Chapter 2

38 8 0
                                    

Avey menguap malas saat temannya yang satu itu mengomelinya habis-habisan saat perjalanan pulang. Di dalam mobil milik keluarga Wendy, Wendy hanya bisa mengeluarkan seluruh keluhan yang telah ia alami saat berada di pusat perbelanjaan tadi.

"Vey, dengar nggak sih?"

Avey mendengus sebal dan memalingkan wajahnya ke luar jendela yang behiaskan titik-titik hujan yang baru saja turun. Ia mengalami mimpi yang sangat hebat sebelum ini. Lalu, tiba-tiba menghilang begitu saja.

"Vey, kamu membuatku khawatir." Mata biru Wendy menatap Avey dengan penuh harap Avey akan melihatnya sekali saja. Dia juga sebenarnya cukup bingung kenapa anak yang biasanya sehat-sehat saja itu tiba-tiba saja pingsan.

"Ah." Avey mengalihkan pandangannya lagi ke Wendy. Ia lalu tersenyum simpul dan melambai-lambaikan tangannya. "Aku nggak apa-apa, Vey."

"Kamu lesu setelah pingsan, Vey. Kenapa?"

Avey membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu. Tetapi ia mengurungkan niatnya untuk melakukan itu. Dia tahu bahkan Wendy sekalipun tidak akan mempercayai apa yang baru saja dia alami.

Pohon-pohon besar, hewan, dan laki-laki yang sangat aneh membuat pikirannya begitu penuh dengan segala kemungkinan yang akan terjadi nantinya.

"Aku nggak mau cerita" Avey mencondongkan kepalanya ke depan. "Pak, tolong berhenti di perempatan. Saya akan turun di sana"
Wendy menatapnya dengan kecewa. Ia tahu temannya itu sedang ada masalah tetapi tetap saja dia tidak mau membicarakannya.

Mobil itu berhenti sesuai dengan lokasi yang diinstruksikan Avey. Ia turun dan menutup pintu mobil tanpa mengucapkan salam sekalipun.

Wendy menatap Avey dari balik jendela dengan khawatir. Ia lalu membuka jendela mobil dan tersenyum padanya. "Hati-hati di jalan, Vey. Aku nggak tahu apa salahku tapi aku bener-bener minta maaf." Wendy menutup kembali jendela mobilnya.

Lalu, mobil itu menjauh pergi menyisakan cipratan air kecil yang berasal dari sebuah genangan di pinggir jalan.

Matanya yang terlihat sendu seketika berubah. Dia benar-benar tidak habis pikir kenapa dia berkata seperti itu kepada sahabatnya sendiri. Seharusnya dia tahu Wendy akan menerima apapun yang ia alami.

Avey mengusap wajahnya yang tertimpa beberapa titik-titik air hujan. Lalu ia berjalan menuju rumahnya yang berada tidak jauh dari sana.

"Aku pulang."

Avey melepas sepatunya yang cukup basah dan masuk ke dalam rumah. Di rumah, Lenice sudah menunggunya dengan khawatir.

"Syukurlah. Ibu khawatir sesuatu terjadi padamu."

Lenice mengambil handuk dan mengusapkannya pada rambut Avey yang basah. "Kenapa hujan-hujanan? Dimana Wendy?"

Avey menahan tangan Lenice yang tengah mengeringkan rambut Avey dengan handuk. "Ibu, aku sudah kelas 1 SMA. Aku bukan anak kecil lagi, Ibu."

Lenice terkekeh dan memberikan handuknya pada Avey. "Iya, iya. Ganti baju dulu nanti baru makan ya." Ucap Lenice yang melihat Avey melirik makanan yang ada di meja makan.

Avey mengangguk dan berlari menuju kamarnya. Masuk ke dalam dunia yang entah itu mimpi atau bukan cukup membuat energinya terkuras habis.

***

"Vey, kamu nggak apa-apa kan?" Wendy berlari menghampiri Avey yang duduk di bangku kelasnya.

Avey yang melihat Wendy langsung tersenyum kecut. "Maaf kemarin, Wen."

Avey tidak habis pikir kemarin. Dia berpikir dia terlalu serakah untuk tidak menceritakan apa yang dialaminya. Dan itu benar-benar membuatnya menyesal. Rasanya seperti ada sesuatu yang benar-benar menahannya untuk cerita kepada orang lain.

"Aku sebenernya mau cerita, Wen. Tapi..."

Wendy memiringkan alisnya tidak mengerti. "Ada sesuatu yang membuatmu nggak bisa mengatakan semua itu?"

Avey membuka mulutnya dan berusaha untuk berbicara. Dia ingin mengatakan tentang semua. Pohon itu, tumbuhan-tumbuhan hijau yang tumbuh dari kakinya, dan semuanya. Tetapi bersamaan dengan itu, rasanya dia telah menghabiskan seluruh tenaganya hanya untuk membuka mulutnya.

"Kucing."

"Ha? Kamu ngomong apa sih, Vey?" Wendy menahan tawanya saat mendengar satu patah kata dari Avey. Wendy berpikir Avey sebenarnya tidak sesehat yang ia pikirkan.

"Capek, banget. Sepertinya aku nggak bisa cerita lebih banyak lagi, deh."

"Omong-omong, Vey..."

Wendy duduk di kursi yang ada di sebelahku. "Aku ngerasa Si Kakak Kapten Basket itu suka sama kamu, loh."

Avey terkejut dan menatap Wendy tidak percaya. "Ha? Nggak ah."

Wendy tersenyum jahil. "Iya. Siapa sih yang gak suka sama kamu, Vey."

Avey mengerutkan dahinya dan memalingkan wajahnya. "Aku nggak tertarik sama yang begituan."

Wendy menatapku menyelidik. "Jangan-jangan kamu sudah punya?"

Avey menaikkan alisnya dan menggeleng. "Nggak akan."

Wendy menghela nafas panjang dan berbalik. "Oke. Omong-omong, suatu hari nanti aku mau tahu keajaibanmu itu."

Avey tersenyum dan mengacungkan jempolnya. Wendy terkekeh dan kembali ke kelasnya.

Avey mengemasi barang-barangnya dan berjalan meninggalkan kelas. Wendy tidak bisa pulang bersamanya karena ada Kerja Kelompok.

Hari itu sudah semakin sore dan Avey berjalan sendirian di pinggir jalanan. Ia memutar kembali sekilas ingatannya tentang dunia yang begitu aneh itu dan alasan mengapa dia sempat menyebut "kucing" itu.

Ia melirik ke arah langit yang terlihat begitu gelap tertutup awan hujan. Setitik air hujan jatuh di keningnya membuatnya segera berlari untuk mencari tempat berteduh.

Avey berteduh di halte bis yang berada tidak jauh dari sekolahnya. Ia menghela nafas panjang mengingat sepertinya di akan pulang terlambat hari ini. Dan dia tidak mau membuat ibunya khawatir.

Dipandanginya jalanan yang terlihat begitu sepi. Hanya ada satu atau dua mobil yang lewat. Hujan semakin deras saja menambah hawa dingin yang menyeruak memaksa menyentuh kulit putih milik Avey.

"Menunggu hujan reda, Nona?"

Avey menoleh ke kanan dan di sana duduk pria tua yang mengenakan topi sedang tersenyum ke arahnya.

Avey menatapnya sebentar lalu menengok ke kirinya. Lalu ia menengok lagi ke kanan. Dan pria itu masih tersenyum ke arahnya.

Avey lalu menunduk. "S-saya minta maaf, Pak. Saya kira-"

"Ahahaha. Tidak usah terlalu dipikirkan, anak muda." Pria itu, dengan mata sipitnya menatap tetes-tetes air hujan yang membasahi sepanjang jalan.

Pria itu membuka topinya dan menunjukkan sebuah tato di kulit kepalanya yang bertuliskan "Scrocher" dalam bentuk tulisan yang sangat aneh.

Avey menaikkan alisnya dan menatap pria itu. "Scrocher?"

Pria itu tersenyum senang dan menutup kembali topinya.

"Wah-wah, kau bisa membacanya?"

|ALAVEY|

Jangan lupa like dan comment :)

-OkamiRaiko

AlaveyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang