"Caroline Rovenstine," Millard memanggil tunangannya melalui sambungan telepon,
sedikit kikuk.Millard menarik kursi jati, duduk.
"Ya, Honey?" balasnya, Millard tersenyum, dia menyukai panggilan itu—terkekeh pelan.
"Kapan kamu pulang, Yang? This bed is empty without you.." lirih Millard, dia sangat merindukan aroma vanilla and honey di tubuh wanita itu, di apartemennya—tepatnya di ranjangnya.
Millard dapat merasakan bibir manis itu tersenyum hanya untuknya walau dia tidak melihatnya secara langsung. "You make me going crazy, i miss you so bad!"
Caroline tertawa di ujung sambungan, "Aku baru saja tiba di Berlin, Honey, masih tersisa tujuh hari lagi," balasnya manja, membuat Millard kelimpungan, setiap hari. "Tujuh hari?! Kamu tahu itu, lama banget!"
Millard bersedih, "Sehari tanpamu seperti seratus tahun tinggal di kota terpencil, lelah ku lewati sendirian,"
"terasa sia-sia,"
"dan juga hampa."
Perapian bergemeletuk pelan, membuat ruangan tersebut hangat namun tetap saja terasa.. dingin.
"Bisakah aku menjemputmu kembali?" pinta Millard lembut, penuh harap. "Caroline, aku mohon,"
Caroline mendesah, "Jika bukan karena business trip ini, aku tidak mungkin pergi meninggalkanmu," dia semakin rindu dengan pria tampan itu.
"Aku juga sangat merindukanmu, Millard." lanjutnya.
"Dan tentu saja, aku akan kembali bersamamu, di apartemen itu, dan dimanapun kamu berada."
Caroline tersenyum lagi, mengeratkan teleponnya ke telinga, tak ingin ketinggalan siaran manis dari seorang Millard.
"Kamu tau sesuatu, Caroline,"
"...."
Millard berdiri. Dia melempar pandangan ke arah luar jendela.
"Kita sudah bersama lebih .... dari .... uhmm .... delapan tahun kan, hingga kita bertunangan tiga tahun yang lalu, sekarang aku ingin benar-benar merasakan suatu.. kau tahu umm,"
"Di tahun ke-sembilan kita ini, aku...."
Caroline mengerutkan dahinya, tidak mengerti ucapan Millard—dia bingung sekaligus penasaran.
"Millard? Merasakan apa? Apa maksud perkataanmu?" keningnya terlipat.
Millard menarik napas panjang, menghilangkan rasa gugup lalu berkata, "Aku hanya ingin merasakan kebahagiaan dan memiliki keluarga kecil bersamamu seorang...."
"Sejak lama aku ingin mengatakan ini, aku tidak mau menyesal di kemudian hari, Caroline. Dan sekarang lah waktu yang tepat,"
Millard berdeham, memperbaiki pita suaranya.
"Menikahlah denganku, Caroline."
Caroline tertegun.
"Maaf telah membuatmu menunggu terlalu lama, aku yakin hanya kamu wanita untukku, maka aku ingin menikah denganmu."
Caroline mematung.
Dia akhirnya mendengar permintaan itu keluar dari mulut tunangannya—Millard, pagi ini.
"Millard..." gumamnya pelan, terharu.
"Aku tidak pernah seyakin ini, aku mohon menikahlah denganku Caroline." pinta Millard, sekali lagi.
Tanpa sadar Caroline telah menutup mulutnya dengan tangannya.
Dia memberi jeda sebelum berucap, "Aku kira kamu sudah tau jawabannya," balasnya sambil tersenyum hangat.
Millard tersenyum, lebih leluasa, senyum serta gigi ratanya sangat memukau.
"Benarkah, Sayang?"Caroline mengangguk mantap, "Aku juga ingin berbagi seluruh hidupku bersamamu, Millard."
Caroline berkata, "Everything with you, Honey."
"Kamu tau, aku pikir kamu tidak akan pernah memintaku, Honey."
Millard berdecak, "Kalau begitu, tunanganku pagi ini sudah salah besar.."
"Apakah aku harus menghukum dirimu, Sayang, hm?"
Caroline tersipu. "Hukuman, ya? Hmm.. Kiss?"
"Ah, don't say it to me, kamu jangan memancingku, Caroline,"
"Disaat kamu tidak ada disini, justru kamu menawari aku itu!"
Caroline terkekeh, dia gemas sendiri dengan kelakuan Millard.
"Kamu tahu aku selalu ingin melakukan itu bersamamu."
"Aku juga, Honey."
Mereka berdua tertawa—bergurau mesra.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
The Things We Should Never Been
Romance#769 in adult (11-02-19) #939 in Indonesia (11-02-19) ============================================================================================ This work is protected under the copyright laws of the Republic of Indonesia (Undang - Undang Hak Cipt...