# 2 #

2.6K 86 2
                                    

Setelah kejadian abnormal itu, Suci pun segera pergi ke asramanya. Sesekali duakali ia mencoba bertanya pada orang sekitar di mana letak asramanya. Bagaimanapun juga, ia masih asing dengan tempat itu.
Sesampainya di asrama

"Inikah asramaku? Lumayan besar sih! Kamarku nomor 5...Ok! Ketemu!" gumamnya.
Suci memasuki kamar nomor 5. Di kamar itu terdapat 20 tempat tidur berarti akan ada 20 santriwati di situ.
Suci berjalan menuju tempat tidur paling pojok. Lalu ia mulai menata barang-barangnya di dalam almari.
Tak lama kemudian, datanglah seorang santri berwajah kalem, putih dan manis. Ia menuju tempat tidur sebelah Suci.
"Assalamu'alaikum, Ukhti! Perkenalkan nama saya Amel! Kalau Ukhti?" sapanya dengan ramah.
"Wa'alaikumussalam! Nama saya Suci." jawab Suci dengan mengulurkan tangannya.
Amel pun membalas jabatan tangan Suci dengan cepat.
"Semoga kita menjadi teman baik ya!"
"Iya, semoga" jawab Suci dengan nada  menurun.
"Eh! Kenapa? Kok ekspresinya berubah? Apa karena kamu dulu tak punya teman?" tebak Amel membuat Suci kembali mengangkat wajahnya.
"Emmm..." jawab Suci.
Ia tak menjawab, ia tetap fokus pada barang-barangnya.
"Kamu punya teman tapi ia hanya memanfaatkan kebaikanmu saja kan?" tebak Amel lagi yang kini membuat Suci terkejut dan heran.
"Bagaimana kamu tahu?" tanya Suci kemudian dengan raut muka heran.
"Jangan tahu! Tempe aja" gurau Amel. Akan tetapi itu tak berpengaruh pada Suci. Amel meghela nafas panjang. Kini ia tahu, bahwa orang dihadapannya ini agak dingin sifatnya.
Suci kembali fokus pada barang-barangnya. Sedikit demi sedikit ia memasukkan barang-barangnya ke almari yang telah disediakan.
"Hehehe! Gurau saja! Janganlah marah! Aku lihat dari mata mu lah!" Amel mencoba mencairkan suasana saat itu
"Dari mataku? Apa kamu peramal?" tanya Suci polos plus penasaran.
"Enggak lah! Mata tak pernah berbohong!"
"Oooo." Suci membulatkan mulutnya lalu ia kembali fokus pada barangnya.
"Mmm...Kenapa ia memanfaatkan dirimu? Apa kamu bisa menceritakan?" tanya Amel agar memecah kesunyian..
"Kamu kan peramal. Pasti sudah tahu kejadiannya" jawab Suci datar
"Hehehehehe! Sudah kubilang aku bukan peramal. Aku hanya melihat saja dari mata, Ukhti. Lagian, peramal tidak boleh di percaya kan? Katanya kalau kita percaya pada peramal, maka ibadah kita selama sekitar 40 tahun ndak akan di terima oleh Allah."
"Iya, betul!" ucap Suci membenarkan.
"Lagian...Ramalan itu tidak ada." sambung Suci.
"Heem."jawab Suci tanpa membuka mulut. Kini ia menutup almarinya.
"Kalau tak mau cerita, nggak apalah! Aku juga mau menata barang-barangku nih!" ucap Amel lalu pergi meninggalkan Suci.
'Kenapa kau jahat padaku, Daniel' batin Suci.

*****

Flashback
Beberapa tahun yang lalu.
Daniel...
Ia sahabatnya Suci
Sekaligus cinta pertamanya. Tapi, ia tak pernah mengakuinya pada Daniel.

~Suci p.o.v~
"Suci, nanti kita ketemu di mall pukul 4 sore ya!" ajak cowok berambut agak menjambul yang tak lain adalah Daniel, sahabatku.
"Ok!" jawabku menyetujui.
Setelah pukul 4 sore. Kami bertemu di mall.
"Suci! Ikut aku pilih baju donk!" ajak Daniel dengan menunjukkan muka memelas.
"Iya! Ayo!" aku menuruti permintaan Daniel. Setelah sampai di bagian baju-baju, Daniel pun memilih-milih baju. Sedangkan aku hanya memandangi suasana sekitarnya.
"Ini, bagus nggak?" tanya Daniel sembari menunjukkan sebuah baju dengan model keren padaku.
"Mmm..Ya bagus! Tapi, mahal banget! 1.000.000 loh harganya!" jawabku dengan terkejut setelah melihat harganya.
"Nggak apa, aku bawa uang kok!" ucap Daniel dengan tersenyum lebar. Setelah membeli beberapa barang. Kami menuju kasir.
Di kasir
" 1.875.000 mas!" kata ibu kasir.
"Iya." jawab Daniel.
Daniel mengambil dompetnya di sakunya. Akan tetapi...
"Eh! Mana dompetku? Tadi ku bawa! Apa jatuh? Aduuuh gimana nih!" ucap Daniel kebingungan sambil mencari-cari dompetnya di lantai.
Aku kasihan melihatnya. Sehingga aku memutuskan untuk membayar semua belanjaannya. Meski sebenarnya terbilang cukup banyak.
"Ini ku pinjami." ucapku sambil memberikan uang bernilai 2.000.000 padanya. Kebetulan tadi, aku baru ambil uang dari ATM berencana untuk membeli beberaa buku dan keperluan sekolah lainnya.
"Wah! Tapi, Suc! Ini kebanyakan!" Daniel mencoba untuk menolak pemberianku itu.
"Nggak apa! Kembaliannya kamu ambil saja. Kau kan sahabatku!" ucapku lalu tersenyum. Bagiku, apa yang tidak bisa untuk sahabat?
"Makasih ya, Suc! Kau sahabat terbaikku!" ucap Daniel sambil merentangkan tangan mau memelukku.
"Eh-eh mau apa!" teriakku sembari mundur beberapa langkah untuk menghindar..
"Eh! Hehehe! Maaf Suc!" Daniel menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatal.
"Cepat bayar!" ucapku agak meninggi meski sebenarnya itu bukan marah.
"Iya-iya best friendku!" ia pun segera membayar belanjaannya. Setelah itu, kami pun keluar dari antrian pembayaran kasir.
"Kok bisa hilang sih dompetnya?" tanyaku untuk mengisi keheningan.
"Sepertinya ketinggalan di rumah!" pikir Daniel.
"Makanya, sebelum berangkat tuh! Di cek dulu barangnya!!" celotehku.
"Iya-iya."
Setelah itu, mereka berencana untuk pulang. Akan tetapi, tiba-tiba Daniel memegangi perutnya dan mengaduh kesakitan.
"Aduuuh perutku!!!" keluh Daniel.
"Ada apa?" tanyaku khawatir.
"Perutku sakit, aku belum makan dari pagi." keluhnya dengan memegangi perutnya.
"Kalau gitu, ayo ke restoran dulu!" ajakku.
"Tapi, aku nggak bawa uang!" ucap Daniel sambil memegang perutnya yang masih kesakitan.
"Biar aku traktir!" ucapku dengan menghela nafas panjang.
"Tap-tapi..."
"Nggak ada tapi-tapian! Ayo!" aku beranjak pergi duluan untuk mencari tampat makanan di mall itu.
Sesampainya di restoran. Suci memesan dua porsi makanan dan minuman untuk mereka berdua. Setelah makan, Daniel menyandarkan tubuhnya pada kursi yang di dudukinya.
"Udah hilang sakitnya?" tanyaku memastikan keadaannya.
"Udah, Suc! Terima kasih ya! Maaf udah merepotkan!" ucap Daniel dengan berdiri. Aku pun ikut berdiri.
"Iya! Enggak kok! Ini nggak merepotkan sama sekali! Lagian, kau kan sahabatku!" ucapku sambil tersenyum. Setelah itu, aku membayar makanan kami dan segera beranjak dari tempat itu untuk meneruskan perjalanan yaitu pulang.
Daniel...
Meskipun masih berumur 13 tahun. Ia sudah bisa menyetir mobil. Teman-temannya lah yang mengajarinya. Akan tetapi, ia belum berani nyetir hingga keluar dari desanya. Karena bagaimanapun juga, ia belum punya SIM.
"Ayo masuk mobilku!" ajak Daniel padaku.
"Mobilmu? Bukannya ini mobil temanmu? Kau meminjamnya kan?" kataku dengan nada mengejek tapi bercanda.
"Hehehehe! Iya sih!" ucap Daniel dengan menggaruk-nggaruk kepalanya. Keduanya pun segera masuk mobil. Akan tetapi, Suci memilih duduk di belakang agar tak timbul itnah. Saat di perjalanan pulang. Aku melihat sebuah dompet di sebelah tempat duduk Daniel, dan itu sepertinya tak asing bagiku.
"Ini kan dompetmu? Katanya ketinggalan di rumah!" ucapku sembari mengambil dompet itu.
"Eh, iya? Ada di sini rupanya. Maaf ya! Kalau gitu, kuganti ya uangmu tadi!" ucap Daniel sembari meminta dompetnya. Akan tetapi pandangannya masih fokus menyetir.
"Hallah nggak perlu! Aku ikhlas kok!" ucapku dengan tersenyum.
"Bener?" tanya Daniel memastikan. Ia menunggu jawabanku dengan melihat dari spion depan yang ada di dalam mobil itu.
Aku mengangguk.
"Ok! Kalau gitu makasih!" Daniel menerima dompetnya dari tangan Suci dan kembali fokus untuk menyetir. Aku hanya mengernyitkan dahi.
Tiba-tiba raut wajah Daniel berubah. Seakan ia mau menangis. Aku melihatnya jelas dari spion dalam mobil itu.
"Ada apa, Nil?" tanyaku agak khawatir.
"A.....A-aku...Sebenarnya...Aku..." ucapnya terputus-putus dengan suara serak.
"Bicaralah! Jangan malu" ucapku. Ia menghela nafas panjang.
"Suc! Sebenarnya aku punya hutang pada kawanku."ucapnya dengan nada menurun. 
"Hutang? Berapa?" tanyaku. Ia menunduk dalam-dalam. Seakan, tak ingin menatapku.
"Sepuluh juta." jawabnya kemudian.
"Haa! Hutang sebanyak itu? Buat apa saja, Nil?" aku terkejut bukan main.
"Ibuku sakit dan harus segera di operasi. Makanya aku terpaksa hutang pada temanku, dan besok hari terakhir, Suc! Kalau enggak, rumahku bisa di sita." jelasnya. Air matanya kini menganak sungai di keningnya.
"Ooo....Kalau gitu,,, aku mengambil dompetku.
Ini! Ini uang tabunganku selama ini! Ambillah! Sepertinya kamu lebih membutuhkan daripada aku." ucapku dengan menyerahkan sebuah cek bertuliskan sepuluh juta.
"Tap-tapi, Suc! Nanti aku nggak bisa menggantinya." Daniel mencoba menolak tawaranku. Aku tersenyum simpul padanya.
"Sudahlah! Nggak apa! Kamu bisa menyicilnya. Bahkan aku ikhlas kok kalau nggak diganti!"
"Be-bener, Suc?" ucapnya tergugup. Sekilas aku melihat wajahnya bahagia bukan main. Lalu, ia kembali murung dan menghela nafas panjang.
"Iya! Santai aja!" ucapku agar ia kembali tenang.
"Terima kasih ya, Suc!"
"Sama-sama."
Beberapa minggu kemudian
"Sudah beberapa minggu kok nggak ada kabar ya tentang Daniel. Mending ke rumahnya aja ah!" gumamku. Aku memutuskan untuk main ke rumahnya. Karena sudah beberapa minggu ini ia nggak masuk sekolah tanpa surat izin dan setiap aku ke rumahnya, ia ndak ada di sana.
Di rumah Daniel
"Loh! Kok banyak sandal ya? Mungkin ada tamu. Kembali nanti aja deh!" urungku.
Akan tetapi, setelah beberapa langkah pergi dari rumah Daniel, tiba-tiba ada yang menyebut namaku. Aku pun urung pulang dan kembali ke rumah Daniel.
"Hahahah! Si Suci itu, mudah saja di tipu! Huahhahah! Sejak kapan ibu saya sakit! Huahhahh! Padahal uangnya kubuat untuk foya-foya! Huahahha!" teriak suara itu yang aku benar-benar mengenalnya.
"Kamu memang hebat berakting, Daniel!"
"D-daniel?" gumamku
Kuberanikan diri untuk melangkah menuju rumah Daniel. Kuberanikan untuk mengintipnya.
"Daniel! "
Ternyata benar. Itu Daniel dan temannya. Ku dobrak pintu rumah Daniel.
"Daniel! Berani-beraninya kau mempermainkanku! Kenapa Daniel? Kenapa? Kita ini kan sahabat!" teriakku sambil bercucuran air mata. Sungguh aku tak menyangka, orang yang telah kuanggap sahabat telah mempermainkanku selama ini.
"Sahabat? Sejak kapan kita bersahabat ha! Huahahahah!!! Kau ini memang polos! Mudah saja di tipu!" ucap Daniel dengan tawa jahatnya.
"Akan ku laporkan kau ke polisi!" ancamku.
"Lapor saja! Mana ada buktinya!"
"Hiiii!!!! Kau jahat!" bentakku lalu aku meninggalkannya.
Sejak itulah, aku mulai sulit untuk berteman. Aku menjadi orang yang suka curiga.
~Suci p.o.v end~

"Hey! Kamu melamun ya!!" kejut Amel sehingga membuyarkan lamunan Suci.
"Ha! Enggak kok!" sangkal Suci. Ia mencoba tak menatap mata Amel.
"Hehehe!!! Terkejut ya? Maaf!" ucap Amel dengan menepuk-nepuk pundak Suci.
"Hmmm...Aku yang harus minta maaf! Karena dari tadi aku mengacuhkan kamu. ucap Suci yang merasa bersalah. Ia ingin mencoba untuk berteman lagi.
"Nggak apa kok!" ucap Amel dengan tersenyum lebar sehingga nampak lesung pipitnya
'Mungkin mulai hari ini aku harus berubah! Aku harus punya teman! Mungkin memang Amel itu gadis yang baik. Tak semua orang kan punya niat buruk' batin Suci yang mencoba mengobati luka hati masa lalu.
"Hey! Lagi-lagi ngelamun! Nggak baik tau!" kejut Amel sekali lagi.
"Eh! Hehehe! Maaf!"
Tiba-tiba masuk seorang santriwati senior.
"Adik-adik! Hari ini kita MOS! Dalam 3 menit kalian semua harus berada di lapangan! Cepat!" teriak santriwati senior itu.
"Ih! Galaknya!" ucap Suci lirih.
"Apa kau bilang!!!" bentak santri senior.
"Bilang apa ya???" ucap Suci pura-pura nggak tau dengan ekspresi sedang berpikir.
"Hey kau! Mentang-mentang santri baru! Seenaknya saja!" teriak santri senior.
"Ya Kakak itu!!! Mentang-mentang santri senior! Seenaknya saja terhadap santri-santri baru!" ucap Suci membalikkan keadaan ke santri senior itu. Itu membuat santri senior itu semakin naik pitam. Amel mau memberhentikan Suci, tapi ia di cegah oleh teman yang lain.
"Kau ini! Kuberi hukuman kau! Sekarang juga minta tanda tangan pada 5 santri putra!"
"Bukan mahromm lah, Kak! Mana boleh! Nanti dosa. ucap Suci enteng tapi benar.
"Sok suci kau!" bentak santri senior pada Suci.
"Aku memang Suci." jawab Suci datar.
"Jangan sok suci kau santri baru!!!"
"Aku memang Suci! Namaku Suci! Suci Suciati!" teriak Suci tapi ia tetep berekspresi santai.
"Kau!" santri senior mengepalkan tangannya dan akan memukulkannya ke Suci.
Alhamdulillah!
Bu Nyai asrama datang.
"Assalamu'alaikum! Ada apa ini?" tanya Bu Nyai tegas tapi tetap menunjukkan kelembutannya. Semua santri menundukkan pandangan tanda hormat.
"Wa'alaikumussalam, Bu Nyai!" jawab semua. Seketika semua hening.
"Ada apa ini ribut-ribut?" tanya Bu Nyai sekali lagi.
"Anu Bu Nyai, itu murid baru tapi lancang!" tuduh Santri senior kepada Suci.
"Ngapunten, Bu Nyai! Saya tidak salah! Dia itu Bu Nyai, bertindak seenaknya saja pada santri baru!" bela Suci pada dirinya.
"Tid-" belum selesai bicara, ucapan santri senior terpotong oleh Bu Nyai.
"Sudah cukup! Kamu Sara, kamu itu santri senior. Tapi tindakanmu buruk! Saya juga dengar dari santri-santri yang lain kalau tindakanmu melewati batas. Kuberi kamu kesempatan terakhir. Jika saya masih mendengar atau melihat tindakan burukmu lagi, maka kamu akan saya pulangkan paksa." kata Bu Nyai dengan nada marah lalu meninggalkan santri senior. Akan tetapi, dalam hati Bu Nyai itu, Beliau berdoa, agar Sara segera di beri petujuk oleh Allah dan bersegera bertobat. Bagaimanapun juga, Bu Nyai itu tak ingin santri-santrinya saat pergi dari pondok tanpa bekal ilmu sedikitpun.
"Awas kau!" ancam santri senior pada Suci lalu pergi.
"Wah! Hebat kamu Ci! Kamu benar-benar anak yang pemberani!" puji Amel pada Suci.
"Anak seperti itu tak bisa di biarin! Tak peduli apa statusnya!" jelas Suci yang sedikit lebih tenang.
"Hebat kau!" puji semua temannya dengan mengacungkan 2 jempol. Suci hanya menjawab dengan senyuman simpul.
"Ayo kita berangkat! Nanti kalau kita terlambat malah kena masalah lagi!" ajak Amel. Kegiatan hari pertama yang sungguh melelahkan bagi mereka. Tapi, begitu menyenangkan karena telah menambah wawasan dan teman baru.

 Perjuangan Seorang Santri(Masih Dalam Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang