chapter 3

229 30 7
                                    

Jariku memencet tombol 'akhiri panggilan' sesudah mengucapkan terimakasih pada Adam, petugas kebersihan yang bersedia memberi makan Fierce karena waktu istirahat sudah terlalu mepet untukku pulang. Aku meletakkan ponselku ditengah-tengah meja yang berantakan, kotak kue pemberian tunangan bos terbuka, dan ada remah-remah di sekitarnya, juga disekitar mulutku, kurasa. Aku harus berhenti makan sebelum kue keringnya habis dan tidak akan ada jatah untuk Harry.

Harry.

Aku mengecek ponselku lagi-belum ada pesan balasan dari Harry. Mungkin dia sibuk dengan kerjaannya, entah apa itu.
Ponsel kulempar, mendarat di tumpukan kertas. Kakiku kutekuk supaya aku bisa berputar-putar di kursi. Pandanganku jatuh pada vas bunga lavender di depan jendela. Suasana hatiku langsung berubah.
Sial. Sial.
Kenapa dia tidak menyerah saja, sih?
Menghela nafas, aku merosot di kursi dan menutupi wajahku dengan tangan, berharap hari cepat berlalu supaya aku bisa pulang, dan tidur.

*

Fierce memandangiku dari tempat duduknya di konter dapur, ekspresinya seperti dilipat-lipat, sesekali dia mengeong. Bisa jadi dia mengomeliku dalam bahasa kucing. Tapi aku tidak peduli, aku terus meneriaki pertandingan sepakbola di televisi.

"Aku lagi menyalurkan rasa kesalku, tahu!", akhirnya kuberitahu dia saat dia kembali mengeong. Fierce nampak masa bodoh dan berguling membelakangiku.

Ponselku berdering. Masih dengan pandangan ke televisi, aku meraba-raba sekitar sofa mencari ponselku. Tanpa melihat nama pemanggil aku mengangkatnya.
"HALO", kataku. Fierce terlonjak dan mengeong gusar.
Hembusan nafas dan tawa terdengar dari pengeras suara,
"Ngegas ya kamu",
"Eh? Harry?",
"Iya, lah. Siapa lagi"
Aku mengangkat ponsel ke depan wajahku. Tertera sederet nomor yang belum aku simpan di layar.
"Oh, oke", aku bersandar di sofa, sandal rumahku kucopot dan kulempar ke bawah meja, "agak beda suaranya",
"Hmm", gumam Harry, "Aku mau mengajakmu ke rumahku"',
"Hah?", mataku mengarah ke jam dinding. Hampir pukul sebelas malam.
"Sudah malam",
"Iya, tahu", Harry tertawa lagi,
"Larut banget, Harry",
"Lalu?", aku bisa mendengar senyum mengejeknya dari seberang. Kalau cowok minta ketemuan dirumahnya malam-malam begini kan biasanya mau...
Pipiku memerah. "Me-memangnya kita mau ngapain? Baru kenal juga...", belum selesai aku bicara, Harry sudah memotongku dengan tawa keras.
"Astaga, Lou, bukan sekarang",
"Oh", aku meringis malu, "kirain, memangnya kapan?"
"Sabtu siang ini. Gak ada acara kan?".

Jadi disinilah aku, berdiri didepan rumah Harry, memeluk sekantung paprika dan bawang karena disuruh beli sebelum pergi kesini. Aku melongo, mendongak mengikuti alur pagar yang tinggi. Ujung-ujung pagar tidak terlihat, tertutup bayang sinar matahari. Rumah dibelakangnya juga tak kalah besar dan tinggi, bergaya lama dan terlihat seram dengan cat cokelat dan jendela lebar, mirip-mirip rumah di film horor atau semacamnya. Tiga kali aku mengecek alamat, takut salah rumah. Tapi rumah nomor 23A Havenfield memang disini. Maka aku memencet bel.

Harry sendiri yang membukakan gerbang.
"Hai!",
"Hai", kataku. Wajahnya sedikit berbayang di mataku karena aku terlalu lama mendongak ke atas.
"Masuk. Yang lain sudah menunggu",
"Oh, aku kira cuma kita berdua",
"Kalau cuma kita berdua memang kenapa?", dia menatapku ganjil. Alisnya digerak-gerakkan.
Aku memberinya pandangan bosan dan mendahuluinya berjalan masuk. Bisa kudengar Harry tertawa dan berjalan menyusulku.
Bagian dalam rumah Harry diisi oleh perabotan klasik. Piano superbesar, gramofon yang lebih tua dari kakekku, sofa kulit, perapian. Sebenarnya gaji anak ini berapa, sih?

"Rumahmu kayak rumah drakula", kataku,
"Kok drakula? dasar gak punya jiwa seni!",
Jiwa seni? "Kamu terdengar seperti Squidward", aku terkikik
"Terserah kamu, Lou", dia memutar bola matanya dan menuntunku ke halaman belakang,
"Memang terserah aku",
"Iya", dia tersenyum lembut kearahku, kemudian menunduk, "Apa sih yang nggak buat kamu?"

Pintu ruang belakang terbuka. Tadinya aku mau mengejek Harry lagi, tapi pemandangan di halaman belakang membuat aku hampir menjatuhkan bungkusan paprika dan bawang di pelukanku.

Disana, mengitari pemanggang besar, ada bosku, asistennya, dan tunangannya.

"Berarti kalian belum kenal lama, ya?",
Aku mengangguk, kembali mengambil paprika untuk diiris-iris. Tunangan bos, yang baru kuketahui bernama Niall, ikut mengangguk.
"Kalau Zaynie kenal 'Arry dari SMP", dia melempar pandangan ke arah bosku di seberang halaman yang mengipas-ngipas bara api pemanggang. Bosku menyadari dia sedang dipandangi dan mengangkat wajahnya, lalu tersenyum. Niall membalas senyumannya.

Baru kenal lima menit sudah bikin geli aja.

"Kalau kamu udah kenal Mr. Malik dari kapan?", tanyaku, Niall menoleh balik padaku, kepalanya dimiringkan dan mata birunya sejenak memandang bahuku, kemudian mataku, sebelum akhirnya turun menuju paprika yang sedang diirisnya.
"Sejak aku TK",
"Kalau pacarannya sejak kapan?"

"Dari Zaynie mau masuk kulia' ", dia terkikik. Tangannya memasukkan irisan paprika ke dalam mangkuk besar, memisahkan antara paprika hijau, kuning, dan merah, "kamu ternyata banyak tanya".
Aku menatapnya tidak percaya. Bukannya kamu yang banyak tanya? kataku dalam hati, tapi urung kuucapkan karena karirku akan jadi taruhannya. Salah ngomong sedikit aku bakal diomeli, atau lebih parah dipecat.

"Paprikanya udah selesai?", Mr. Payne, asisten, mendekat, melongok melihat isi mangkuk.
"Sudah?", aku memandangi Niall yang melihat-lihat sekitarnya, mengangguk, "Uda' dipotong semua", katanya.
"Potong bawangnya, ya", Mr. Payne mengangkat mangkuk dan membawanya ke Harry yang duduk dekat pemanggang, menusuk-nusuk daging ke bilah lidi.
Aku merogoh kantung yang aku bawa tadi, mengeluarkan bawang-bawang berukuran lebih besar dari kepalan tanganku. Aku hendak membagi dua bawang ketika Niall berkata lirih, "Aku nggak mau potong bawang...", dia memandangi bawang dengan skeptis,
"Loh? Kenapa?",
"Aku nggak mau potong bawang!", dia berteriak, aku menatapnya nyalang.
"Kalau begitu gak usah", Mr.Malik balas berkata dari tempatnya didepan pemanggang, Niall tertawa kecil, lalu berbaring di alas taplak besar yang kami duduki.
"Louis, potong bawang", katanya, menunjuk bonggol-bonggol ungu besar yang berserakan disekitar kami, seolah ikut tersenyum mengejek, kemudian dia asyik bersenandung sendiri.
Tanganku meraih sebutir, dengan cekatan mengupas dan memotong-motong menjadi bagian tipis berbentuk sabit, membayangkan bahwa itu bola mata Niall. Dia punya sindrom Tuan Putri atau apa, sih?
"Masih lama, ya?", kata Niall kepada kerumunan cowok di sekitar pemanggang ketika aku menyelesaikan bawang ketigaku, masih ada dua bawang lagi menunggu.
"Sebentar lagi, tinggal nusuk bawangnya", kata Harry,
Niall menoleh padaku, "Yang cepat, Louis",
Aku menarik nafas panjang dengan berisik lalu pura-pura tersenyum manis, "Baik, Tuan Putri",
Niall tertawa dan bertepuk tangan, "Aku suka dipanggil begitu. Panggil itu terus ya",

Salah ngomong aku.

Ternyata kami kekurangan saus barbekyu, yang tidak disadari Harry sebelumnya. Karena pekerjaan memotong bawang sudah selesai, aku bersukarela mengunjungi Tesco's dekat rumah Harry. Niall, yang sebelumnya bersorak ribut kalau dia ingin ikut, terpaksa aku bawa. Dua kali aku hampir menyenggol jatuh toples selai buah karena dia menarik jaketku ketika dia melihat sesuatu yang disukainya. Kali ini dia menunjuk sebungkus permen jelly baby. Permen itu bergabung bersama dua botol saus barbekyu dan sebungkus cokelat Hershey's Kiss di dalam troli.
"Sudah cukup", kataku, mendorong troli ke arah kasir.
Kasir itu berbaik hati mengambilkan barang belanjaan dari troli ke atas konter. Aku hendak merogoh ke dalam saku jaketku, tapi keduluan Niall yang menyerahkan selembar uang sepuluh pound. Aku menunduk menatapnya,

"Tidak mau menyinggung, Louis, tapi", dia meremas saku jaketku dari luar, "dompetmu tipis",
Sial.
"Shhh jangan keras-keras", bisikku, meletakkan telunjukku di depan bibirnya. Niall mengelak,
"Bau bawang", dia merengut, namun sesaat kemudian nyengir. Ada lesung pipit di pipi kirinya dan meski berat kuakui-dia kelihatan sangat manis, mau tak mau senyumannya menular padaku.
"Ini belanjaannya", kantung cokelat muda disodorkan ke arah kami. Aku melepaskan pandanganku dari Niall dan menerima kantung itu. Si kasir tersenyum padaku, rupanya aku masih tersenyum jadi kulonggarkan senyumanku.

"Terimakasih", kataku, menengadahkan tangan saat kasir menyerahkan bil dan uang kembalian. Kuserahkan lagi ke Niall yang mengantonginya.
Niall sudah menyeretku ke pintu keluar, mengatakan sesuatu tentang dia ingin pipis. Seseorang menepuk bahuku, membuat langkahku terhenti.

"Kamu Louis, kan?".

• antemeridiem // larry stylinson Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang