnya serta celana jeans hitam dan sepatu conversi putih.

Aruna menghampiri. Vian membantunya memasukkan koper ke bagasi mobil.

"Lo ngapain di patung singa?" tanya Aruna setelah duduk di bangku sebelah pengemudi.

"Main gundu. Ya nungguin lo lah. Tau nggak sih, tadi gue dikira ojol disitu gara-gara nungguin lo, Na," ucap Vian.

"Gue ngga minta ditunggu."

"Gue yang mau nunggu lo, Na."

"Terserah," katanya acuh sambil melangkah masuk ke dalam mobil, sementara Vian memasukkan koper pelangi itu ke dalam bagasi mobil. 

"Na, duduknya didepan dong, emang lo kira gue supir lo?" kata Vian setengah berteriak kepada gadis yang kini tengah duduk di kursi belakang. "Lo pikir gue ojol beneran, Na? Sumpah lo ga serius kan mikir gue ojol?" 

Aruna tak menggubris, dipasangnya earphone di kedua telinganya dan diputar lagu sekeras-kerasnya hingga suara Vian tak pernah menyusup masuk ke gendang telinganya. 

Vian menghela napas. Kalau sudah begini, percuma berbicara dengan gadis itu. Vian mulai melaju kan mobilnya mengikuti arus lalu lintas. Sudah setahun sejak kepergiannya dari kota ini, tak disangka akhirnya ia kembali. Namun kini ia kembali dengan tugas yang lebih berat. Ia harus menjaga satu-satunya miliknya yang berharga yang suatu saat dapat rapuh dan menghilang. 

"Berat," gumam Aruna dari belakang. Vian memandangnya dari kaca spion tengah. 

"Berat balik ke tempat ini lagi," lanjut Aruna sambil menghela nafasnya. Perlahan-lahan ia pejamkan matanya dan bersandar pada jendela disebelah tempatnya duduk. Vian terdiam, luka Aruna masih tampak nyata. 



TERIMAKASIHHH!!! YEAY. Maaf karena lama update, huhu aku sibuxxx. Tapi bakal tetep dilanjutin, jadi aku tunggu ya komen dan saran kalian hihihi.

LOVE BARBIE!!!<3<3 


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SembuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang