Prolog

44 3 0
                                    

"Arly...."

"Hm?" Aku menoleh, menatap seorang
lelaki yang sedang duduk di sampingku.

"Tak usah berpura - pura di hadapanku. Kamu bisa meluapkan apa yang kamu rasakan. Aku takkan mengatakannya pada siapapun."

"Siapa yang berpura - pura?" Dadaku bergemuruh. Rasanya semakin sesak saja. "A-aku-"

Saat ia menarikku ke dalam pelukannya, saat itu pula tangisku pecah.

"A-aku... aku...."

"Ssstt.... Iya, aku mengerti. Kamu tak perlu mengatakannya. Lupakan saja perkataanku waktu itu. Kamu boleh menangis sepuasmu di depanku. Kapan pun."

"T-tapi a-aku s-sudah berjanji...."

"Anggap saja janji itu tak pernah ada, oke?" Ia melepas pelukannya lalu menangkup wajahku. Ibu jarinya bergerak mengusap pipiku. "Arly, tatap aku!"

Aku, yang awalnya menunduk, memberanikan diri untuk mendongak. Menatap matanya yang menatapku tulus.

"Aku tau ini bukan waktu yang tepat. Tapi, aku ingin kamu tau jika aku akan selalu berada di sampingmu." Ia mengeluarkan sebuah kalung berbandul cincin dari saku bajunya. "Aku menyu- tidak, aku mencintaimu."

Aku menatapnya tak percaya.

"Aku tau aku bukan orang yang romantis, tapi aku bersungguh - sungguh dengan perkataanku. Jadi, apa kamu mau?" Tanyanya kikuk.

"Tak apa jika kamu menolakku. Aku tau bahwa aku sekarang terlihat seperti memanfaatkan kondisimu yang sedang terpuruk. Aku-"

"Siapa bilang aku menolakmu, huh?"
Aku memeluknya erat. "Jadilah snowdrop-ku....
.
.
.

SnowdropTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang