i wish i could see myself

2.5K 423 71
                                    

Hmm :(















Chan meringis pelan begitu sehelai kain tipis memyentuh luka gosong di lengannya. Tak hanya di sana, namun hampir di seluruh permukaan kulitnya. Membuat ia nampak seperti mayat yang siap diawetkan. Sayangnya dia bukan Jeongin.

"Sakit?"

Woojin tiba-tiba saja muncul di belakangnya, membuat Chan menghentikan aktivitasnya. Ia paling tak suka didatangi orang di saat masa terburuknya, padahal ia sudah memilih untuk melakukannya tengah malam. Ternyata ruang makan adalah tempat paling payah untuk saat ini.

Malu, karena di kaumnya, ia adalah satu-satunya vampir yang tak dapat sembuh dengan cepat. Terutama akibat perang tadi siang-dengan matahari menyengat serta ia yang berkali-kali berubah bentuk sesuai dengan perlawanan yang dihadapinya, membuat energinya terkuras habis dan kekebalannya berkurang.

"Changbin sudah membuatkan ramuan. Dan aku sudah meminumnya, kalau kau masih ingin bertanya," jawab Chan cepat, berharap Woojin bisa segera pergi ke kamarnya sendiri.

Tapi yang dilakukan elf salju itu justru menarik kursi di sebelah Chan dan menatapnya dengan sangat lembut.

"Bukalah semua perbanmu. Aku bisa membantumu, kalau kau lupa."

"Tidak perlu. Aku bisa sendiri."

Woojin mendengus, menusukkan pandangannya pada Chan tepat di mata dan membuat yang ditatap seperti itu jadi salah tingkah.

"Kau sendiri yang bilang," Woojin mengubah tone suaranya menjadi lebih rendah dan dibuat-buat. "Biar mereka bilang kekuatanmu adalah sesuatu yang merusak. Tapi bagiku, kau melakukan yang terbaik dan membantu kami bertahan hidup."

Chan meringis, gaya bicaranya di masa lalu ditiru. Rupanya Woojin masih mengingat dengan jelas. Tapi Chan memaknainya, karena ia tak suka Woojin menyembunyikan bakatnya karena takut akan menyakiti orang lain. Tidak bicara soal kekuatan fisik, tapi disini dunua akan terasa berbeda jika tak ada Woojin yang sudah seperti penopang baginya.

"Aku sudah membuatmu marah hari ini."

"Aku tidak marah pada siapapun."

"Lalu?"

"Hanya sebal." Woojin berpikir sejenak, merangkai kata-kata. "Kenapa mereka selalu mengetahui tempat kita? Terutama mereka merusak taman bunga yang kurawat bertahun-tahun."

Chan berusaha menemukan kebohongan di mata Woojin, namun gagal. Akhirnya ia mengalah dan mengulas senyum kecil sebisa mungkin.

"Kau menang kali ini."

Nyatanya, sejak dulu hingga sekarang, Chan selalu kalah terhadap Woojin bahkan tanpa sempat melawan. Ia membongkar perjuangannya sejak beberapa menit lalu, menahan perih yang menyengat.

Setelah seluruh perban terbuka, Chan merasakan Woojin menahan nafasnya, berikut sorot matanya yang meredup.

"Hei, kau tidak perlu merasa bersalah, Woojin." Chan memberikan senyumnya. "Kau sudah melindungi anak-anak, dan kaupun juga selamat. Itulah yang terpenting saat ini."

"Baiklah, baiklah." Woojin mengangguk, balas tersenyum kecil. "Aku juga senang kau tak terbunuh."

"Jika aku terbunuh, orang yang melakukannya sudah pasti telah kehabisan darahnya."

Woojin terkikik. "Itu kejam." Ia kemudian mengarahkan tangannya ke depan, tepat beberapa cm di dekat luka Chan. "Tutuplah matamu."

Sudut bibir Chan terangkat, penasaran sekaligus geli akan perasaan yang menggelitik hatinya saat Woojin berkata begitu. "Kenapa?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 02, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Unusual [SKZ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang