01. Kenanglah Aku

508 27 7
                                    

"Iya bener banget, Sob! Nah, sebenernya gue sama Jemima itu suka gak pernah lupa buat saling bertukar kesan sehabis siaran. Maaf ya kalo jadi curhat dikit, soalnya gini, setiap abis siaran gini, gue sama Jemima itu juga merasa lebih baik karena kalian tau lah, manusia bakal ngerasa satisfying kalo bisa ngeluarin energi positif buat banyak orang."

Di luar gerimis, tenang jika di kepala membayangkan sebuah genangan, yang dijahili seorang penyuka hujan. Padahal, seseorang yang sudah berteduh dari derasnya hujan melarangnya untuk mendekati sesuatu yang menyakitinya, hujan contohnya. Ya jadi, sesuatu yang kita suka pun sebenarnya bisa saja mendatangkan sakit, 'kan?

"Aku masih naruh rasa buat mantanku, Ma."

Hah, kenapa aku malah mengingat hal itu lagi sekarang, batinnya.

"Bener gak tuh, Kak Jemima?" tutur Paula, suaranya masih semangat terdengar pada seantero radio.

"Jemima?" panggilnya sekali lagi.

"Eh?"

Paula membulatkan matanya, menatap Jemima dengan tatapan peringatan untuk fokus saat siaran.

"Maaf, guys, Jemima-nya jadi kebawa ngelamun. Ya, karena kita take episode kali ini pas keadaan di luar sana lagi gerimis, jadi waktu yang pas buat galau gak, sih? Bercanda."

Suara Paula menjalar lambat menuju kepala Jemima, ia buru-buru mendapatkan lagi kesadarannya. "Iya sih, tapi cuma karena di luar gerimis bukan berarti mata harus ikutan. Maaf guys karena udah out of topic, tapi kata Paula bener banget, sih. Nggak mau bohong kalo sebenernya cerita di balik podcast yang kita adain seminggu sekali ini based on true story, kita semua sama aja, kok."

Jemima mengeluarkan tawanya, kecil, hanya kecil. Lalu ia melihat kembali script di atas meja siaran. Melanjutkan, Jemima sempat mengatur napasnya, fokus saat kerja memang penting. Jemima sadar kesalahannya hari ini, tinggal tunggu Paula melemparinya dengan spidol saja.

"Nah, Biarpets-lings, jadi buat episode kali ini cukup segitu, ya? Pesan singkatnya, hanya karena kamu pernah mendapat janji darinya, jangan mematok sesuatu dari janji itu sendiri, ya? Hei, manusia itu suka labil, jangan dipercaya.

Kalo gitu gue, Paula, bareng sama Jemima di podcast episode kali ini, mau pamit undur diri, ya? Have a fantastic day, Biarpets!"

Selesai.

Mikrofon sudah tak lagi menunjukkan tanda-tanda hidup ketika diketuk. Jemima, dan juga Paula, dengan segera membereskan semua seperti semula. Tidak ada lagi barang yang tersisa disana, Paula menaikkan resleting pada jaketnya, menghampiri Jemima yang baru akan mengambil tas kecil di sofa.

"Hari ini pulang naik apa?" Paula memulai obrolan, sebenarnya sudah bisa ditebak bukan, basa-basinya untuk apa?

"Biasa, kenapa?" balas Jemima.

"Di luar kayaknya makin deres, mau di sini dulu gak? Gue temenin, sih. Soalnya Mas Thama katanya juga masih mampir di toko."

"Boleh aja."

Berjalan menuju pintu, Paula dan Jemima akan mengosongkan ruangan itu. Itu ruang siaran mereka berdua, ah sebenarnya itu milik bersama, lebih dari dua orang. Tapi karena banyak yang sibuk, jadi ruang tongkrongan itu jadi milik Paula dan Jemima dalam sehari. Benar dugaan Paula, hujan deras.

Jemima menengadah ke langit, sudah sejauh ini, ya? Halte ada seratus meter dari tempatnya berteduh sekarang. Jaketnya sudah lumayan tebal, tapi tetap saja dingin menusuk hingga ke tulang. Matanya bergerak ke seberang jalan, di depan sana ada tempat nongkrong anak muda yang dibangun belum lama, ya kira-kira baru tiga tahun adanya. Pikirannya hendak berkelana, namun topik lain yang menolaknya.

"Maaf buat yang tadi, Ul."

Sepuluh detik tanpa suara, hanya ada rintik hujan yang menjadi latar belakang suaranya.

"Gue baru mau nanya. Tadi kenapa, Jem? Kebiasaan, kalo hawanya dingin hujan gini, lo pasti bengong."

"Ternyata semua gak sesulit yang kita khawatirkan ya, Ul?"

"Lo gapapa?"

"I'm okay."

Kira-kira manusia yang sangat maniak hujan itu, apa ya hal terparah yang dia lakukan saat hujan? Menghitung berapa kali air jatuh di depan matanya, kah? Jemima itu bukan orang yang dramatis dan suka hujan seperti tokoh novel kebanyakan, tapi seseorang pernah bilang kepada Jemima, aku suka hujan bukan karena dia indah atau apapun itu. Hanya saja, aku suka hujan karena aku bisa mengulur waktu dengan itu. Entah mengulur waktu untuk apa, tapi orang itu sekarang telah tiada.

Layar digital menyala di hadapan Jemima sejak dua detik yang lalu, pelakunya adalah Paula. "Pilih lagu buat diputar."

Iya, Paula memang cerdik. Dia paling tau jika Jemima tidak pernah bohong soal lagu, lagu yang ia putar selalu menggambarkan suasana hatinya saat itu juga.

"Nggak mau, lo pasti mau intimidasi gue lagi," tolak Jemima, mundur selangkah demi menolak aplikasi pemutar musik itu.

"Nggak, pilih. Gue bawa headset, biasa, gue mau dengerin lagu sama lo. Kenapa, sih? Gak mau ketauan lagi galau?"

Iya. Paula tidak salah, kok. Jemima sendiri pun tidak tau, mengapa sekarang justru dia mengingat hal ini. Jemima jarang jatuh hati, jarang merasa sakit, tapi untuk sesuatu yang ia cintai dengan amat, bekasnya akan hilang sangat lama. Bukan karena 'tak ingin, luka itu basah dan seolah setiap pikirannya merujuk satu saja bagian dari dunia, ia akan semakin melebar. Mungkin, ini yang Jemima katakan, ia semestaku. Jadi alam yang Jemima tinggali, seolah semesta yang ia rujuk pada seorang lelaki. Singkatnya, Jemima masih hidup dalam semesta itu sendiri.

Apa definisi semesta bagi Jemima?

Entahlah, bahkan saat Jemima sendiri yang menjelaskannya, ia masih belum mengerti.

Pilihannya jatuh pada lagu Kenanglah Aku, ah tertebak. Jemima sedang rindu dan belum ikhlas menerima luka dari masa lalu. Atau lebih tepatnya, Jemima sendiri pun 'tak ingat luka mana yang tergores lagi saat ini. Jemima juga hampir tidak ingat bagaimana ia memperlakukan orang itu dulu sampai di tahap bagaimana luka itu tertanam sangat lama dihatinya.

"Jem, lo tau?"

Jemima menoleh, lagu itu masih mengalun di telinga Paula dan juga miliknya. Paula melanjutkan ucapannya.

"Suatu hari gue termenung di kamar gue, pas gue scroll sosmed gue. Padahal tadinya gue merasa semua yang jadi milik gue sekarang, ya mutlak milik gue sampe gue lupa, gue cuma orang yang dititipin.

Gue lupa kalo kita nggak berhak melarang si pemilik asli buat ambil kembali barang yang dipinjamkan itu. Pas itu, gue tadinya bahagia banget, Jem. Sampe di pikiran gue tuh, gak ada orang sebahagia gue saat itu. Kata gue besok dan seterusnya bakal terus jadi hari bahagia buat gue, gue gak bakal dapat rasa sedih karena saking tenangnya gue pas itu. Lalu sebuah video lewat di beranda gue, membenarkan sebuah pernyataan yang katanya, hidup kaya roda. Kalo sekarang ada tawa, besok bakal ada luka."

"Jadi?" tanya Jemima. Namun yang terjadi, Paula masih enggan untuk melanjutkan ucapannya. Bertukar cerita dengan Paula adalah salah satu yang jadi favorit Jemima, karena jiwa mereka seolah terhubung, mengerti satu sama lain.

"Satu video lewat di beranda gue, dan salah seorang yang ada di video itu dia bilang—" Suaranya tercekat, galaunya Jemima nular.

"Suatu hari saya pacaran, udah ngerasa cocok, ngerasa pas di banyak hal, ngerasa dia jodoh saya. Tapi besoknya, dia menghilang," tirunya, pada video yang pernah ia tonton. Lalu Paula menengok, menatap Jemima yang kehabisan kata-kata. "Jemima lo paham apa yang gue maksud?"

Pada akhirnya, afeksi itu, pada saat itu hanyalah frasa yang ia lebih-lebihkan.

BIARPETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang