Suara sendok dan garpu yang bergesekan dengan piring memenuhi ruang makan di kediaman Arkanaya. Sepasang mata menatap tajam seseorang di hadapannya sambil sesekali memakan makanannya, sedangkan yang di tatap seperti itu tidak sedikit pun memperdulikannya.
Melihat hal itu Titi mencoba memberikan kode pada Arkanaya agar menegur putrinya yang bersikap seperti itu, Titi berdeham mengalihkan fokus Karin dan juga Arkanaya, tapi tidak pada Dina.
Arkanaya melihat Dina yang masih menatap putrinya dengan tajam. "Din, sudahlah. Jangan menatap anakmu seperti itu." Ucap Arkanaya.
Karin akhirnya menatap Dina yang masih menatapnya tajam, namun Karin seperti tidak terganggu dan mulai memakan kembali makanannya."tidak apa kek, mama memang seperti itu ketika mengira seseorang yang ada di hadapannya tengah berbohong, mama seperti itu agar orang itu mengaku ia sudah berbohong padanya."
Dina makin melotot mendengar pernyataan Karin yang sayangnya sangat benar untuk disalahkan.
Semua yang ada di meja makan tertawa kecuali Dina yang menatap makanannya kecewa karena dugaannya bahwa Karin berbohong ternyata salah. Dina kemudian memikirkan hal lain, sesuatu yang membuat ayahnya tidak berpikir sampai ke sana.
"bagaimana ayah akan menjelaskan pada tetangga kita mengenai Karin?" tanya Dina akhirnya setelah berpikir panjang.
"Aku akan bilang dia anak dari anaknya kakakku." Ucap Arkanaya yang telah menghabiskan suapan terakhirnya.
"lantas tetangga itu akan bertanya, 'tinggal dimana ia? Apa ia tidak sekolah? Bukannya ini bukan hari libur?'"
"ini masih hari libur Dina, masuk sekolah tinggal 3 hari lagi."
"saat ia tinggal lebih dari dua hari orang-orang akan bertanya demikian ayah, ayah harus berpikir ke sana."
"kau daftarkanlah anakmu ke sekolah." Arkanaya berdiri sambil membawa piring bekas makannya.
Titi menatap Karin lalu mengusap punggung lengan Karin, menatap Karin dengan tatapan 'maafkan kelakuan kakek dan ibumu ya.'
Karin mengerti tatapan itu lantas menggeleng lalu mengusap punggung lengan Titi, "Tidak, bersabarlah nek. Akan ku beri tahu, ada hari dimana mama dan kakek bersikap layaknya seorang anak dan ayah."
"Hari apa itu nak?" tanya Titi.
"3 hari sebelum pernikahan mama."
Titi tersenyum lalu mengusap puncak kepala Karin penuh kasih sayang.
****
Di ruang tengah, Dina tampak sedang berkutat dengan berkas berkas yang berceceran di meja, Arkanaya yang sedang menonton televisi dengan serius, di sampingnya Titi tampak serius dengan rajutannya.
Karin mengintip lewat pintu kamar yang sengaja ia buka sedikit, merasa situasinya pas Karin pun menghampiri kakek dan neneknya.
"ehh, kamu belum tidur? Di masa depan jam tidur jadi lebih malam ya?" tanya Arkanaya
Karin menggeleng, "kakek.. bagaimana cara Karin pulang ke masa depan?"
Arkanaya menepuk samping tempat duduknya agar Karin duduk diantaranya dan Titi. "aku sudah memikirkannya jauh jauh hari. Begini nak akan ku jelaskan terlebih dahulu, satu hari di masa lalu sama seperti satu menit di masa depan, jika kamu hidup selama 3 tahun di masa lalu pun, rasanya kamu akan seperti pergi hanya selama 6 jam, jadi tidak perlu khawatir bila ibumu mencari." Ucap Arkanya sambil menunjuk Dina dengan dagunya.
"Matahari terbit menjadi penghitung waktu harinya. Kamu bisa menggunakan kembali mesin waktu itu dengan cara yang sama untuk kembali ke masa depan" Ucap Arkanaya.
YOU ARE READING
Potret
Teen Fiction"suatu hari nanti kita akan bertemu, entah aku dengan reinkarnasimu atau bertemu dengan masa depanmu. Yang jelas, aku menunggu itu." -Karin Arkanaya "Hay Karin, hari ini aku kembali mencarimu, mencari-cari barangkali ada kenangan tertinggal dalam o...