chapter 6

192 28 11
                                    

"Di map yang merah ada fotokopian buat Renee, yang biru buat dititipkan ke resepsionis dibawah",
Mr. Malik menyodorkan dua map lagi padaku, yang langsung bergabung dengan tumpukan kertas lain yang kupegang,
"Baik", kataku, lalu permisi keluar. Map merah buat Renee, map biru ke resepsionis, yang cokelat buat kucek ulang, yang hijau buat dikembalikan lagi, ingatku. Aku sudah sampai ke depan pintu, hampir meraih gagangnya dengan susah payah karena tanganku sudah penuh saat Mr. Malik berdeham, aku membalikkan badanku lagi.
"Niall datang kesini jam 11 nanti", katanya, jarinya mengetuk-ngetuk meja dan matanya menatapku tajam, isyarat 'awas-kalau-kamu-bikin-dia-nangis-lagi'.
"Oh, iya, iya", aku meringis, "Saya pesankan kopi es sama pretzel..?",
"Iyalah", dia memutar bola matanya. Sial.
Tangannya menarik laci meja dan mengeluarkan dompet kulit -yang cukup tebal, kalau boleh aku bilang-kemudian menarik dua lembar uang seratus pound. Dia menyeret lembaran itu ke bagian depan meja dengan dua jarinya.
"Sekalian buat makan siang kalian berdua. Kalau kurang tinggal bilang aja",
Aku menyambar uang itu secepat kilat, yang membuat Mr.Malik menaikkan sebelah alisnya, geli. Yah orang banyak uang seperti dia mana bisa mengerti.
"Siap, Bos!", seruku, kali ini semangat. Kalau saja aku tidak punya rasa malu, mungkin aku sudah memberinya hormat. Sepertinya Mr. Malik melihatku nyengir karena saat aku berbalik untuk menutup pintu, dia geleng-geleng kepala.

"Sudah baikan, nih?"
Aku terlonjak kaget, nyaris menjatuhkan map-map di lenganku. Emmy meringis penuh sesal dari tempatnya bersandar di samping pintu.
"Sial banget sih, kamu!", semprotku,
"Maaf, Lou. Tadi aku mau progress tapi masih ada kamu, ya aku tunggu disini. Sekalian nguping sih", dia tertawa.
"Yaudah sana masuk!", suruhku. Emmy berhenti tertawa, ketara sekali suasana hatinya berubah. Dia mengangkat tangannya yang kini gemetar untuk membetulkan letak kacamata berbingkai hitamnya.
"Tapi takut ditolak", dia menatap khawatir pintu kantor Mr.Malik.
"Paling juga dimarahin. Sudah biasa, kan?", aku mendorongnya mendekat, "Ayo sini, apa sekalian aku ketuk pintunya?", Emmy membelalakkan matanya,
"Yah Lou masa dikagetin aja marah? Jangan-astaga diketuk betulan",
Aku membuka pintu Mr.Malik dan mendorong Emmy masuk. Bisa kudengar Emmy patah-patah mengucapkan permisi, jadi daripada aku tertawa keras disini, lebih baik aku pergi.

Pendingin di ruanganku rusak, aku membuka jendelanya yang lebar agar sirkulasi udara bisa masuk. Aku menelepon Renee untuk mengambil map di ruanganku, dan sekalian map untuk meja resepsionis karena ruangannya berada di lantai dasar. Kemudian aku menelepon Applewhite -toko kopi favorit Niall-dan memesan satu gelas besar es moka vanila dengan susu rendah lemak dan gula tebu, dan sekotak pretzel cokelat. Juga segelas es teh hijau untukku.

Renee datang ke ruanganku limabelas menit kemudian, dengan kantong kertas berlabel Applewhite. Dia datang sambil menunjukkan kukunya yang dimanikur dan dicat ungu muda. Setelah aku berjanji padanya untuk menemaninya beli cat kuku di salon yang sama, barulah dia pergi.
Ponselku berdering, aku merogoh sakuku, nama Harry terlihat di layar.

-Kaktus kalau lahir belakangan apa namanya jadi diktus?

Tawaku langsung menyembur keluar, cepat-cepat aku menangkupkan tanganku ke mulut, dan mengetik balasan ke Harry. Aku menyandarkan dahiku di pinggiran meja, dengan ponsel di pangkuanku. Harry kembali mengirimiku pesan, kali ini foto dia memegang spatulanya, tersenyum lebar. Pipinya nampak merah muda dan bintik-bintik di wajahnya terlihat jelas. Aku memberitahunya kalau dia kelihatan konyol dan dia membalas dengan "Kau bilang aku konyol? Sudah lihat wajahmu waktu tahu aku dan Zayn temenan, belum?". Refleks aku memekik dan membalasnya dengan emoji jari tengah.
"Kamu ngapain?",
Aku mengangkat kepalaku spontan, sehingga rasanya urat leherku berderak protes. Niall berdiri di depan mejaku, satu tangannya menggenggam tali tas yang tersampir dibahunya, kacamatanya ada tetes air, mungkin keringat. Rambutnya tampak rapi sekaligus berantakan, seperti tak sengaja digaruk. Aku mengerling emblem di baju hangat kremnya, berbentuk kepala seorang wanita bermahkota daun dafnah dan bordir tulisan ATHENA warna hitam. Wajahnya tampak tak berdosa seperti biasanya dan dia menatapku dengan kepala yang dimiringkan ke kiri, juga seperti biasanya.
"Aku lagi mengirim pesan ke Harry", kataku, mengambil ponsel dari pangkuan dan meletakkannya di meja,
"Ooh", katanya, dia menarik kursi dan mendudukkan diri, kemudian meraih bungkus Applewhite,"Aku kira kamu lagi meneriaki selangkanganmu", dia mengambil keluar minuman dengan label namanya dan membuka sedotan, "Ini punyaku, kan?"
"Ya", aku menjawab sekadarnya karena aku kembali mengetik pesan ke Harry, kali ini isinya tentang Niall yang mengira aku sedang meneriaki selangkanganku.
Niall menyedot minumannya dengan berisik, dan ada seoles pasta cokelat di pipinya. Aku tidak mengerti kenapa bosku itu bisa mabuk kepayang karena anak kecil ini. Tanpa mengangkat wajahku lebih jauh dari layar ponsel aku menyodorkan sekotak tisu padanya.
"Oh trims!", dia menarik beberapa lembar tisu dari kotak dan tersenyum cerah padaku. Iya deh, meski dengan remah-remah pretzel dan belepotan cokelat di sekitar pipi dan mulutnya, dia lucu sekali. Dan anak yang manis, kalau sedang tidak banyak tanya seperti sekarang. Niall menyingkirkan bungkus pretzel dan mengeluarkan buku-buku, bisa kulihat berjudul The Firm yang ditulis John Grisham dan Tort Law and Alternatives : Cases and Materials. Entah apa artinya itu.

Tunggu dulu.

Aku menurunkan kakiku dari posisinya diatas meja dan menegakkan badanku, memelototi Niall yang sudah membuka buku catatannya yang rapi meski tulisan tangannya besar-besar. Mataku beralih lagi pada emblem di baju hangatnya, buku catatannya, kemudian pada buku-buku tebal yang tadi dikeluarkannya.
"Niall", dia mengalihkan perhatiannya dari catatan, "ini...buku-buku teks pelajaran kuliah?"
"Iya",
"Kamu masih kuliah?!",
"Loh, kamu gak tau?!"

Aku meraih ponselku lagi dan mengetik pesan ke Harry, kali ini dengan huruf yang tak kalah besarnya dengan tulisan Niall.

"JANGAN BILANG ZAYN ITU SUGAR DADDYNYA NIALL?!?!"

• antemeridiem // larry stylinson Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang