Augmented

1 0 0
                                    




Sebuah foto dari loker meja belajarnya ia tengok lagi, foto yang telah lusuh bukan karena tak diurus tapi karena banyak nya air mata yang jatuh difoto itu. Seorang wanita muda dengan bayi dipangkuannya dengan senyum merekah. Mata tajam yang memandang foto itu, entah apa yang difikirannya hanya perasaan marah, benci namun ada kerinduan yang tersimpan. Bahkan ia tak pernah sempat memanggil perempuan itu, tak sempat mengucapkan kata itu, mengucapkan ejaan yang amat ia rindukan, Ibu.

Pak Irwan kenal betul dengan wanita itu, Erna wanita yang pernah ia cintai namun malah memilih menjadi simpanan seorang pengusaha dan setelah Erna ditelantarkan kepada Irwan ia titipkan putranya dan ia kembali berlayar entah kemana. Senna bukanlah putra kandunga nya, namun beliau menyayangi Senna lebih dari siapapun.

Delapan belas tahun lalu

"Kamu seharusnya membawa putramu Erna.."

"Ndak Mas, aku ndak bisa mas Aji ndak mungkin ngizinin aku membawanya."

"Tapi dia anak kalian!"

"Tapi mas Aji nda tahu mas, dia hanya tahu aku menggugurkan anakku, dia bakal membuangku kalau dia tahu aku melahirkan anaknya."

"Kamu sudah keterlaluan Na, sudah tahu betapa kurang ajar nya si Aji tapi kamu tetap pergi bersamanya!"

"Maaf mas, aku butuh hidup, aku janji tiap minggu akan kukirimi uang aku janji mas. Mas aku mohon hanya kamu yang aku percaya."

Percakapan singkat Raji dan Erna saat perempuan itu memberikan Senna pada Raji. Dan setelah itu Erna menghilang tanpa kabar tak meninggalkan jejak pada Raji. Namun setahun kemarin ia melihat sosok itu lagi sosok wanita yang dulu pernah ia cintai, bahkan kini perasaan sayang itu masih ada. Senna diam-diam mencari wanita itu dan benar kini ia menemukannya namun entah apa yang Senna lakukan setelah itu karena ia pun tak tahu.

-000-


Alarm berkali-kali menyeru tanpa ada yang memperhatikan, suaranya menggema hingga keluar membuat pak Raji menengok ke kamar Zian. Ia lihat putri nya yang masih terlelap walau matahari telah nampak maklum saja kemarin ia pulang tengah malam untungnya ia sedang datang bulan sehingga tidak perlu dibangunkan.

"Zian, Zian," panggilan lembut dari sang ayah membuyarkan mimpi gadis itu. Sepertinya suara ayahnya lebih manjur sebagai alarm dari pada alarm sesungguhnya. Matanya sedikit terbuka namun berat.

"Sudah jam setengah delapan kamu kuliah jam berapa?" Dengan cekatan Zian langsung terbangun, masih setengah sadar melihat jam bekernya.

"Haduh telat nih!" Bergegas ia ke kamar mandi cukup menyikat gigi dan cuci muka sekenanya, sepertinya kali ini ia tak kan mandi 'lagi'.

"Sarapan dulu mbak," Mbok Nah mengingatkan, di meja makan sebenarnya sudah tersedia nasi goreng tapi apa boleh buat pagi ini mata pelajaran pak Karim menanti jika telat sekali saja nilai nya bisa saja C karena dosen yang satu ini kedisiplinan diatas segalanya. Setelah berpamitan dengan ayahnya ia berlari keluar menuju jalan besar berharap bis masih tersedia, ia lihat jam nya lagi kurang 20 menit lagi semoga cukup waktu.

Dari arah belakang terdengar suara lari yang tak kalah kencang, Zian tak menghiraukan suara dibelakangnya, namun seseorang itu kini berlari disamping Zian

"Senna!?" Zian tak kuasa ketawa melihat pemuda yang dikenal paling disiplin dan selalu sempurna dimata dosen tengah berlari bersamanya, mereka seperti dua peserta lomba lari tingkat kecamatan. Kuasa sang Maha, sebuah bus butut seperti sengaja menunggu mereka di halte, dengan sigap keduanya memasuki bis, Senna sengaja duduk paling belakang dan Zian memilih barisan depan, bus melaju kencang dengan dibarengi nafas mereka yang terengah-engah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 15, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

IntroCodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang