Enam tahun yang lalu....
"AAAAAAAHHH!!"
Saburo kecil berteriak frustasi, menatap nanar kertas-kertas sihir yang ia tulis susah payah kini penuh dengan coretan penuh warna dari crayon.
Kedua matanya menatap kesal seorang hybrid yang menatapnya dengan tak berdosa.
"Sabu... Gambar!" ia menunjukkan kertas-kertas karyanya.
"Tapi bukan di lembar mantra-ku!"
Teriakan Saburo kecil, membuat Ichiro yang kala itu berusia tiga belas tahun menghela nafas lagi. Ini sudah ke tiga kalinya mereka bertengkar untuk hari ini.
"Saburo, tenanglah. Jiro tidak sengaja."
Ichiro mengusap kepala kedua adiknya, ia sudah siap memasang wajah sok galaknya. Lalu Ichiro menatap Jiro, "Jiro, katakan maaf pada Saburo."
"Sabu... Marah?"
Pipi menggembul kesal, "Tentu saja!"
Kuping Jiro menunduk, wajahnya ikut sedih, "... Jiro... Maaf.."
Tapi seperti biasa, Saburo mendecak lidah dan pergi begitu saja.
Sudah setengah tahun setelah kedatangan Jiro, Saburo masih belum mengakui bila ia memiliki seorang kakak hybrid. Ia selalu mengatakan bila ia tak butuh kakak yang bodoh dengan nada kesal.
Ichiro menghela nafas sabar.
.....
"Sabu..."
Di hari lain, Jiro mengintip dari balik pintu ruang belajar. Wajahnya penuh dengan cat minyak, bahkan mengenai ke bulu-bulu ekor hitam Jiro.
Ia ingin bermain dengan Saburo.
"Kau mencari Saburo, Jiro?" suara Ichiro terdengar dari kuping Jiro, "Kenapa kau tidak masuk?"
"Jiro.. Kotor."
Ichiro yang hendak masuk ke ruang belajar melihat rupa adiknya yang berantakan penuh dengan ceceran cat minyak. Sepertinya Jiro takut bila ia akan mengotori kertas-kertas milik Saburo lagi.
"Saburo sedang bersekolah."
"Se.. Kolah?"
Ichiro mengambil sapu tangannya dibalik jaketnya, membersikan beberapa noda di wajah Jiro, "itu tempat Saburo belajar."
"Jiro.. Bela...jar?"
Ichiro ingin sekali memeluk adiknya ini dengan gemas, "tentu. Jiro harus belajar baca terlebih dahulu." Ia menarik adiknya masuk ke ruang belajar, lalu mencari sebuah buku.
" bagaimana dengan buku cerita bergambar? " Ichiro menunjukkan sebuah buku bergambar beruang.
"be..ruang!"
Siang itu Jiro menghabiskan waktu membaca buku cerita bergambar bersama Ichiro.
Jiro masih menunggu Saburo untuk bermain.
...
Saburo menatap bosan penjelasan gurunya, materi itu bahkan sudah dipelajari Saburo sebelumnya.
Seorang anak jenius sepertinya memang mudah menguasai materi-materi yang ada dihadapannya. Namun, seperti halnya anak-anak, ia merasa sombong akan kemampuannya itu.
"Yamada Saburo, sebagai contoh untuk murid-murid lainnya, bisakah kau memperagakan sihir api?"
Saburo berdiri, berjalan kedepan kelas, menghadap kearah murid-murid lainnya yang bahkan usianya jauh lebih tua darinya. Saburo merapalkan sihir, dan sang guru tersadar bila mantra yang diucapkan Saburo sedikit berbeda.
Ini mantra level tinggi, karena hanya orang yang benar-benar ahli yang bisa menggunakannya.
"Woaaaahh!" semua orang terkejut ketika saburo mengeluarkan tiga bola api berwarna biru. Takjub akan keindahan dan kemampuan Saburo.
Sang guru tersenyum, "Ini sihir tingkat tinggi. Kalian hanya akan mencoba merapalkan mantra satu bola api merah saja."
"Bagaimana cara kau melakukannya, Saburo?!"
"Woah! Itu keren!"
Masih dengan muka senggak, ia kembali duduk dikursinya tanpa terbuai pujian semua orang, "Aku bisa karena aku mampu."
Sunggu sombong. Namun itu memang kenyataan. Bahkan semua pujian itu terhenti ketika Saburo menyuarakan apa yang ada dipikirannya.
Karena ia adalah adik yang lebih baik untuk sang kakak pertama. Berbeda dengan kakak bodohnya itu.
....
Ichiro selalu terheran-heran, kenapa Saburo begitu membenci Jiro.
Sejak sang ayah kembali dari wilayah timur, Ia mengatakan bila Jiro adalah saudara mereka. Bahkan Ibunda-nya menghambur memeluk Jiro yang masih tak sadarkan diri dan menangis.
Saat itu Ichiro baru sadar bila sang ayah memiliki istri ras werewolf. Ia sempat berpikir bila sang ibunda akan membenci kehadiran Jiro, namun yang ia dapatkan adalah sang ibunda bergadang demi merawat Jiro seorang diri.
Butuh dua hari bagi Jiro untuk mengetahui bila ibu kandungnya telah tiada. Ia menangis meraung dipelukan ibunda hingga tertidur karena kelelahan menangis. Sang ayah bahkan menyiapkan sebuah makam untuk menghormati wanita yang bahkan tidak Ichiro kenal selain dari figura diatas altar.
Ichiro kecil bisa tahu bila rupa sang wanita sangatlah menyerupai Jiro. Hati siapa yang tak hancur ketika Jiro bertanya kepada mereka dimana ibunya.
"bau... Sama..." Jiro saat pertama kali bersuara kepada sang ibunda, "hangat."
Sang ibunda memeluknya lagi, dan menangis dalam diam, "Kau juga anakku, Jiro."
Ah, kenangan lama....Ia tak boleh berjalan sambil melamun! Sekarang Ichiro harus melihat bila Jiro sudah tertidur atau belum.
"Jiro?"
Ichiro membuka pintu kamar Jiro, melihat apakah sang adik sudah tidur seperti yang biasa dilakukan.
Namun, ternyata sang adik sedang duduk menghadap jendela. Tangannya memeluk sebuah boneka beruang kuning. Ia meraung kecil sambil menatap langit.
"Sabu...."
Bahkan walau dibenci oleh Saburo, Jiro tetap menunggu Saburo.
Ia menunggu adiknya, walau tahu ia akan dibentak seberti biasa.
Ichiro menahan tawa, ia berjalan mendekati Jiro hingga sang hybrid menatapnya dengan tatapan heran "Ayo kita menunggu Saburo bersama-sama di ruang tamu."
Jiro meraung senang dan langsung memeluk Ichiro, "Sabu! Menunggu!"
Ichiro cuma berharap bila malam ini Saburo tidak mengajak ribut Jiro lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Small view, Big World
FanfictionDia terlahir berbeda, memiliki banyak kekurangan, dan tidak seperti masyarakat pada umumnya. Namun mereka sangat menyayanginya. Saburo dan Ichiro menyayangi Jiro. Mereka akan mengajari tentang kehidupan kepada Jiro. Hybrid werewolf!Jiro. Tiap chapt...