“39 derajat,” kata seorang wanita yang memakai jas putih.
Wanita itu kemudian meletakkan kembali termometer yang dipegangnya ke dalam tas dokternya.
“Istirahat yang cukup dan jangan malas makan, Hinata,” kata dokter itu sambil membereskan peralatannya.
“Arigatoo, Shion-san,” kata Hinata pada dokter itu.
“Kenapa kau bisa sakit?” tanya Shion.
Hinata hanya tersenyum lemah. Shion memandang mata pucat milik Hinata lalu menghela napas gusar.
“Jaga kesehatanmu!” kata wanita yang dipanggil Shion itu ketus.
Hinata kembali tersenyum lemah memandang kepergian Shion, dokter keluarga Hyuuga yang telah dikenalnya bertahun-tahun. Wanita itu memang cukup galak dan ketus terutama mengenai masalah kesehatan para anggota keluarga Hyuuga. Bahkan Hiashi pernah terdiam akibat nasehat panjang lebar mengenai kesehatan yang diberikan Shion.
Setelah kepergian Shion dari kamarnya, Hinata mulai memejamkan matanya namun tak sampai semenit matanya tertutup, pintu kamarnya dibuka kembali.
Hyuuga Hiashi berdiri di ambang pintu.
Pelan ia mendekati Hinata yang terbaring lemah di ranjang. Hinata menyadari kehadiran ayahnya tapi terlalu lemah untuk membuka mata. Selain itu, saat ini Ia belum ingin bertatap mata dengan ayahnya karena pertemuannya dengan Hiashi di ruang kerjanya kemarin malam. Ia merasa canggung karena mengingat kejadian itu sekaligus malu karena jatuh sakit karena hal itu juga.
Usapan lembut dirasakan Hinata di keningnya. Tangan besar ayahnya terasa hangat dan nyaman sehingga membuat Ia tergoda untuk tidur. Hiashi memandang Hinata yang mulai terlelap kemudian memutuskan bangkit dari tempat duduk di samping ranjang Hinata dan mengecup kening anak perempuannya itu.
“Cepat sembuh,” bisiknya.
.
.
.
Hinata tidak ingat sudah berapa lama Ia tertidur, namun rasanya Ia tertidur cukup lama sampai sentuhan-sentuhan dingin menyeka kening dan lehernya. Dibukanya matanya, tampaklah sesosok berambut pirang yang sibuk mengelap keringat di sekitar leher dan keningnya. Awalnya Hinata berpikir dokter Shion masih belum pulang dan menemaninya di kamar, namun ketika ditatapnya kembali sosok itu Hinata yakin bahwa sosok itu bukan Shion.
“I-Ino-chan?”
“Hai,” cengir lebar menghiasi wajah cantik Ino.
Hinata tidak percaya dengan matanya, berkali-kali ia kerjapkan matanya namun sosok yang ia lihat tetap sama. Gadis bersurai pirang yang Ia rindukan.
“Ino-chaaann....” teriak Hinata lalu melompat ke pelukan Ino.
“Kenapa kau ada di sini? Bukankah kau sekarang tinggal di Kyoto?” tanya Hinata.
Seingatnya setelah mereka lulus SMA Ino pindah ke Kyoto dan kuliah disana.
Ino hanya tersenyum geli, ternyata Hinata tak berubah, masih sama seperti dulu.
“Ayahmu. Orang suruhan ayahmu tiba-tiba datang ke rumahku dan memintaku mengunjungimu disini. Huh, dasar orang kaya!” sebal Ino tapi dengan wajah bahagia.
Setelah itu kamar luas Hinata dihiasi oleh candaan dan tawa dari mereka berdua. Mereka banyak bercerita tentang kejadian-kejadian yang terjadi saat mereka SMA.Bagi Hinata kehadiran Ino yang tiba-tiba seperti oasis di tengah padang pasir. Rasanya semenjak Ia kembali ke Tokyo, momen bersama Ino adalah yang paling bahagia. Hinata sampai-sampai lupa kalau ia sedang sakit dan terus menerus berbagi cerita dengan Ino dan sampailah Ia pada cerita yang berusaha Ia lupakan. Namun Ino ada disini bersamanya. Hinata pun tak sungkan menceritakan segala curahan hatinya pada Ino. Ya, hanya Ino teman yang Ia miliki.
KAMU SEDANG MEMBACA
SQUARE
FanfictionMencintai seseorang berarti membuat garis. Dicintai seseorang berarti dihubungkan oleh garis. Terkadang kau tidak sadar bahwa garis-garis tersebut terhubung hingga membentuk sebuah PERSEGI. RE-PUBLISH Disclaimer : Masashi Kishimoto Warning : AU, OOC...