Millard tidak dapat menyembunyikan kegembiraan dari wajahnya, sebentar lagi dia akan memiliki seorang istri, dia tidak lagi sendiri di apartemen besarnya itu, Millard kembali tersenyum mengingatnya."Oh, iya, siapkan semua keperluan saya hari ini, Jo."
"...."
"Jo?"
"...."
Perempuan yang telah dipanggil namanya 'dua kali itu, tidak bergeming, justru melamun—menyusahkan aku saja!
"Jo!" panggilnya setengah berteriak.
"Apa Pak? Iya!" Jo berdiri, menggeleng, menyadarkan diri.
Millard mendengus, kesal. "Siapkan semua keperluan saya untuk meeting siang ini."
"Anda bisa menyiapkannya sendiri," gumam Jo, sangat pelan dan nyaris tidak terdengar oleh siapapun,
kecuali ....
oleh ....
Boss-nya itu, sialan.
"Kamu bekerja untuk saya, Jo. Apa kamu lupa?"
"Oh, astaga maaf Pak, saya tidak bermaksud untuk–"
Terpotong.
"Lupakan." Millard menghembuskan napas, "Kerjakan saja tugasmu sesuai perintah saya Jo."
Jo mengangguk, dia memilih mengiyakan, "Ba-baik Pak."
Ini pertanda buruk.
"Jo, saya ada client yang harus ditemui?"
"Benar Pak, sesuai jadwal tentunya."
Millard mengembuskan napas, kasar.
"Urus semuanya, jangan sampai ada yang tertinggal."
"Ingat jangan sampai ada yang tertinggal."
Jo mengangguk. Aku ini sekretaris atau budaknya?
Dia mengumpat, ingin rasanya mengusir jauh pria sialan itu—Boss-nya, yang setiap saat melintas dan memerintahnya tidak terkendali.
.....
"Jo, I'm so bored here.." keluh seorang perempuan duduk di sofa, dia adalah Delia Theresa Warren, adik dari Boss-nya itu.
"Me too.." Jo berkata, tidak ada semangat hidup sama sekali, sambil mengerjakan tugas dari pria sialan itu.
"Kamu baru saja tiba disini, apalagi aku?"
Delia terkekeh, mendengar nada suara Jo—sangat tersiksa.
"By the way, kamu tahu Jo, if your Boss will get married with Caroline?"
"Mereka... Akan menikah?" Jo memang tahu bahwa Boss-nya itu memiliki pasangan, dikiranya mereka malah sudah menikah.
Delia mengangguk, "Iya, Millard memintanya melalui telepon karena Caroline sedang di Berlin lalu dia menerimanya."
Jo termangu. Perempuan itu menerima pria itu. Really?
"Millard cerita kemarin, mau pamer." Delia tertawa, mengejek.
Jo tersenyum, dan berkata, "Wah, berarti kabar gembira dong, ya."
Delia mengangguk dan berucap, "I think so."
"But it's too late, seharusnya sih sudah dari lama," protes Delia.
"Kalo aku jadi Caroline, sudah pasti menolaknya,"
"Mana ada wanita yang suka menunggu."
Jo setuju akan hal itu, secara diam. "Tidak ada."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Things We Should Never Been
Romance#769 in adult (11-02-19) #939 in Indonesia (11-02-19) ============================================================================================ This work is protected under the copyright laws of the Republic of Indonesia (Undang - Undang Hak Cipt...