Pada saat minggu siang hari yang cerah, Anna dan Sera sedang berjalan di sebuah mall setelah asik menonton film seru di bioskop. Saat itu, mereka sedang sibuk mencari tempat makan yang saat itu semuanya sedang penuh dengan pengunjung.
“Haduh, semuanya penuh,” gerutu Anna kesal melihat tempat-tempat makan yang sudah penuh itu.
“Iya ya… Apa kita cari makan di luar saja?” ujar Sera.
“Aaaah… malas jalan keluarnya.”
“Hummm, kalau di tempat lainpun kamu juga harus jalan, kan?”
“Iya, makanya aku juga gak mau ke tempat lain juga. Cari saja yang ada di sini.”
“Tapi, semuanya penuh dengan pengunjung, Anna…” balas Sera sambil mencari-cari tempat yang masih ada meja kosongnya.
“Anna?!” Terdengar suara seorang wanita memanggil Anna dari kejauhan. Spontan Anna dan Sera membalikan badan mereka untuk melihat orang yang menyebut nama Anna itu. Mereka melihat seorang wanita sedang membawa bayi bersama seorang pria di sampingnya.
Perlahan, wanita bersama pria itu itu berjalan menghampiri Anna dan Sera. “Anna?! Hei! Sudah lama ya?” ucap wanita itu sambil menepuk bahu Anna.
“Emmm… si-siapa ya?” tanya Anna kebingungan.
“Wah, parah nih! Masa lupa dengan teman kampus yang duduknya selalu bersebelahan?” balas wanita itu.
“Eh?! Li-Linda?!” ucap Anna terkejut.
“Iya!! Tuh ingat!”
“Waahhh! Lu berubah banget loh!! Jadi kurus langsing begini!” ujar Anna terkesima.
“Iya dong! Gue nge-gym dan olah raga setiap hari…”
“Wah… Gak nyangka gue.”
“Oh ya, kenalin nih, suami gue, Jackson. Jackson, ini temen satu kelasku waktu aku kuliah, Anna.”
“Salam kenal, aku Anna…” kata Anna sambil mengulurkan tangannya.
“Oh, iya… salam kenal,” ucap Jackson menjabat tangan Anna.
“Dia itu loh yang aku ceritain jadi pop idol di grup The Sisters,” jelas Linda kepada suaminya.
“Oh ya? Sudah berubah ya?” ucap Jackson terkejut melihat Anna.
“Iya ya? Cantikan ketika jadi pop idol, ya kan?” tambah Linda. “Lu kenapa keluar deh, Anna?”
“Eh?! Ummm… Ha-habisnya…” Lalu, Anna sedikit melirik ke arah Sera. “Habisnya, gue… gue merasa capek saja. Mengemban karir di bidang itu berat loh. Banyak hal yang harus dikorbankan. Waktu, kehidupan pribadi, privasi, dan lain-lain.”
“Iya juga sih… Gue juga baca di artikel testimoni orang-orang yang keluar dari pekerjaan seperti itu. Rata-rata alasan mereka karena hal yang lu sebutin tadi,” balas Linda. Kemudian, dia melirik ke arah Sera. “Maaf, Anna… ini siapa ya?” tanya Linda penasaran.
“Oh… I-ini… Ini temen gue, Sera,” ucap Anna.
“Oh?! Yang satu grup dengan lu yang di The Sisters itu ya? Yang kalian jadi couple di grup itu?!”
“I-iya…”
“Waaahhh…” ucap Linda terkesima. “Eh, eh… gue mau tanya deh, itu kalian… beneran lesbian, ya?”
“Eh?! Ummm… Eng-enggak dong. I-itu hanya rekayasa dari pihak menejer kami untuk menaikan rating grup kami,” jawab Anna panik.
“Apa benar begitu?” tanya Linda meragukan ucapan Anna dengan nada bercanda.
“I-iya! Buktinya saja, Sera sendiri yang mengatakannya ketika acara jumpa pers saat dia mau keluar dari grup.”
“Iya juga sih… Iya, Anna. Sebenarnya gue juga sudah tahu. Karena gue juga pernah baca begituan di internet. Hampir semuanya itu hanyalah rekayasa.”
“Hehehe… Iya…” Saat itu, Sera hanya menatap Anna dengan tatapan dingin.
“Oh ya? Kalian berdua mau kemana nih?” tanya Linda.
“Oh… Umm… Kita sebenarnya mau cari makan, tapi semuanya sedang penuh. Palingan, kami bakal keliling-keliling dulu, cuci mata, hehehe…” jawab Anna.
“Oh ya? Mau makan bareng kita saja? Kita sudah reservasi di restoran Pesa, gimana?”
“Oh? Ummm… apa tidak masalah kalau kita ikut? Takutnya mengganggu waktu kalian berdua.”
“Yaelah, selaw… Kita kan udah sah menikah. Kalau soal waktu berdua, itu sudah sering kita lakukan di rumah, jika lu tau maksud gue apa, hahaha…” ujar Linda.
“Hahaha… Be-begitu… Gue tanya Sera dulu.” Lalu, ia menatap Sera dan bertanya, “Gimana?”
“Terserah saja sih,” jawab Sera.
“Oke kalau begitu, ayo sama-sama kita ke sana,” ucap Linda sambil menuntun Anna dan Sera ke restoran Pesa.
Anna dan Sera akhirnyapun mendapati tempat makan yang mereka cari. Karena Anna dan Linda sudah pernah mengenal satu sama lain sebelumnya, mereka berdua cepat akrab. Sedangkan Sera, dengan karakternya yang ¬introvert, dia hanya bisa tersenyum ketika ada yang bercanda, dan diam ketika tidak ada hal yang patut ditertawakan.
“Ngo-ngomong-ngomong, siapa si kecil ini?!” tanya Anna.
“Oh iya!? Gue jadi lupa ngenalin anak gue, hahaha… Kenalin nih, namanya Christie. Cantik ya?” jawab Linda.
“Lucu loh, gendut nya, imut-imut gitu. Lihat pipinya tuh, tembem banget!” ucap Anna sambil mencubit pipi Christie. “Umurnya udah berapa, Lin?”
“Yah, baru tiga bulan menjelang empat.”
“Oh, udah lewat tiga bulan, ya?”
“Iya…” kata Linda sambil menggoyang-goyang anaknya dengan gemasnya. “Oh ya? Lu gimana? Gak ada ‘gebetan’ sekarang?”
“Eh? Ummm… Eng-enggak ada, sih… ehehe…” jawab Anna panik dan ragu-ragu.
“Eh?! Gak ada? Seriusan? Kok bisa sih?!” tanya Linda tidak percaya.
“Ya… bisa-bisa aja, memangnya kenapa? Hehehe… wajar saja kalau manusia bisa sedang ‘jomblo’,” jawab Anna.
“Bukan maksudnya begitu. lu kan cantik, udah pernah masuk TV dan cukup terkenal, apa yang kurang sih? Banyak cowok yang pastinya bakal mau sama lu.”
“La-lagi gak mood saja sih untuk pacaran. Pusing kerjaan yang sekarang.”
“Ohh… ya, tapi jangan keterusan. Masa lu gak mau sih punya pacar, nikah, terus punya anak kayak gue gini. Enak tahu,” ucap Linda sambil menciumi kepala anaknya itu.
Sera terdiam ketika mendengar perkataan temannya Anna itu. Hatinya sakit seperti ditusuk oleh jarum berulang kali. Ia tahan semua emosinya itu dengan menggenggam tangannya sekuat tenaga.
“I-iya sih… pengen juga, tapi gimana dong? Memang gue juga lagi sibuk, jadinya gak kepikiran begitu,” jawab Anna.
“Kalau mau, gue ada temen cowok, lagi jomblo. Orangnya cakep kok, kaya, pintar, gagah, kriteria cewek idaman banget deh. Kalau mau, gue kenalin lu sama dia.”
“Eh? Umm… Eng-enggak usah deh. Gue gak terlalu suka yang begituan. Gue lebih sukanya ketemu sendiri.”
“Hummm, begitu. Ya sudah, kalau lu gak mau. Tapi, mana tahu temen lu ini mau? ‘Jomblo’ juga gak?” ucap Linda sambil melirik Sera.
“Eh? Gu-gue?” tanya Sera bingung.
“Iya? Gimana dengan lu? ‘Jomblo’ juga?” tanya balik Linda.
“Eh? Gu-gue sudah punya pacar.”
“Eh? Sudah?! Yah… Ya sudah deh kalau begitu. Liat tuh, Na, dia saja sudah punya, kok lu belum sih?” tanya Linda meledek.
“Yah, suka-suka dia dong. Hidup-hidup dia,” balas Anna meledek. Merekapun tertawa bersama. Saat itu, Anna menatap Sera yang sedang tertawa. Hatinya bimbang dan khawatir terhadap perasaan Sera ketika mendengar semua percakapannya dengan Linda saat itu.
Setelah itu, merekapun keluar dari restoran itu dan memutuskan untuk berpisah dan kembali ke aktifitas mereka masing-masing.
“Ya sudah, Na. Gue dan suami gue mau nonton di bioskop dulu,” ucap Linda.
“Iya, Lin. Gue sama Sera juga sepertinya mau pulang,” balas Anna. “Dan juga, makasih ya untuk makanannya? Sampai ditraktir segala loh.”
“Gak apa-apa, kan jarang-jarang ketemu juga. Nanti, ketika kedepannya, gue tagih lagi untuk ditraktir, hahaha…”
“Hahaha… boleh-boleh saja, tunggu gue kaya dulu ya?”
“Ah, masa mantan artis gak kaya? Bohong nih…” ucap Linda meledek.
“Hahaha… bisa saja lu… Ya sudah, gue duluan, ya? Bye...” balas Anna sambil berjalan pergi.
“Bye! Hati-hati!” balas Linda sambil melambaikan tangannya.
Kemudian, Anna dan Sera berjalan menuju halte bus, dan mereka menunggu kedatangan bus tujuan apartemen mereka. Di halte itu, Anna dan Sera hanya bisa diam dan tidak berkomunikasi antara satu sama lain. Dilihat pada posisi Anna, dia begitu enggan berbicara kepada Sera karena merasa takut akan telah melukai hati Sera. Sedangkan Sera, dia tidak mau berbicara karena menurutnya hal yang ia kesalkan itu tidak pantas untuk dibicarakan, maka dari itu, dia memilih untuk diam.
Sepanjang perjalanan mereka ke apartemen, mereka tetap tidak mau berbicara satu sama lain. Suasana canggung itu tetap mereka pertahankan sampai tiba di apartemen.
Ketika di apartemen itu, Sera langsung berjalan meraih handuknya dan masuk ke dalam kamar mandi. Anna hanya melihatnya dari belakang dengan perasaan bersalah. ‘Sepertinya dia marah?’ pikir Anna. Kemudian, dia dekati pintu kamar mandi, dan dia mencoba untuk membuka pintu kamar mandi itu. Ternyata, pintu itu dikunci oleh Sera dari dalam.
‘Hah?! Dikunci? Gak biasanya dikunci. Hummm… Dia sepertinya benar-benar marah,’ pikir Anna. Namun, saat itu, Anna merasa tidak sepenuhnya bersalah karena dia tidak melakukan kesalahan yang menurutnya itu kesalahan yang dia lakukan dengan sengaja.
Setelah Sera keluar dari kamar mandi, Anna masuk ke kamar mandi. Setelah Anna mandi, mereka melakukan aktifitas mereka masing-masing, Anna berada di kamar membaca novel, sedangkan Sera sedang asik main HP-nya di sofa depan TV.
Berjam-jam mereka melakukan aktifitas mereka secara pribadi. Sampai pada waktunya pukul sepuluh malam. Anna bingung dan bertanya soal keberadaan Sera yang tidak masuk ke kamar padahal sudah waktunya tidur. Ia beranjak dari kasur dan berjalan keluar kamar. Ia melihat Sera yang masih sedang melihat-lihat HP-nya sambil rebahan di sofa.
“Gak tidur?! Sudah jam sepuluh,” tanya Anna dengan nada cuek.
“Hmmm…” balas Sera.
Kesal karena respon Sera yang cuek, Anna menghampirinya sambil menyita HP-nya dari tangan Sera. “Kau itu kenapa sih?!” tanya Anna kesal.
“Kenapa apanya?” tanya Sera balik.
“Jangan pura-pura bego, lu seharian cuekin gue, dari mulai kita pulang dari mall itu. Ada apa? Marah? Marah soal percakapan gue dengan Linda tadi?”
Sera bangkit dari rebahannya dan duduk di sofa itu. Dia menghela napasnya terlebih dahulu, dan berkata, “Kalau iya, kenapa?”
“Hah?! ‘Kenapa’? ‘Kenapa’?! Lu tanya ‘kenapa’?! Seharusnya gue yang tanya, lu KENAPA marah?!” tanya Anna kesal.
“Kok lu marah-marah sih?! Harusnya gue yang MARAH!” bentak Sera sambil beranjak berdiri dari sofa.
“Lu gak pantas marah. Percakapan gue dan Linda tadi itu di batas wajar. Gak ada yang salah kok!”
“Tapi, lu tau gak sih perasaan gue gimana ketika mendengar semuanya itu?! Pacar, menikah, anak.”
“Ya terus lu maunya apa?! Lu maunya gue dan Linda membahas apa? Politik?! Jujur ya, sebagai cewek, gue juga pengen seperti dia, punya anak, nikah, punya keluarga. Jujur, gue iri dengan dia. Lu mikirin gak sih perasaan gue?!” ucap Anna sambil meneteskan air matanya. Lalu, dia berlari ke kamar tidurnya dan menutup pintu. Sera mendengar suara jeritan tangisan Anna yang tertahan.
Saat itu, Sera terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa. Dia seperti ditampar oleh kata-kata yang ia dengar dari mulut Anna tadi. Perlahan, ia duduk kembali di sofa itu. Matanya mengartikan sebuah tatapan kosong. Kemudian, ia renungkan kembali semua keputusan jalan hidupnya yang telah ia pilih hingga saat ini. ‘Apa ini semua salahku?’ pikir Sera.
<<<AKU HANYA INGIN KAU TAHU>>>
Keesokan paginya, Anna bangun dari tidurnya. Kepalanya sakit berdenyut-denyut, matanya berat, badannya lemas. Ia lihat di kasur bagian sebelah, Sera sudah tidak ada. Ia keluar dari kamar dan melihat Sera sedang mengemasi bekal. Ia lihat ada selimut di sofa depan TV. ‘Jadi, Sera tidur di sofa tadi malam?’ pikir Anna.
Lalu, ia melihat Sera yang mengemasi dua kotak bekal dan menaruhnya di meja makan. Di meja makan, sudah ada dua roti dengan selai beri bersama dua cangkit teh panas. Kemudian, dia duduk dan menyantap roti bersama tehnya. Sera juga ikut menyantap roti dan tehnya.
Saat di meja makan itu, Sera melihat Anna dengan matanya yang sedikit bengkak. Diapun hanya bisa diam dan tidak mau berkata apa-apa. Setelah selesai sarapan, Anna beranjak ke kamar mandi, sedangkan Sera berjalan ke kamar tidur untuk mengemasi kamarnya. Pagi itupun mereka hanya bisa diam dan tidak mau berbicara satu sama lain.
Saat di kantor, Anna diperhatikan oleh teman-teman kantornya karena matanya terlihat sedikit bengkak. Sarah dan Nick menghampirinya dengan perasaan penasaran dan khawatir. “Anna, lu kenapa?” tanya Sarah khawatir.
“Emm… Gak, gak apa-apa kok,” jawab Anna sambil berusaha menyembunyikan mukanya.
“Umm, begitu…”
“Eh, tapi mata lu –,” ucap Nick, tetapi segera ditutup mulutnya oleh Sarah.
“Ya sudah, Na. Kalau lu butuh bantuan apa-apa, ngomong langsung ke kita saja ya?” ucap Sarah sambil menarik Nick menjauhi Anna.
“Terimakasih,” balas Anna.
“Lu kenapa sih, Sar?!” bisik Nick bingung. “Matanya itu bengkak loh. Masa lu gak mau tanyain kenapa?!”
“Sssstt… Sudah, mungkin dia lagi berantem sama pacarnya,” balas Sarah.
“Lah, kalau memang begitu, kita gak boleh tanya?!”
“Bukan begitu… Ada kalanya kita tahu batas dan waktu, Nick. Sekarang dia sedang ingin sendiri, jangan diganggu dulu.”
“Oh, begitu… Ya sudah deh kalau begitu…” Kemudian, Sarah dan Nick duduk di bangku mereka masing-masing. Sarah masih khawatir terhadap Anna, namun dia hanya bisa memberikan semangat dari belakang punggung Anna saja.
<<<AKU HANYA INGIN KAU TAHU>>>
Malamnya, Anna pulang dengan badan dan hati yang lemas. Ia merasa bahwa hari itu adalah hari yang paling berat baginya. Selama ia di kantor tadipun, sangat sulit baginya untuk memikirkan soal pekerjaan kantornya itu. Pikirannya masih kepikiran persoalan ucapannya terhadap Sera. Ketika ia pikir-pikir lagi, ia merasa bahwa dirinya sudah kelawatan terhadap orang yang dia sayangi itu. Walapun, dalam hatinya, apa yang telah ia katakan kemarin itu semuanya benar-benar kebenaran.
Ketika berada di elevator menuju kamar apartemen mereka, Anna masih bimbang dan bingung dengan apa yang harus dirinya lakukan terhadap Sera mengenai perkataanya kemarin. Di satu sisi, ia merasa bersalah terhadap Sera. Dan di sisi lainya, Anna hanya ingin Sera mengenai permasalahannya dengan hubungan mereka ini.
‘Apakah aku sudah kelewatan?’ pikir Anna bingung. ‘Sera… Dirinya telah menyayangiku sejak pertama kita bertemu. Dirinya sudah hidup di dalam dunia yang seperti ini sejak dulu. Dan dirinya, dirinya sudah merasakan pahitnya kenyataan dalam dunia yang sedang ia jalani ini. Sedangkan aku… aku hanyalah perempuan yang hanya mencoba-coba saja.’
‘Sejujurnya, aku sangat senang ketika bersamanya. Dan jujur saja, aku sama sekali tidak merasa bahwa ada perbadaan ketika aku pacaran dengan pria dan ketika aku bersama Sera. Tetapi, hal yang aku tidak tahu adalah konsekuensinya. Ya… pilihan hidup pasti selalu ada konsekuensinya. Permasalahannya, apakah aku kuat menghadapi konsekuensi itu?’ pikir Anna sambil keluar dari elevator dan berjalan menuju pintu apartemennya.
Lalu, ia tekan tombol kode pintu apartemen itu. ‘0516.’ Ia teringat mengenai angka ini. Ketika mereka membeli apartemen ini, kode pintunya mereka tentukan dari bulan dan tahun mereka jadian. Perlahan, ia tersenyum. Kemudian, ia kembali berpikir, ‘Sera? Jika kamu jadi diriku, apa yang akan kamu lakukan sekarang? Apa yang akan kamu katakan? Sera… Tolong aku…’
Setelah membuka pintu, ia melihat Sera yang sedang duduk di sofa depan TV. Ia duduk sambil minum sekaleng bir, dan TV masih dalam keadaan tidak menyala. Perlahan, Sera memandangi Anna yang sedang berdiri di depan pintu. Tatapan Sera mencerminkan kesedihan dan kebimbangan yang ia alami satu harian ini.
Kemudian, Anna melepas sepatunya dan berjalan menghampiri Sera. Ia duduk di samping Sera. Diapun menghela napas panjang, namun ia tidak berbicara setelahnya. Anna masih bimbang dan bingung mau memulai perbincangan dengan pembahasan apa.
Tak lama kemudian, Sera akhirnya berkata, “Gimana harimu di kantor?”
“Eh, ummm… Ba-baik-baik saja,” jawab Anna canggung.
“Begitu…”
“Ka-kamu gimana?”
“Aku gak bisa ‘konsen’ di kantor.”
“Kenapa bisa begitu?”
Sera menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Anna itu. “Anna?” sahut Sera sambil meletakan kaleng birnya di meja kecil di samping sofa.
“I-iya?”
“Aku tahu kau bukan lesbian sepenuhnya sepertiku. Aku tahu kalau kamu masih ada perasaan untuk mencintai seorang pria, bahkan menjalani hubungan bersama pria. Aku tahu mengenai keterbatasanku. Aku juga tahu mengenai permasalahanmu terhadap hubungan ini. Yang aku tidak tahu adalah, apakah kamu bersedia untuk tetap di sini? Menjalani hubungan ini?”
“A-apa maksudmu?” tanya Anna bingung.
“Hummm…” Sera tersenyum sejenak, kemudian ditambah dengan helaan napasnya yang panjang. “Anna, apakah kamu mau melakukan satu permintaanku ini?”
“Permintaan seperti apa?”
“Setelah aku pikir-pikir kembali, maukah kamu… kamu kenalan dengan cowok yang Linda ingin sarankan kepadamu?”
“Eh?! Ma-maksudmu?!” tanya Anna terkejut.
“Jika ketika kamu berkenalan dengannya, dan kamu merasakan bahwa ketika bersama lebih terasa nyaman… dan… kamu juga merasa lebih… lega. Aku… aku…” jawab Sera sambil menahan kesedihannya.
“Sera, aku gak mungkin melaku –.”
“Anna… Tolong… La-lakukan saja. Karena hanya itulah jalan supaya aku bisa tahu bahwa dirimu memang pantas untukku atau tidak. Jika tidak, aku tidak pernah tahu jika kamu memang ditakdirkan untukku,” ujar Sera.
Anna terdiam melihat tatapan Sera terhadapnya. Ia melihat kegelisahan, penderitaan, dan kesedihan di dalam tatapan itu. Walau dari nada ucapan Sera yang terdengar terbata-bata seperti itu, tekad di dalam hatinya sudah bulat. “Oke… Baiklah. Jika itu yang kamu mau. Besok, aku akan minta Linda untuk memberikan nomor HP cowok itu, dan aku akan kenalan dengannya. Tapi, apakah ada tenggat waktu?” tanya Anna.
“Hummm, cukup kamu katakan saja padaku jika kamu sudah lebih merasa nyaman dengannya daripada denganku.”
“Oke…”
Lalu, Anna beranjak dari sofa, dan berjalan menuju kamar mandi. Di sofa, Sera hanya bisa diam dan kembali menikmati bir kaleng itu. Perlahan, ia kembali tersenyum dengan tatapan kosong. Namun, entah kenapa, senyuman itu terlihat seperti sangat sedih.
Ketika tidur di kamar, mereka berdua tidur dalam posisi saling membelakangi dengan memeluk bantal masing-masing. Tetapi, keduanya masih belum tidur. Mereka masih memikirkan mengenai hubungan mereka yang sepertinya diambang keraguan ini.
<<<AKU HANYA INGIN KAU TAHU>>>
Keesokan harinya, ketika di kantor, Anna memberikan pesan kepada Linda untuk meminta nomor cowok yang ia ingin kenalkan kepadanya. Linda merespon dengan sangat senang, dan segera mengirimkan nomor cowok itu kepada Anna.
Setelah menyimpan nomor cowok itu, dengan penasarannya, Anna melihat foto profil yang cowok itu gunakan. “Cih, gambar anjing doang. Kenapa? Apakah mukanya jelek? Kata Linda dia ganteng. Gimana sih?!” gerutu Anna kesal.
‘Apa aku minta foto mukanya dari Linda? Eh, jangan. Nanti dikiranya aku itu cewek yang lihat dari fisiknya saja,’ pikir Anna bingung.
Lalu, ia beranikan memberikan pesan kepada cowok itu duluan. Pertama menyapanya dan berbasa-basi terlebih dahulu. Setelah itu, sang cowok terlihat sangat senang dengan Anna dan meminta untuk bertemu ketika jam pulang kantor.
‘Aduh, cowok ini ngebet banget cepat-cepat,’ pikir Anna sambil sibuk membalas pesan cowok itu. ‘Sebenarnya sih, aku tidak terlalu ingin berkenalan dengan cowok ini. Hanya saja…’ Lalu, ia membalas pesan cowok itu dengan persetujuannya untuk bertemu setelah pulang dari kantor.
Ketika di sebuah café, Anna sedang duduk sendirian menunggu kedatangan cowok itu. ‘Sudah setengah jam lebih. Dan dia juga belum balas pesanku. Apa dia sedang di jalan? Apa terjebak macet?’ pikir Anna. ‘Aduh… harusnya tidak usah ketemuan sekarang. Lagian, aku sedang tidak mood untuk diajak berkenalan,’ pikir Anna lagi sambil menutupi mukanya karena panik.
Tiba-tiba, terdengar suara seorang pria memanggilnya, “Maaf, ini… Anna ya?” Lalu, Anna membuka kedua tangannya dan melirik ke arah pria itu. Ia begitu terkejut saat melihat pria ganteng dan manis yang berada di depannya itu. Pria berambut hitam dan halus, kulitnya yang putih dan bibirnya yang terlihat lembut, membuat hati Anna berdegup kencang. ‘Di-dia ganteng sekali,’ pikir Anna terkesima.
Ketika Anna bertemu dengan pria ini, perasaan sukanya terhadap pria kembali lagi, membuatnya melupakan Sera dan masalah yang ia hadapi di saat itu juga. Apakah ini menjadi pertanda buat Anna untuk menjawab permasalahan cintanya dengan Sera?
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU HANYA INGIN KAU TAHU
Romance'Banyak orang yang mengatakan jika cinta itu ketika pria dan wanita saling mencintai, peduli, dan sensitif. Apakah itu yang dinamakan cinta? Bagaimana jika orang yang aku cintai, yang aku peduli, adalah seorang wanita, apakah itu masih bisa dikataka...