Chapter 3 : Tak Direstui

0 0 0
                                    

Pesta kembang api yang sangat meriah membuat mereka berdua lupa waktu. Jam sudah menunjukan pukul 1 malam, Zaki sengaja mengantarkan Zuhra menuju rumahnya terlebih dulu. Didepan rumahnya sudah ditunggu kedua orang tuanya.
"Kamu abis dari mana aja hah!" Ayahnya menampar Zuhra.
"Ayah! Jangan marah-marah dulu." Ibu menangkannya.
"Maafin Zuhra, tadi dia abis dari festival bareng saya." Zaki berusaha menenangkan Zuhra yang menangis.
"Saya gak nanya kamu, ngapain deket-deket anak saya, cacat! Tangan buntung!" Ayahnya menampar Zaki.
"Jangan salahin Zaki! Dia baik! Jangan hina dia!" Zuhra berusaha membela kekasihnya itu.
Ayahnya kembali menampar Zuhra lalu menariknya balik kerumah. "Zuhra! Kurang ajar kamu ya! Ayo balik, jangan mau main sama buntung lagi! Kamu Zaki, jangan ganggu anak saya lagi, jangan pernah main kerumah ini lagi!"

Zuhra menangis ditarik ayahnya kerumah, Zaki hanya bisa terdiam menatapnya. Dia merasa hatinya tertusuk, niat baiknya selama ini sepertinya hanya sia-sia. Meskipun dia cacat, tapi dia juga punya hati dan perasaan. Siapapun pasti akan sakit hati menerima perlakuan seperti itu. Zaki perlahan benci pada Zuhra.

Berhari-hari semenjak kejadian itu Zaki tak mau membalas pesan Zuhra. Berulang kali dia meneleponnya namun sama sekali tak diangkat, ditempat kerja sekarang libur sekitar 2 minggu karena tahun baru. Zuhra memutuskan pergi langsung menemui Zaki kerumahnya.

"Assalamualaikum, ada Zakinya bu?" Zuhra langsung menemui ibunya Zaki ke warungnya.
"Zaki ya, tadi dia lagi pergi keluar sebentar, tunggu aja."
"Oke terima kasih bu." Zuhra berusaha menunggunya, tak lama kemudian Zaki terlihat berjalan dari kejauhan. Zuhra langsung berlari menemuinya.
"Zaki, kamu kenapa?" Sapa Zuhra dengan lembut, namun Zaki mengacuhkannya.
"Tunggu dulu." Dia menahan tangan laki-laki itu.
"Ngapain kesini, pergi sana!" Zaki sangat kecewa atas kejadian beberapa hari yang lalu.
"Maaf! Maafin kedua orang tuaku, maaf kamu jangan marah."
"Sudah lah, capek tau. Ya aku buntung, aku juga miskin! Mana pantes dapetin kamu yang kaya, cantik, pinter, sadar diri aku! Dah sana balik, jangan datang kesini!" Zaki kembali kerumahnya meninggalkan Zuhra yang menangis ditepi jalan.

Seorang wanita yang tak tau apa yang meski dia lakukan, dia mengerti perasaan Zaki yang sangat kecewa pada kedua orang tuanya. Dia tak tau apa yang meski dilakukan, apakah berjuang dengan cinta itu atau merelakan kepergian Zaki karena tak direstui.

Sekolah pun kembali masuk kembali setelah liburan panjang. Mereka yang biasa duduk bersampingan dan bercanda kini hanya saling mendiamkan.

"Zaki, Bagaimana? Kamu masih marah? Maaf." Zuhra menepuk pundaknya lembut, namun Zaki kembali terdiam mengabaikannya.
"Aku, aku minta maaf. Aku sayang sama kamu, jangan marah gitu. Senyum napa." Perempuan itu berusaha membujuk kekasihnya, mengusap pipinya. Zaki tak memperdulikannya sama sekali menepis tangan perempuan itu.
"Hmm, mungkin kamu butuh waktu buat tenangin..." Kata-kata Zuhra terhenti.
"Apa? Sana udah pergi. Emang lu kira gua gak punya hati? Keluarga munafik, ayah lu gak ada sopan santunnya suruh sekolah lagi sana ayah lu." Baru kali ini Zuhra dibentak oleh kekasihnya itu. Perempuan itu merasa tertusuk hatinya, dia berusaha menahan airmatanya terlihat di bola matanya sudah berlinang-linang.
"Sabar, jangan emosi dulu, istighfar Zaki. Jangan emosional, kita jalan-jalan ya nanti tenangin pikiran kamu."
"Boda dah, jangan peduliin gua lagi."

Sepulang sekolah, Zaki hanya naik angkutan umum sendirian. Disaat sudah sampai rumah dia terkejut dengan kedatangan Zuhra yang sudah berada dirumahnya terlebih dulu sedang berbincang dengan Ibunya. Dia bahkan tak memperdulikan bahkan langsung masuk ke kamar. Disaat dia ingin menutup pintu kamar, Ibunya memanggilnya.
"Zaki sini dulu." Ibunya menghampiri.
"Aku pusing bu, mau tidur dulu. Aku juga sudah izin ke pak Rian kalau tak bisa masuk hari ini." Tanpa Zaki sadari, Zuhra sudah berada dihadapannya.
"Jangan alasan kamu, sini dulu ada yang mau ibu bicarakan." Ibunya menarik tangannya, karena dia tak ingin melukai perasaan Ibunya, Zaki tak menolak.

Mendiskusikan masalah bersama-sama secara kekeluargaan itu lah solusinya. Ibarat yang dikatakan Zuhra waktu itu ditempat makan sate, bahwa masalah itu seperti lalat yang jatuh dalam air. Setiap ada masalah maka cara penyelesaiannya ada di masalah itu, seperti sayap lalat disalah satu sayapnya ada racun dan disatunya lagi ada obat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 27, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mecha-Ro-Ni ろ にTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang