1

87 28 26
                                    

Namanya Andi Aretha Khanza Zayna. Di lingkungan kecilnya dia lebih sering dipanggil Retha, meski ia sebenarnya lebih senang dipanggil Khanza.

Khanza tumbuh menjadi gadis yang ramah dan terbilang supel. Senang menghabiskan waktu di tempat yang bahkan terbilang kumuh. Berbaur dengan orang-orang kampung yang ramah baginya lebih bagus ketimbang harus mencari teman kota yang sombong. Begitu katanya.

"Keputusan mu sudah bulat, nak?" tanya sang Ibu dengan wajah sendu. Tak rela melepas anak gadis satu-satunya.

Khanza menghela nafas lelah. Menatap langit-langit rumah yang kini bolong di beberapa titik. Berusaha agar tangisnya tak pecah di hadapan malaikatnya.

"Iya, Bu. Retha yakin akan pergi ke kota dan Insya Allah, Retha akan pulang sebulan sekali."

Air mata itu menetes meski Khanza sudah mati-matian menggigit bibirnya.

"Pamit pada Bapakmu, yah?"

Inilah yang tak diinginkan Khanza. Pamit pada Bapak, sama saja menoreh luka baru sementara ia harus bepergian jauh. Tapi doa restu dari orang tua itu penting, bukan?

"Meski bagaimana pun, dia tetap Bapakmu, Retha."

--

Rumah itu terlihat kosong. Entah dimana penghuninya, Khanza tak tahu dan tak mau tahu. Yang Khanza inginkan hanya berpamitan pada Bapak lalu pergi secepatnya.

"Mencari siapa?" tanya wanita sepantaran Ibu yang sepertinya baru kembali dari ladang.

"Bapakku."

Wanita itu tak menjawab lalu menapaki tangga kemudian masuk ke dalam rumahnya.

Pertanyaan Khanza bagaikan angin lalu baginya.

Baru saja hendak mengumpat, wajah teduh sang Bapak muncul. Umpatannya tertahan dan tergantikan dengan senyum manis.

"Bapak,"ujarnya sembari mencium tangan Bapak.

Deni-sang Bapak mengusap pelan puncak kepala Khanza. Mendoakan yang baik-baik menghampiri putrinya.

"Ada apa, Nak?" tanya Deni Heran. Khanza tak mungkin menginjakkan kaki ke rumahnya tanpa ada alasan yang sangat penting.
Mendadak, perasaan Deni kalut.

"Khanza mau bicara, Pak."

Yah, hanya bersama Bapak lah Khanza menyebut dirinya 'Khanza'. Bukan 'Retha'.

Deni menarik tangan Khanza perlahan menaiki tangga. Maklumlah, rumah di kampung memang kebanyakan bergaya rumah panggung. Namun rumah tempat Deni tinggal jauh lebih baik bahkan sangat baik jika dibandingkan dengan rumah Khanza sekarang.

Meski tak mau, Khanza mengikut. Sebenarnya tak sudi menaiki rumah yang dihuni oleh manusia berhati iblis seperti ibu tirinya. Namun apalah daya jika yang mengajak adalah bapaknya.

"Mau bicara apa?" tanya Deni tenang.

Tiba-tiba saja, lidah Khanza keluh. Entah karena ia sedih atau justru malas karena sang iblis yang enggan ditemuinya, duduk anteng tak jauh dari Bapak.

"Khanza ingin ke kota, Pak."

Deni menegang. Kekalutannya tak beralasan.
"Untuk apa?"

"Khanza hanya ingin merantau. Khanza mau memperbaiki kehidupan Ibu di kampung. Selepas Bang Toni dan Ridwan merantau di tanah orang, Khanza berpikir harus melakukan sesuatu."

"Lalu siapa yang akan menjaga ibumu?"

Pertanyaan berbahaya, karena wanita yang menjadi istri Deni melotot mendengar nada khawatir terlontar dari suaminya.

"Bapak tidak perlu khawatir. Khanza akan menitipkan Ibu pada Imam."

Deni menghela napas berat. Khanza adalah putri satu-satunya. Berat untuknya melepas Khanza apalagi berada jauh darinya.

"Ibumu setuju?"

Khanza mengangguk. "Hanya meminta izin pada Bapak. Meski Khanza tahu bapak berat mengizinkan, namun Khanza akan tetap pergi. Bapak pun tak punya keberanian melarang. Toh, bapak seakan lepas tangan atas hak asuh kami sejak 10 tahun yang lalu. Khanza hanya ingin Bapak tahu, bahwa Khanza sayang Bapak dan Ibu. Khanza bahkan sangat berharap kalian kembali rukun. Namun dengan keadaan seperti ini, sepertinya tidak ada lagi yang bisa diperjuangkan. "

Khanza berdiri sebelum segala keluh kesahnya tercurah lebih jauh.

"Khanza pamit, Pak," ucap Khanza menarik tangan Bapak paksa dan menciumnya.

Menuruni tangga kemudian meninggalkan rumah itu dengan hati yang takkan pernah utuh lagi.

---

Pagi itu langit mendung. Seperti tak mendukung Kepergian Khanza. Dengan angkutan umum Bang Jupri yang menunggu di depan rumah, membuat Khanza akhirnya benar-benar harus pergi.

"Retha, baik-baik di sana. Jangan nakal, Retha. Berteman dengan orang baik saja, jauhi hal-hal terlarang, jangan lupa sholat."

"Iya, Ibu. Retha pamit. Akan Retha hubungi jika sudah sampai."

"Retha, tunggu."

Pekikan dari Imam membuat langkah Khanza yang hendak naik ke angkutan umum terhenti.

Sepupunya itu terengah-engah sembari mengatur napasnya.

"Ada titipan dari Bapak."

Sebuah buku terulur kepadanya disertai sebuah tasbih.

Khanza membaca judul buku itu.

'Ya Allah, mengapa aku diuji?'

Di ambilnya kemudian mengalungkan tasbih itu ke lehernya.

"Titip Ibu yah, Mam."

"Iya. Fadli titip salam. Katanya jangan hilang kontak. Ohiya, nomor teleponnya ada di sela kertas itu."

Khanza mengangguk kemudian naik ke angkutan.
Ia benar-benar pergi.

---

Khanza mengerti kenapa bapak memberinya buku itu. Pasti agar Khanza tak lupa bahwa ketika dia susah selalu ada Allah yang akan membantu.

Teringat dengan nomor Fadli, Khanza membuka buku itu namun sebuah kertas dengan tulisan tangan yang sangat ia kenali, membuat Khanza menahan napas.

'Khanza, bapak tahu bahwa bapak tak ada hak untuk melarang kalian setelah bapak memutuskan untuk menikah lagi. Bapak hanya ingin mengatakan, jaga dirimu baik-baik di kampung orang, nak. Jangan lupa sholat. Uang yang bapak titipkan ini gunakan dengan baik. Kamu tahu kenapa Bapak tidak memberikannya secara langsung.
Jaga kesehatanmu, Nak!'

Khanza menggenggam dua lembar uang seratusan itu dengan air mata meleleh.

Meski harus sembunyi, ternyata Bapak masih peduli padanya.

---

TBC

Cinta Dua HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang