Ibuku bilang, kalau kamu dapat cukup tidur pada malam hari, paginya kamu akan merasa lebih baik.Kenyataannya saat aku menembus jalanan yang padat dengan pejalan kaki berpakaian rapi dan gelas kopi di tangan, aku ingin balik ke apartemen dan merosot di tempat tidur.
Kemarin hari libur nasional-hari buruh atau semacamnya-dan aku menghabiskannya dengan tidur seharian, sebagai kompensasi karena malam sebelumnya aku terlambat tidur. Aku hanya bangun sesekali untuk minum, mengisi perut, mengurusi Fierce, atau ke toilet. Fierce masih memasang tampang betenya sebelum aku berangkat tadi, tapi aku sudah janji padanya untuk pulang dan memberinya makan siang.Aku ikut-ikutan membeli kopi dari kios pinggir jalan, supaya tampak lebih membaur, dan aku memang perlu minum kopi kecuali kalau aku mau tertidur sambil berdiri. Penyeberangan jalan juga tak kalah padat, sebagai manusia tidak terlalu tinggi aku merasa terintimidasi oleh om-om berdasi yang memberengut pada pemandangan di depannya. Gedung Malik, Inc. berdiri angkuh, kelabu bahkan dalam cahaya matahari tercerah bulan Juli. Aku menyeka keringat di dahiku dengan lengan kemeja, kali ini warnanya biru langit, hampir memudar.
Lampu untuk pejalan kaki menyala hijau, rombongan orang-orang berdesak maju membuatku mau tak mau ikut terseret. Aku memegang gelas kopiku erat sambil mencoba untuk tidak tersandung."Hai", orang disebelahku berbisik, aku menoleh ke samping, tapi-sial-mataku hanya sebatas bahunya, jadi aku mendongak.
Malam itu, setelah insiden jatuh-tersungkur-di-gerbong-kereta, aku tidak ingat apa-apa lagi kecuali memberi makan Fierce dan tertidur di sofa dengan sepatu yang belum dilepas. Begitu juga hari berikutnya. Jadi, saat aku menoleh, aku tak langsung mengenalinya. Matanya terlihat lebih hijau saat siang hari, dan rambut yang sebelumnya ditutupi kupluk berwarna cokelat gelap. Ketika dia tersenyum menampakkan lesung pipi, aku baru menyadari kalau aku pernah melihatnya di suatu tempat.
"Aku Harry", katanya, "Yang waktu itu",
"Tahu kok", aku memalingkan wajahku darinya,
"Kalau kamu tahu kok melongo begitu? Kaget ya, kalau aku ternyata cakep banget", senyum lesung pipinya hilang, diganti dengan senyum miring mengejek yang kukenali dari kereta.
"Terserah", ketusku,Kami tidak bicara apa-apa lagi sampai kami tiba di depan gedung kantorku, Harry berhenti di depan gerbang.
"Makan siang?",
"Apa?",
"Makan siang", ulangnya, tangannya bergerak menunjuk Mediterranean Diner di perempatan seberang jalan, "Kamu nggak pernah menelepon".
"Oh", aku membulatkan mataku, "eh...oke",
"Bagus", dia tersenyum, "jam makan siang kujemput, aku mau mandi, ganti baju", dia menunjuk bajunya-kaus putih bernoda keringat, celana olahraga hitam gombrong, dan sepatu lari warna hitam.Aku balas melambai ketika dia mulai berlari menjauh. Sesudah memastikan Harry menghilang di ujung jalan, aku masuk kantor.
Emmy dan Amelie yang bekerja di meja resepsionis menatapku. Aku pura-pura tidak melihat mereka, tapi kemudian mereka berbisik keras,"Aduh, sudah berani diantar pacarnya, ya!", Emmy memulai, mata hitamnya melirikku cepat,
"Boleh juga tuh, cowoknya, kok mau ya sama dia", Amelie yang membelakangiku melempar seuntai rambut sewarna almond ke belakang leher, lalu berbalik dan memandangiku sinis,
"Padahal kemarin waktu kuajak belanja dia gak balas pesanku",
Aku tak tahan lagi dan menghampiri keduanya yang mulai terkikik,"Kalian ini", aku memandangi mereka bergantian, "bukan pacarku!", tegasku pada Emmy, dia tertawa dan membenarkan kacamatanya, "dan kemarin aku tidur seharian!", aku membelalakkan mataku ke Amelie, namun karena dia jauh lebih tinggi, dia tidak merasa takut, malah dia memberiku ekspresi merendahkan,
"Tidur apa tidur?", katanya,
"Beneran tidur kok!",
"Tidur sama yang itu, Am...", goda Emmy. Mereka terkikik lagi.
"Tahu ah!", aku memasang wajah cemberut dan menghentakkan kakiku menjauh.
"Lihat tuh anak TK ngambek...", suara Amelie kembali terdengar sesaat sebelum pintu lift menutup.
Lift itu kembali berhenti di lantai satu, membukakan pintu pada dua petugas kebersihan dan satu laki-laki pucat berkemeja kuning yang membuatnya mirip pisang, sebelum berhenti di lantai 5 tempat ruanganku berada. Hanya aku yang keluar.
Ruanganku wangi lavender, akibat dari sebuah buket bunga yang aku tidak ingin tahu siapa pengirimnya, ditaruh di atas meja. Aku ingin membuang buket itu jika aku tidak merasa kasihan dengan bertangkai-tangkai lavender yang memang bunga kesukaanku. Mungkin kubiarkan saja disini hingga layu. Aku menaruhnya di vas dekat jendela.
----
Amelie bilang pacarku sudah menunggu dibawah, mengobrol dengan Emmy. Renee yang kebetulan ada disana langsung heboh bertanya pada Amelie, namun dia bilang Renee harus menunggu penjelasan dariku, lalu dia mengusirku supaya pergi ke lantai dasar. Dokumen hasil rapat kutaruh di meja kerjaku sebelum aku turun menemui Harry. Aku mencegat lift yang hampir menutup, berisi karyawan-karyawan yang ingin istirahat makan siang.Harry mengganti setelan olahraganya dengan pakaian yang lebih santai, bisa kulihat sablonan foto Fleetwood Mac di kausnya ketika dia berbalik,
"Rapatnya sudah selesai?", katanya saat aku sudah di sampingnya, aku mengangguk.
Emmy berdeham, "Kalau begitu aku makan siang dulu, ya. Dah Lou, dah Harry", dia mendorongku menjauh lalu berjalan pergi.
Kami menyeberangi jalan dengan setengah berlari, mengejar lampu lalu lintas bagi pejalan kaki yang sudah menyala kuning. Aku terbatuk-batuk karena berlari sambil tertawa. Harry juga tertawa tapi dia terlihat baik-baik saja.Rumah makan Mediterranean Sea perlahan-lahan penuh oleh orang-orang yang sedang istirahat, namun tempatnya cukup luas sehingga masih terkesan nyaman. Aku dan Harry memutuskan duduk di dekat jendela sebab udara terlalu panas untuk kami duduk di meja luar. Harry memesan pasta dengan hummus, zaitun, feta, dan merica merah dan aku memesan burger terung panggang dengan keju halloumi. Harry membagi sedikit padaku, katanya aku harus coba makanan kesukaannya.
Kami makan dalam diam untuk beberapa saat. Aku melahap cepat makanan yang pertama kali kucoba, dan rasanya benar-benar enak. Harry menyesap teh yang dipesannya, lalu memandangku,
"Jadi", dia mendecakkan lidahnya, "hari itu kamu kenapa?",
Aku meletakkan garpuku dan balas memandangnya, "Kamu yakin?", dia mengangguk dan memberi isyarat mempersilahkan dengan tangannya. Menarik nafas, aku mengulang cerita yang pernah kuberitahukan padanya di kereta. Sesekali dia merengut seolah ikut kesal, sebagian waktu dia lebih banyak tertawa. Aku juga menunjukkan foto sebuah wadah bulat berukuran sedang warna pink, dihiasi stiker-stiker bintang perak dan pita pink yang lebih pucat disertai dengan kartu ucapan warna putih bertuliskan "untuk Mr. Tomlinson, bungkusnya juga aku hias sendiri loh:))" yang kutemukan di meja tadi pagi, kemudian foto selanjutnya yang menampilkan isi wadah tadi : kue kering cokelat. Kuberitahu Harry kalau itu kue kering yang dijanjikan si tunangan, rasanya enak sekali dan aku akan menyisakan beberapa untuknya.
Setelah aku selesai, aku memandang keluar jendela, tidak meninggalkan ruang untuk pembahasan lagi. Pipiku merah karena-astaga, aku bodoh banget waktu itu. Harry pasti juga berpikir begitu.
"Memangnya...", ucapan Harry membuatku menoleh balik, dia ternyata ikut-ikutan melongok ke jendela, "tunangan bosmu itu kayak apa sih?",
Aku tertawa kecil. Sudah kuduga dia akan penasaran tentang si tunangan."Pirang", aku menggerakkan jari-jariku ke rambut, "kecil, lebih kecil dariku, barangkali", tanganku kuposisikan datar didepan hidungku, " bulat di...bagian tertentu", kedua tanganku bergerak melingkar, Harry yang kini melirikku mendengus, "dan mata biru muda, oh dan pipinya agak tembam", aku menyudahi. Harry terlihat pikir-pikir, mencoba membayangkan seperti apa rupa orang yang membuatku pulang tengah malam tempo hari. Aku merasa tidak menggambarkannya terlalu baik, ciri-ciri yang kusebutkan terlalu umum, jadi aku mengingat-ingat orang terkenal yang mirip dengannya,
"Seperti...", aku menumpukan daguku di atas tangan, kembali memandangi jalanan lewat jendela, siapa tahu diantara orang yang sedang berlalu-lalang ada yang mirip. Harry menirukanku, pura-pura mengusap janggut yang bahkan tidak tumbuh di dagunya, "Seperti... oh-sial, sial! itu orangnya!", aku membelalakkan mataku pada dua orang di depan gedung Malik, Inc. Harry agak terlonjak, dan mencondongkan tubuhnya supaya bisa melihat lebih jelas.
"Yang di depan kantormu itu? yang pelukan?" tanyanya, aku mengangguk semangat.
Dua orang itu-bosku dan tunangannya, sedang berjalan berpelukan. Tangan bosku merangkul bahu tunangannya sementara si tunangan melingkarkan kedua tangannya di pinggang bosku, meringkuk di balik jas hitamnya yang terbuka. Mereka terlihat tertawa-tawa sebelum masuk ke dalam Prezzo, restoran beberapa gedung di sebelah kantor.
"Kamu lihat, kan?", aku mengambil garpuku lagi, Harry tengah nyengir entah kenapa, setelah dia sadar aku melihatnya, dia menutupinya dengan berdeham dan meletakkan tangannya yang tergenggam di depan bibir.
"Ya", dia berdeham sekali lagi, "Ya, aku lihat kok. Masuk ke Prezzo, kan?", dia meraih sendoknya yang tadi dia lupakan dan mulai makan lagi. Aku menggumam mengiyakan.
"Lebih imut dia daripada kamu, tuh", Harry menjulurkan lidahnya kepadaku, aku mencubit tangannya sebelum menyendok pasta miliknya
ke piringku. Harry tertawa saja.Harry mengantarku kembali ke kantor, dan dia bilang mau mengirimiku pesan nanti malam, habis ini dia mau mengerjakan pekerjaannya, nomor ponselku sudah kumasukkan ke dalam daftar kontaknya. Aku tetap berdiri di depan kantor sampai dia dapat taksi dan pergi. Ketika aku sudah duduk di ruanganku, ponselku berdering. Pesan dari Harry.
'kamu wangi lavender. aku suka'
Jika saja aku tidak menutup mulutku, aku mungkin sudah tertawa keras-keras. Klise banget sih. Cepat-cepat aku balas pesannya.
'memangnya kamu kira aku ini obat nyamuk?!'.
KAMU SEDANG MEMBACA
• antemeridiem // larry stylinson
Fanfiction"Sejak kapan kamu ada disitu?" Suaranya berat. Tunggu. Apa? "Sejak tadi, kan? Bukannya tadi kita ngobrol...", Dia melepas tudung jaketnya dan mencopot earbud dari telinganya. "Dari tadi aku menelepon kakakku, tuh?".