Chapter 3

25 4 0
                                    

Di dalam sejumput kehidupan, pasti ada setitik cerita

ALAVEY

Avey benar-benar tidak habis pikir mengapa dirinya mampu membaca tulisan seaneh itu. Apa mungkin jaringan di otaknya sudah membelot? Tidak kan.

"Mmm, maaf. Tapi saya belum pernah menemukan aksara yang seperti itu. Tetapi saya kebetulan saja bisa membacanya."

Kakek tua itu terdiam lalu kembali tersenyum. "Tidak ada yang kebetulan, nak. Termasuk hujan ini bukanlah kebetulan. Tapi sebuah keajaiban."

Avey semakin tidak mengerti apa yang dibicarakan kakek tua itu. Hatinya gusar ingin mengacak-acak pikirannya sekarang juga. Entah mengapa Avey merasa sangat tertarik dengan kakek tua itu.

Bukan, bukan karena kakek itu punya wajah yang tampan. Avey masih punya pikiran yang normal. Tetapi dirinya merasa bahwa kakek itu menyimpan sesuatu yang sangat menarik. Dan Avey benar-benar ingin tahu.

"Boleh saya tahu dimana rumah kakek? Kalau mau saya bisa mengantar kakek sampai rumah."

Bodoh.

Avey merasa dirinya sudah sangat-sangat bodoh hingga mengucapkan kata-kata diluar pikirannya. Tentu saja ia sudah diajarkan oleh ibunya untuk selalu menjaga jarak pada orang lain. Tetapi Avey benar-benar tidak mengindahkannya.

"Sungguh anak baik. Rumahku ada di belakang halte ini." Kakek itu menunjuk ke belakang dengan ibu jarinya yang sudah keriput.

Avey hanya melirik sekilas dan tersenyum karena tahu bahwa kakek tua itu menunjuk ke arah hutan yang ada di belakang halte bis. Atau mungkin kakek itu tidak ingat dimana rumahnya? Setahunya, tidak ada yang pernah tinggal di hutan lebat dan gelap itu.

"Benarkah itu? Lalu kenapa kakek duduk di sini? Bukankah sebaiknya kakek beristirahat sambil meminum segelas teh panas?"

Kakek itu hanya terdiam menatap rintik-rintik hujan yang kian deras. Menimbulkan suara yang sedikit lebih keras dari sebelumnya.

"Tidak ada yang membuatkan kakek minum, nak. Kalaupun ada kakek tidak akan dibolehkan untuk duduk di sini sambil menunggu bis yang tidak akan pernah datang."

Dari sini, Avey bisa menebak bahwa kakek itu tinggal sendirian. Avey menatapnya kasihan dan membayangkan bagaimana rasanya dia tinggal sendirian tanpa ada yang menemaninya. Sungguh, Avey luluh.

"Lalu apa yang kau lakukan di sini, nak?" Kakek tua itu menatap mata
biru milik Avey.

"Menunggu bis, kek."

Dan Aveypun tersadar bahwa dia sudah berdiri di sini sangat lama hingga ia tidak menyadari bahwa tidak ada satupun kendaraan yang lewat sini. Avey mengginggit bibirnya sedikit kesal. Bisa-bisanya dia tidak menyadari bahwa hari semakin gelap dan dia ragu ibunya akan menyambutnya dengan hangat saat dia sampai di rumah.

"Tidak apa-apa, nak."

Kakek tua itu berdiri dengan bertumpu pada tongkat kayunya. Avey baru tersadar bahwa ada ukiran halus yang ada pada tongkat kayunya. Tubuhnya yang rapuh berdiri dengan sedikit membungkuk.

"Kau bisa ke rumahku dulu."

Ya, Avey berharap bahwa masuk ke dalam rumahnya akan memperlihatkan siapa kakek itu sebenarnya. Karena Avey merasakan perasaan yang aneh saat berada di dekat orang itu. Bukan hanya itu, walaupun kakek itu sangat tua tetapi kewibawaannya sempat membuat bulu kuduk Avey merinding.

Lalu Avey mengekorinya dan berjalan menuju rumah kakek tua itu. Bukan main, hati Avey merasa kegirangan tetapi sebenarnya dia sedikit takut. Ah, itu bukan masalah. Dia hanya kakek tua, bukan?

Saat berjalan memasuki hutan yang sudah lama ditinggalkan dan hampir tidak pernah dimasuki, Avey sempat ragu bahwa ada orang yang mau tinggal di sini. Avey sempat bertanya pada kakek tua itu tetapi kakek itu tetap diam saat ia bertanya.

Tetapi Avey tidak berbohong. Tidak ada jalan setapak yang menandakan bahwa ada jejak manusia di sini. Hanya ada beberapa jejak hewan kecil dan jejak hewan yang dianggapnya seekor beruang. Avey ingin berbalik tetapi jujur jalan di belakangnya seolah-olah menolaknya untuk kembali.

Avey hanya bisa pasrah dan mengharapkan secangkir teh panas yang pastinya dia yang akan membuatnya saat sampai di rumah kakek itu. Entah seperti apa bentuk rumahnya, tetapi Avey berharap itu bukan rumah yang penuh dengan kelelawar dan hewan pengerat.

Dan, faktanya. Avey selalu lupa untuk menanyakan siapa nama kakek tua itu. Tetapi biarlah, dia bisa menanyakannya nanti saat sudah sampai di kediaman kakek iitu

Avey hanya diam saat kakek itu terus membawanya masuk ke dalam hutan yang sangat sepi itu. Ia merasa bahwa semakin dia masuk ke dalam hutan semakin ia merasa hutan itu semakin rimbun dan semakin gelap. Ia bahkan berkali-kali tersandung oleh ranting pohon yang berukuran sedang maupun besar.

"Kau tahu nak, jarang-jarang ada orang yang mau mengajakku bicara. Apalagi mengantarku sampai ke rumah."

Avey hanya diam dan tersenyum kecil. Cukup tidak sopan baginya jika seseorang harus mengabaikan kakek tua yang biasanya duduk di halte bis. Bersyukurlah Avey bukan termasuk dalam golongan orang-orang yang seperti itu.

"Kebanyakan mereka lebih seperti tidak pernah melihatku."

Sangat tidak masuk akal.

Kakek tua itu masuk ke balik tumbuhan gantung yang menjalar dari sebuah batu besar. Avey bahkan sempat ragu bahwa batu itu berlubang. Tetapi saat kakek itu benar-benar masuk ke dalamnya, Avey hanya bisa menggigit bibir mau tidak mau masuk ke dalamnya.

Hanya ada gelap di sepanjang jalan. Avey tidak menyalahkannya karena saat ini mereka memang berada di dalam "sebuah" batu.

"Aku pikir kau akan lari terbirit-birit saat melihatku, nak. Dan lagi kau lebih memilih menawarkan diri untuk datang ke sini. Benar-benar membuatku terkejut."

Suara kakek tua itu terpantul oleh bebatuan membuat suaranya menggema berulang kali di gendang telinga Avey. Sebenarnya Avey sedikit bingung dengan perkataan kakek tua itu selama berada di hutan ini. Lagipula siapa juga yang akan berlari jika melihat seorang kakek tua yang baik hati seperti dia?

Avey memilih untuk tetap diam sampai mereka berada di ujung dan disambut oleh pencahayaan dari lampu jalan yang entah bagaimana caranya bisa ada di sini.

"Maaf, kek. Tapi bukankah kita sudah terlalu jauh masuk ke hutan? Saya khawatir kakek akan kelelahan jika membawa saya keliling hutan seperti ini."

Kakek tua itu tertawa dan tetap berjalan maju. "Kita hampir sampai, nak. Lagipula aku tidak sengaja membawamu keliling. Tetapi memang inilah jalan satu-satunya menuju rumahku."

Iseng, Avey menghitung jumlah lampu yang berada di pinggiran jalan setapak. Entah mengapa seperti menghintung domba, dia merasa matanya berkunang-kunang dan berkali-kali dia menguap. Kakek tua itu hanya terdiam dan terus melangkah tanpa memperdulikan Avey yang sudah berlutut tidak tahan lagi dengan kelopak matanya yang berusaha untuk menutup. Pandangannya mulai kabur dan tangannya jatuh menopang tubuhnya yang sudah tidak kuat berdiri lagi.

Kakek itu berbalik dan tersenyum. "Tidak kusangka hal seperti ini akan terjadi lagi."


ALAVEY

AlaveyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang