THREE

9 1 0
                                    


     "Bagaimana bisa kamu melupakannya Jo?!"

     Jourdana menghela napas. Ini masalah pertama hari ini, Boss-nya mengamuk. "Maaf Pak, maaf, sa-saya tadi kurang teliti."

     Millard menutup matanya, terpejam dan meredam emosi.
    "Kamu tahu bahwa meeting itu membahas kerjasama dan kamu meninggalkan poin utama pada slide."

     Jourdana hanya diam, merutuki diri mengapa dia tidak berani melawan pria itu.

     "Lain kali tiada ampun bagimu."

    Jourdana mengangguk, "Iya Pak, sungguh, ini tidak terulang lagi."

    "Kamu benar, itu tidak akan," balas Millard, sombong dan tegas masih di tempatnya.

    "Cepat kembali bekerja, saya menggajimu tidak hanya untuk berdiri."

    Jo mengepalkan erat tangannya, hampir ingin memberikan bogeman tepat di wajah sialan itu.

*

     Jourdana mengeluh ingin rasanya keluar dari pekerjaannya ini. "Kamu tahu banyak orang yang menginginkan sebuah pekerjaan. Dan kamu adalah orang yang beruntung. Banyak orang yang menginginkan posisimu." ucap Ibunya kepada Jourdana, dia selalu ingat itu, membuatnya mengurungkan niat berhenti.

     Jourdana menjadi orang yang tidak tergantikan. Setiap hari harus bertemu dengan boss itu, sedia bila diperlukan, menjadi tangan kanannya.

     Dan kebetulan, Jourdana adalah tangan kanan yang setiap saat siap ingin menampar wajah sombong itu.

     Millard Drew Warren, hanya dengan menyebut nama itu sudah membuat kepala Jourdana mengepal erat mengingatnya: tukang sereh, menyebalkan, bossy. Dia tinggi, sombong, dan sepenuhnya jahat.

     Jourdana baru menyadari bahwa orang itu adalah pria tersombong yang pernah dia temui. Semua wanita di kantor, dan mungkin di luar itu, memuja-muja Millard. Kaya dan memiliki wajah yang tampan serta memikat.

     Jourdana memberi salam seperti biasa. "Selamat Pagi Tuan Warren," berharap dia akan memberi anggukan singkatnya sebagai balasan kepadanya.

    Tetapi nihil!

    Ketika dia mencoba melewati Jourdana, dia bergumam, "Jam berapa sekarang?"
Jourdana berdecak, menatap tatapannya yang dingin.

    Jourdana merasa sangat kecil untuk pertama kali sehingga dia harus memakai high heels yang melebihi lima centi untuk bisa melihat mata sombong itu tanpa berjinggit. Jourdana memiringkan wajahnya, menatapnya, dan dia menikmatinya, mata cokelat itu menyala.

     Bisa dikatakan, mungkin salah satunya, Caroline juga tertarik kepada boss-nya itu. Secara pribadi, Jourdana mengakui pesona yang dimiliki pria itu kalau saja dia menutup mulutnya.

    Jourdana dengan senang hati memotongkan selotip untuknya, dia akan sempurna. Pasti.

     Millard tinggal bersama Caroline, membuat Jourdana berpikir bahwa Caroline mampu bertahan tinggal bersamanya pasti karena pria itu memperlakukannya dengan istimewa. Jika tidak, pasti sejak lama Caroline pergi.

    Jourdana menepis pikiran yang membuatnya ingin tahu bagaimana pria itu saat bersama Caroline.

     Bukan, bukan, saat mereka sedang di dalam apartemen, itu bukan urusannya melainkan sikapnya di keseharian.

     Dia bertanya-tanya apakah pria itu sama saja bossy dan menyebalkan tepat seperti di kantor ini, kepadanya.

     Jourdana mengangkat bahu, siapa peduli, pria itu jelas bukan tipenya.

Tidak seburuk itu.

Atau.

Mungkin.

Lebih baik.

The Things We Should Never BeenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang