Mading.

306 12 6
                                    

 Good boys are bad boys that never get caught.

/.

Kau mau tahu hal gila? Ada banyak hal-hal gila di dunia kita: orang makan beling, batu yang bisa menyembuhkan, bayi yang dinikahkan dengan ular, atau dalam kasusku: laki-laki yang cinta laki-laki.

Kalau aku sih menganggap diriku normal. Orang-orang saja yang menjulukiku gila. Dan diantara semua kegilaan umat manusia, satu-satunya yang kulakukan hanyalah aku mau berpacaran dengan anak kepala sekolah.

Semua berawal dari saat aku ditunjuk untuk ikut lomba baca puisi. Karena aku dimentori langsung oleh kepala sekolah, aku sering mampir ke rumah beliau untuk berlatih. Kami berulang-ulang membawakan puisi Diponegoro sampai larut malam, dan suatu ketika karena aku tidak membawa kendaraan sendiri, dia meminta puteranya yang seumuranku untuk mengantar pulang.

"Ji, tolong antarkan nak Budi pulang. Dia sedang nggak bawa motor."

"Ah, nggak perlu Pak. Biar saya pesan Grab."

Aku menolak karena aku tidak ingin berurusan dengan anaknya yang kelihatan ketus itu. Selama aku berlatih disitu tidak sekalipun Raji pernah mengganggapku ada. Berbanding terbalik dengan bapaknya yang sangat peduli.

"Nggak apa, nak Budi. Sekali-sekali diantar Raji biar kalian makin akrab. Kulihat anak itu tak sedetik pun keluar kamarnya sejak sore. Biar dia ada gerak juga."

Raji, sementara itu, tidak mengatakan apa-apa pada bapaknya. Tidak mengiyakan dan tidak juga membantah. Dengan segala kebisuannya dia mengambil jaket dan helm cadangan dari rak. Dia menganut paham berbahaya bahwa diam berarti "ya" rupanya.

Anak itu masih diam saat mengeluarkan motornya dari garasi. Aku menerima helm darinya dan dengan enggan naik ke boncengan. Motornya adalah Suzuki GT 380 yang sebenarnya keren, sudah pasti benda itu dibeli dengan uang bapaknya.

"Aku nggak ngerti." Raji berkata begitu kami sampai di perempatan di luar gang rumahnya.

"Nggak ngerti apa?"

"Apa semua cowok baik-baik namanya Budi?"

Aku mengerutkan dahi, mencoba menebak apa motifnya berkata begitu. "Nggak tahu. Kenapa? Memangnya aku kelihatan seperti cowok baik-baik?"

"Yah, semua yang dilatih bapakku buat ikut lomba baca puisi biasanya cowok baik-baik. Kau tahu kan. . nggak ngerokok, patuh, nggak pulang malem, nggak neko-neko. Dan biasanya mereka punya nama Budi. Namamu Prambudi, benar?"

Kerutan di dahiku semakin dalam. Sebegitu bodohnya kah Raji hingga jatuh pada stereotip semacam itu? Hanya karena aku bukan perokok, tidak memberontak, atau dalam hal ini: lebih suka baca puisi ketimbang melihat film porno, bukan berarti aku lebih baik dari mereka yang sedikit berandal.

"Kemana motormu?" Dia bertanya, melihat ke spion.

Aku sedikit segan karena kesoktahuannya soal diriku, tapi kujawab juga. "Di bengkel."

Setelah itu dia tidak berkata apa-apa lagi sampai kami melewati empat pertigaan. Aku meneriakkan arah ke rumah sementara dia mengemudi dengan patuh, sebelum menurunkanku di jalanan depan rumahku.

"Aku nggak mungkin nawari kamu mampir, kan?" kataku.

Di luar dugaan Raji tersenyum. "Kau benar. Sukses buat lombamu bulan depan." Setelah itu dia pergi.

Aku masih menunggui motornya hingga menghilang di ujung jalan, memikirkan kalimatnya yang terakhir. Kalau dipikir, Raji itu sebetulnya oke juga.

/.

"Kau lupa helm-mu." kataku pada Raji di sekolah esok paginya. Aku baru sadar kalau ada yang keliru saat mendapati dua helm di atas rak. Kami berbeda kelas, dan walau hampir tak pernah ngobrol satu sama lain, aku selalu ketemu dengannya di parkiran.

MadingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang