PROLOG SANG TIADA

65 21 7
                                    

1.... 2.... 3....

Pencahayaan yang menerangi barisan kursi penonton didalam studio satu persatu dimatikan, disusul dengan lampu dari arah panggung yang menyala, menerangi salah seorang yang berdiri di atasnya. Kemudian instrumen untuk mengiringi puisi pun mulai dimainkan, membuat siapa saja pendengarnya ingin menari-nari. 

Sosok laki-laki yang masih menggunakan seragam abu-abu berdiri pada posisi kosong di atas panggung, baju hitam polos berlengan tiga perempat membungkus tubuhnya, tidak ketinggalan topeng berwarna hitam miliknya menutupi sebagian wajahnya, menambah kesan kegelapan didalam dirinya.

Sendiri, memberanikan diri, hingga keheningan mulai menyelimuti, itulah yang dia rasakan. Hingga, beberapa detik kemudian lelaki itu berteriak.

Teriakan yang jelas dan penuh arti, membacakan judul beserta bait-bait puisi yang membuat si pendengar merinding, bersenandung kecil yang menjadi ciri khasnya, menggerak-gerakkan tubuhnya sesuai makna puisi. 

Dialah Randy, deklamator dan penyair muda yang terkenal di kalangannya, lelaki misterius yang memiliki julukan Sang Tiada.

🎭🎭🎭

Sementara dari kursi penonton seorang lelaki tua dan gadis berumur 10 tahun tengah duduk manis diposisi paling depan menyaksikan penampilan Sang Tiada mendeklamasikan puisinya. 

Gadis berumur 10 tahun itu mendengarkan bait puisi Sang Tiada seakan-akan ikut berkonspirasi dalam penampilannya.

Sedangkan lelaki tua bernama-Toha itu menonton sekaligus memperhatikan penampilan Sang Tiada sebagai bahan evaluasi, dominan mengamati kesalahan yang ada pada seseorang yang sedang tampil diatas panggung.

Ya, Toha adalah guru yang melatih Sang Tiada mendeklamasikan puisi, seorang seniman yang sudah berkutat didunia seni selama kurang lebih empat puluh tahun. Dialah kakek tua yang mencetuskan nama Sang Tiada kepada lelaki muda bernama Randy itu, menyalurkan hobi pemuda itu hingga mampu menguasai panggung teater semegah ini, memupuk sikap bagak dan percaya diri. 

"Reyhan, kamu lihat ke atas panggung." Toha menunjuk Sang Tiada dengan dagunya. 

Gadis kecil bernama Reyhan itu mengikuti arah dagu Toha. "Dia sudah bisa menguasai panggung, kamu juga harus seperti itu, jangan ragu dan jangan malu." Sepasang mata Reyhan kini terpaku ke arah panggung tanpa berkedip, mengamati setiap detiknya penampilan Sang Tiada, menelaah setiap detail pergerakan indahnya. 

Sampai akhirnya lampu studio menyala, semua penonton berhamburan keluar karena penampilan deklamasi sudah berakhir. 

"Nanti kalo kamu sudah besar, kamu sudah bisa berdiri diatas situ, sambil membacakan puisi, dilihat sama kakek dari sini, kaya murid kakek yang tadi itu." Toha dan cucunya itu kini berdiri, hendak keluar mengikuti penonton lainnya.

"Tunggu sebentar ya, kamu disini dulu, kakek mau pamit dulu sama temen-temen kakek dibawah sana, nanti kita pulang bentar lagi." Titah Toha kepada cucunya.

Toha menuruni tangga penonton, masuk kebelakang stage menghampiri pemuda yang baru saja turun dari panggung, merangkul lelaki itu dan menepuk pundaknya bangga. Lalu kakek itu pamit kepada teman-temannya. 

Dan meninggalkan studio teater bersama dengan cucunya, Reyhan.

#TBC

SORI TELAT :"

SANG TIADATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang