Treasure

6 1 0
                                    

Kembali seperti saat kita memulainya. Berlari lah sekuat tenaga mu.. kita pasti bisa menuju persimpangan. Melihat lebih dalam apa yang telah kita tuang, caranya selalu dengan berlapang dan tersenyum tenang. Aku, kamu dan kita tau jelas bahwa kamu tidak pernah bisa sendiri. Bersama memang selalu menguntungkan, tapi kita tau bahwa sendiri adalah jalan hingga kita kembali bertabrakan untuk di pertemukan.
Aku pergi bukan untuk pulang.
Jangan tunggu dan terus lah berjuang.

Sudah lama sejak ia menghilang. Ungkapannya itu terkadang terlalu dramatis untuk kehidupan ku yang normal dengan suasana yang sama sekali tidak pernah berubah setiap harinya, hal-hal semacam itu hanya aku temukan dalam lembaran novel yang pernah ku baca, atau mungkin ungkapan aktor dalam film yang pernah ku tonton. Menggelikan. Kesan pertama saat membaca surat demi suratnya. Entah  kenapa dia sering kali menitipkan surat untuk sekedar memberi kabar. Antik seperti kursi karyu milik nenek. Entah kenapa dia sangat mirip dengan kursi nenek. Yang awet dan juga rapuh sekaligus.

Dia Fathur yang selalu berpenampilan bintang. Entah di lihat dari postur tubuh atau sudut-sudut di wajahnya. Yang jelas rambut ikalnya, kumis dan janggut tipisnya khas. Begitupun mata sipit dan lengkung bahunya yang memberi kesan aman. Ingatan ini biasa saja. Sama seperti ingatan semua orang, sama sekali tidak special dan penting. Orang-orang memang seringkali membandingkannya dengan aktor-aktor yang muncul di movie atau drama. Ckckck
Mereka sama sekali tidak mengerti seperti apa pria ini.

Aku...
Aku memiliki ingatan yang berbeda tentangnya. Entah itu suara atau sentuhannya. Dia seringkali bersikap angkuh dan sulit di tebak. Selain itu dia yang paling bisa membelit-belitkan topik pembicaraan, harusnya dia menjadi reporter di tv atau paling tidak jadi ahli debat mungkin. Aku selalu memimpikannya berdampingan dengan Andy F Noya atau Nazwa Syihab. Sifatnya yang penelisik, teliti dan kemampuannya menghunus lawan bicara sering kali membuat ku berandai-andai tentang masa depannya. Dia yang rendah hati itu selalu marah jika aku mulai menjelaskan tentang arti penting pandangan ku tentang kehidupannya di masa mendatang.

"Allah SWT maha penentu! Jangan banyak berandai-andai, kok kamu mau sih buka pintu biar setan masuk ngobrak-ngabrik pikiran mu?"

Dia akan berdeham dan meneguk ludahnya, menggerakkan jakunnya, kemudian menarik nafas panjang untuk memungkas jeda ucapannya. Layaknya pariwara diantara berita.

"Kamu pikir... Kamu siapa? Berani-beraninya biacara masa depan! Olimpiade mu gak pernah tembus peringkat satu. Kamu puas ranking mu 70 se Jawa Bali? Puas!"

Selalu, aku menunduk dan mengangguk untuk menjawab semua sembilu itu. Ahhh... Berapa lama dari terakhir kali kamu mengatakannya tur? Sesak rasanya menceritakannya kembali.

Setelah selesai ujian nasional namanya menguap beserta kenangan itu, tak banyak lagi yang ku ingat. Mungkin hanya beberapa puing besar dan serpihan yang tak di bawa pergi angin karena enggan.

Boleh kah ku ceritakan seperti ini? Apa masalahnya jika ku ceritakan, toh kamu takkan pulang. Begitu bukan mau mu? Sesekali aku merasa lelah dan sungguh keadilan itu tidak lagi akan nampak karena perbuatannya, namun terkadang aku merasa lebih terharu dan meratapi mungkin ada yang ingin ia lindungi. Sering kali senyum kecut ku merenggut seluruh semangat hanya karena mengingatnya.

Anggap saja kita masih duduk di kelas X SMA. Saat dimana semuanya belum begitu rumit. Yang kita lalui hanya pesan dan kesan yang tak pernah tepat dengan posisi mu atau pun aku. Kita sering kali bertemu di stasiun kota pukul 2 tepat setiap hari rabu. Dalam rintik, rinai atau terang benderang sekalipun.

Dia yang saat itu sering berambut klimis minyak alami dari keringatnya saat mengejar waktu bertemu. Sering kali terengah-engah dan berusaha menahannya saat berhadapan dengan ku. Senyum mu yang terlalu memamerkan gusi itu terlihat terpaksa. Mungkin demi menyemangati penggila biologi yang tidak pernah tembus olimpiade nasional sekalipun ini sosok tinggi dengan bahu tegap itu selalu memaksakan diri.

Bahkan terakhir kali sebelum sosok itu menghilang, ia mampu menyelinapkan obat dan bookmark lucu dari negeri ginseng. Betapa siapapun perempuan itu pasti sangat bahagia. Aku bahagia dan kamu tahu itu.

Di tahun terakhir setelah masa ujian nasional yang melelahkan itu. Aku kembali menunggu jam dua tepat di hari rabu yang mendung. Gerimis menyergap yang kemudian berubah deras di ikuti gemuruh dan kilatan petir. Pukul 4 tepat dan kamu masih belum menyapa seperti biasa. Mungkin aku tidak akan pernah pulang, sampai akhirnya Kim Tae teman sebangku mu memaksa ku pergi. Hari itu untuk pertama kalinya kamu memberikan kesan yang sangat buruk. Tuan tepat waktu yang menebar semangat ku pergi tanpa pamit.

"Day pulang! Ini hujan deras banget!"

Kim yang sudah kenal betul siapa aku, memaksa dengan sekuat tenaga. Ia berusaha membujuk nona keras kepala ini berteduh. Satu langkah yang ku ambil menandakan runtuhnya harapan, begitupun dengan langkah-langkah ku saat meninggalkan tempat kita biasa bersua. Kim Tae merasakan ejekan ku, caci ku, benci ku, maki ku untuk menggantikan mu. Dia yang setelah itu memastikan aku tak lagi menunggu di bawah jendela kayu gaya Belanda itu lagi. Berulang kali pula aku melayangkan tatapan kecewa yang mungkin menghunus jiwanya. Aku merendahkannya hanya karena tak lagi mampu menahan sakit dan marah ku kala itu.

Kemudian pengumuman SNMPTN ku keluar. Dan hasilnya masih sama seperti kemungkinan busuk olimpiade ku. Setiap hari aku terbangun dengan mata bengkak meratapi nasib yang tak lagi mendukung. Di keheningan malam sayup tangis pasti terdengar menelusup diantara angin yang dingin, aku meminta lagi pertemuan. Hanya itu.

Banyak teman-teman yang menyayangkan keputusan mu. Menyalahkan kan mu. Juga membantu ku merapal kalimat makian agar aku merasa baik.

Kim Tae beberapa kali datang ke sekolah juga rumah, menghibur dan menempatkan dirinya sebagai keset makian hanya demi gadis berlesung piputnya kembali punya mimpi. Kamu dimana tur? Saat seperti ini, kenapa kamu tidak ada tur? Ujian masuk PTN ku hancur berantakan, semua perkamen biologi ku terasa percuma layaknya kertas ketumpahan tinta tak sengaja. Kamu tau? Apa kamu tau?

Di saat seperti itu aku masih sempat mendoakan keselamatan dan kebahagiaan mu. Di saat seperti itu Kim Tae akhirnya juga ingin pergi. Dia berhasil masuk universitas di Seoul, Korea. Menyusul ayah dan ibu nya. Akhirnya dia akan bertemu dengan keluarganya. Kami melepasnya pergi dengan senyuman. Kim Tae menawarkan ku untuk berkunjung ketempat persembunyian kalian di sekolah mu. Ia memperlihatkan banyak hal, dan pohon impian kalian. Itu benih suren yang ku inginkan bukan?

"Semoga pohonnya kokoh." Itu kata pertama ku,

Kim terlihat sangat senang mendengarnya. Dia memberi ku hadiah sebuah buku planner dengan banyak sticker lucu. Lalu ada surat di sana.
Surat itu yang membongkar rencana mu setelah ujian nasional dan tempat mu melanjutkan mimpi sekarang. Aku sempat bergetar dan tak henti berpikir untuk itu. Kim Tae pergi. Apa aku masih harus mencari mu? Boleh kah?

Sebulan berlalu dan aku masih saja sulit melupakan surat kecil itu. Ini kah yang kamu mau? Pikiran ku terlalu sempit dan kalut. Aku sepertinya harus pergi. Ku pastikan untuk pergi. Dan menyusun banyak rencana untuk itu. Aku juga menabung untuk kesempatan pertama ku.

Di semester awal perkuliahan aku mendapat banyak sekali teman. Universitas negeri di kota kelahiran dan jauh dari aktivitas mahasiswa pada umumnya. Aku bekerja untuk menutupi biayanya. Membantu ibu menyiapkan masa depan ku yang sempat kehilangan arah.

Tepat di liburan akhir semester pertama, kereta ku berdentum dan mengepul. Aku akan melihat mu lagi. Aku akan menyapa mu lagi. Kali ini biarkan aku berusaha. Seperti apa yang kamu lakukan dulu. Aku takan menuntut dan meminta apapun. Takkan lagi. Aku ingin mengucapkan terimakasih ku dan maaf ku yang belum sempat terucap. Dan terakhir aku ingin kamu mengucapkan pamit untuk benar-benar pergi dan tak lagi kembali. Seperti mau mu.

Cara Ku Melihat MuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang