Goresan Tiga

2 1 0
                                    

Perjalanan ini terasa sangat panjang bagi Senja, aspal basah yang beradu dengan decitan rem mobil memacu adrenalinnya, mungkin jalanan terlalu licin hingga beberapa kali Ia merasa akan terjengkang kedepan

"Lo niat nyetir  nggak, sih?" Gerutuannya seperti angin lalu bagi cowok di sampingnya karena alih-alih menjawab, Langit -nama cowok yang Ia kenal lebih memilih bungkam-

Hening kembali menyapa

Senja mendesah berat,  memikirkan alasan mengapa Ia dengan mudah menyetujui ajakan cowok yang baru Ia kenal beberapa jam lalu

Bagaimana kalau Ia punya niat jahat?

Bisa sajakan ini alibinya untuk menjebak Senja?

Senja merogoh saku kemejanya, mengambil smartphone miliknya yang sialnya mati total.

"Belok kiri pas persimpangan"  Senja berkata cuek saat Ia melihat persimpangan
menuju rumahnya. Namun, alih-alih berbelok kearah yang Senja katakan Langit malah membelokkan stirnya kearah berlawanan

Tiba-tiba wajah Senja berubah pucat, Ia merapat pada jendela mobil berharap bisa mengecilkan diri agar bisa melarikan diri melalui celah mana saja

"Ki...kita mau kemana. Lo mau ba....bawa gue ke...kemana. Berhenti Langit, gue mau turun" Sebelum benar-benar larut dalam ketakutan Senja memilih berontak, Ia menarik lengan Langit berusaha menggapainya agar bisa menepikan mobil segera

"Lo mau nyulik gue. HAH! Turunin gue disini. TURUNIN."

Senja panik, Ia menggila, menarik lengan Langit, menjambak rambutnya, dan berteriak tepat di telinga Langit

"TURUNIN GUE!"

Mobil sport putih itu menepi begitu saja saat Langit membanting kemudinya

"Lo mau turun disini? Seriusan?"

Senja ternganga, bukan karena ucapan Langit tapi karena tatapan Langit yang sekelam langit malam. Fokusnya teralih pada bola mata itu, meresapi rasa yang dulu pernah hadir pada sosok berbeda. Ini salah dan tak nyata tentunya, namun saat tangan melambai didepan wajahnya. Ia yakin bahwa ini lebih dari sekedar ilusi

Smartphone di dashbord bergetar, bukan milik Senja karena Langit lebih dulu menggapainya

"Halo, hmm disini. Mungkin agak terlambat. Kami memilih memutar. Iya, dia akan aman."

Kemudian Langit meletakkan kembali ponselnya.

"Siapa?"

"Bokap lo."

Senja terkekeh, tentu saja Langit berbohong

___________________________________

"Siapa yang mengantarmu?" Pertanyaan itu yang menyambut Senja sebelum pintu tertutup dengan keras. Ia menghela napas lelah, mengapa ayahnya bertanya sementara puluhan telepon dan sms-nya tadi diabaikan?

Alih-alih menjawab Senja memilih berlalu, melewati ayahnya begitu saja.

"Ayah bertanya padamu, Senja. Perlihatkan sopan santunmu."

Senja memutar bola mata jengah. Hal yang membuat ayahnya naik pitam.

"Apa peduli ayah, bukannya meeting jauh lebih penting?" Ucap Senja sarkas.

"Tentu saja, kalau bukan karena bunda, Ayah bahkan nggak sudi buat lihat kamu di rumah ini. Semua gara-gara kamu."

Awalnya Senja ingin marah tapi ketika ucapan selanjutnya keluar dengan nada bergetar, Ia sudah tidak tahan lagi.

"Aku juga nggak pernah mau bunda
pergi ninggalin kita, Ayah." Karena yang Senja tahu ayahnya berubah ketika bundanya sudah tiada.

"Aku pengen bunda bareng kita lagi. Ketawa bareng, main bareng, makan bareng, dan-----"  Suaranya kian tercekat, kenangan itu hadir dalam keadaan pekat.

".....ngelakuin semuanya bareng-bareng, Ayah. Bukan kayak gi---"

"INI SEMUA KARENA KAMU, ANAK NGGAK TAU DIRI."

Selama enam belas tahun hidupnya, ini adalah kalinya pertama ayahnya membentaknya.

Sakit

Perih

Senja beralih menyentuh ujung tangga menuju kamarnya agar Ia bisa berlari dan pergi, setidaknya dengan menjauh Ia tak perlu membuka luka lama yang masih bergerigi.

Namun ucapan ayahnya selanjutnya menancap tepat di ulu hatinya, dunianya seakan terpusat pada titik itu, memaku dirinya semakin dalam

"Ayah ngesel punya anak seperti kamu. Kalau Ayah bisa ngulang waktu, mungkin ayah nggak akan bahagia saat tahu kamu lahir di dunia."

___________________________________

Antara Langit dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang