Chapter 4

27 3 0
                                    

Avey membuka kelopak matanya perlahan. Ia mengedipkan matanya berulang kali, menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retinanya. Semakin lama semakin terang, matanya terasa sedikit perih. Ia mengangkat tangan kanannya ke atas dan membentangkan jari-jarinya di bawah cahaya yang berusaha untuk lebih masuk lagi ke dalam birunya mata miliknya.

Hangat.

Itulah yang ia rasakan sekarang.

Pandangannya lurus ke atas. Ke arah dahan-dahan pohon yang seakan melindungi daratan dari sesuatu yang ada di atas. Rasanya, dahan-dahan raksasa itu lebih tinggi dari apapun. Lebih tinggi dari gunung, awan, bahkan matahari. Akan tetapi, dahan besar itu masih saja terlihat. Dirinya penasaran, seberapa besar batangnya? Sebesar mobil, rumah, ataukah sesuatu yang lebih besar dari itu?

Ia lalu menjatuhkan lengan bawahnya di atas kelopak matanya. Ia biarkan netranya tenggelam sebentar dalam kegelapanan. Sambil sesekali ia mengatur nafasnya. Mengambil nafas sedalam-dalamnya. Berusaha untuk menghirup oksigen yang kejernihannya jauh di atas tempat dimana ia sebenarnya tinggal.

Memang.

Memanglah ini mimpi.

Ia melemparkan lengan bawahnya ke bawah. Tubuhnya terasa lemas. Namun, itu tak berlangsung lama. Rasanya, dunia itu telah memberikan energi yang sangat besar baginya.

Ia terduduk. Masih dengan pakaian yang sama. Seragam sekolahnya. Ibunya akan marah. Tentu saja dia tahu hal itu. Yang jelas, dia harus memberikan alasan yang masuk akal.

Seketika, telinganya menyerap bunyi-bunyian yang menenangkan jiwanya. Suara burung-burung bernyanyi. Daun-daun yang menari-nari bersama angin. Akar-akar yang menjalar melalui tanah. Bahkan, suara awan yang disorong oleh angin.

Sebentar saja.

Ia ingin menikmati ini sebentar saja. Setelah itu dia janji akan terbangun dari mimpi. Ini begitu indah. Tidak pernah rasanya jiwanya setenang ini. Tidak pernah di dunia aslinya.

Ia mengedarkan pandangan di tempat ia berada. Pemandangan itu, tampak berbeda dari sebelumnya. Ia juga tidak menjumpai sosok laki-laki dengan sorot mata yang sangat bercahaya itu. Namun, yang masih sama adalah hewan-hewan yang mulai berjalan mendekatinya.

Gadis kota sepertinya paling takut dengan yang namanya hewan liar. Apalagi hewan-hewan yang ada di depannya mungkin... bisa dibilang sedikit 'berlebihan' dari dunianya.

Seekor entahlah... rusa? Tapi berbeda dengan rusa-rusa yang biasanya. Tubuhnya sebesar kuda. Bulu halusnya seputih dan sebersih salju. Matanya berwarna hitam yang berkilauan di bawah cahaya. Tanduknya... itulah bagian darinya yang paling indah. Tanduknya lebih besar dan lebih panjang dari rusa yang ada di dunianya. Itu berwarna putih, lebih putih dari tulang. Di tanduknya, burung-burung hinggap dan menatapnya.

Rusa itu mendekatinya. Sontak, Avey berdiri dan mundur karena merasa takut. Di bawahnya sebongkah batu besar, beberapa cm dari tanah. Tak sadar Avey berada di ujungnya karena terlalu jauh bergerak mundur.

Ia terkejut saat merasakan setengah dari telapak kakinya tak lagi menapak batu. Tubuhnya oleng ke belakang seakan tertarik rumput itu sendiri. Ia akan terjatuh. Tubuhnya hendak terjun ke rumput tepat sebelum seseorang berhasil menyangga punggungnya.

Bersamaan dengan itu hewan-hewan berlari menjauh. Burung-burung beterbangan. Rusa putih itu pun berlari meninggalkannya. Mereka tidak pergi. Hanya bersembunyi di balik pepohonan rindang yang ada di balik hutan. Tetap memperhatiaknnya dengan sepenuh hati.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 20, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AlaveyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang