Tiga

38K 1.7K 61
                                    

Om Raga kembali menciumku, dia menggigit dan menghisap bibir bawahku bergantian. Lidahnya menari-nari di sana, saat Om Raga menarik diri, aku mengecap rasa manis dari permen yang ditinggalkan Om Raga.

Aku mengemut permen tersebut, rasa manis semakin menyebar di seluruh mulut.

Ini aneh. Aku mengerutkan kening, kebingungan. Lalu sentuhan lembut di wajah membuatku menahan napas, pergerakan jemari lembutnya sangat membuai.

Hidungku di belai beberapa kali, sebelum aku merasakan sesak yang teramat sangat saat hidungku di capit.

Aku berteriak, berontak ingin melepaskan diri. Tawa kencang Om Raga berhasil membuatku membuka mata. Aku menatap bingung sekitar, lalu pandangan mata menyapu seluruh ruangan. Semua Om dan Tanteku masih di sini, terkekeh melihat wajah kusutku.

Jadi tadi itu apa?

Ciuman Om Raga, sentuhan lembutnya. Gairah yang aku rasakan sangat nyata. Tidak mungkin aku bermimpi.

Aku menggelengkan kepala, mataku menatap lama Om Raga. Dia balas menatap, entah apa yang terjadi tiba-tiba Om Raga berdehem, dia terlihat sangat salah tingkah.

"Dara, cepat siapkan barang-barangmu. Jangan sampai ada yang tertinggal. Lima menit lagi kita berangkat." Seruan Tante Dewi membuatku bangkit dengan malas-malasan.

Aku sempat melirik Om Raga lagi, lalu meringis dan menghancurkan permen dalam mulut kala merasa tak nyaman di daerah pribadiku.

"Kamu mau ke mana?"

Aku menghentikan langkah, dan berbalik menatap Tante Hera. "Kamar mandi Tan." Ucapku.

"Cepat ya, kita udah mau berangkat nih."

Tanpa kata aku membuat gerakan hormat, dan langsung kabur ke kamar mandi.

Hanya lima menit, sebenarnya masih sangat kurang untuk menguasai kamar mandi seorang diri. Tapi apa daya, para Tante sudah ribut di luar sana.

Kami kembali mengendarai mobil, tidak ada waktu sarapan. Beruntung tuan rumah berbaik hati membawakan kami bekal.

Udara dingin membuatku merapatkan jaket, kaca jendela sengaja aku buka, menghirup udara segar dari luar dan menikmati pemandangan kebun teh milik Tante Hera.

Menghembuskan napas, tanganku terangkat. Aku meletakannya di sisi jendela, lalu merebahkan kepala di sana.

Kabut masih terlihat di kejauhan, membuat pandangan mata tak leluasa.

Saat mobil menaiki tanjakan, aku terpesona melihat matahari akan terbit. "Om berhenti sebentar, dong." Aku merengek, keinginanku tidak dituruti juga.

"Ayolah, Om." Mobil masih tetap melaju, membuatku semakin cemberut. "Lima menit aja." Aku memasang wajah memelas.

"Kita di kejar waktu, sayang."

Aku menggaruk kepala, sebal. Om Raga di samping kiri terkekeh, membuatku menatapnya kesal. "Om Raga, jangan ketawa." Aku meliriknya sini.

"Om Dewa ayo dong, buka pintunya. Aku kebelet nih." Alasan ke sekian yang masih tidak berhasil membuat Om Dewa menghentikan mobilnya. "Om," panggilku sedih.

Bukanya berhenti seperti yang aku harapkan. Aku malah mendengar tawa kencang Om Raga. Sebal aku menyerang tubuh Om Raga dengan cubitan dan pukulan.

Om Raga tergelak, mencoba menghalau serangan dengan kedua tangan. Di kursi depan, aku juga mendengar Tante Dewi dan Om Dewa terkekeh melihat aksi kami.

"Menyebalkan-menyebalkan... menyebalkan," kataku menyerang Om Raga membabi buta. Melampiaskan semua kekesalan atas ke tidak pedulian Om Dewa pada Om Raga.

Om Raga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang