Blind Date

15.2K 1K 22
                                    

Zi tampak asyik menonton televisi di ruang keluarga. Di tangannya terdapat sebuah toples berisi kacang atom. Sesekali gadis itu terkikik melihat acara yang sedang ditayangkan. Bukan karena lucu, tapi karena memang acaranya sungguh tidak jelas.

Tentu saja, gadis itu juga tidak ketinggalan mengkritik dan mengomentari program televisi tersebut.

"Alay banget sih," komentarnya, kemudian mengganti saluran.

"Kak!" Si bungsu Zidane tiba-tiba memanggil. Suara khas remaja yang sedang puber itu menggema di ruang keluarga yang cukup luas.

"Ada apa?" Zi mengernyit heran. Sementara remaja tujuh belas tahun itu duduk di samping kakaknya.

"Ada info dan aku dengar langsung dari Ibu," ucapnya semangat.

"Apa?" Zi cukup tertarik. Biasanya info yang menyangkut dirinya pasti aneh-aneh.

"Pemberian info nggak gratis ya." Zidane menutup rapat bibirnya sambil bersedekap.

"Ya udah, nggak penting juga." Zi malas mengikuti keinginan adiknya. Ia merasa Zidane sudah mendapatkan semua yang ia mau. Jadi untuk apa minta hal yang lain.

"Penting kakak." Remaja itu berusaha membujuk kakaknya.

"Kalau penting, kasih tau aja. Tapi nggak pakai minta aneh-aneh."

"Mintanya nggak aneh kok. Cuma hape baru doang."

Zi memutar bola matanya,"kasih tau atau semua fasilitas dicabut."

Mendengar itu, mata Zidane membesar. Ia mana rela jika fasilitas yang selama ini diberikan padanya dicabut.

Zidane mendengus kesal, "Ibu mau ngenalin kak Zi sama anak temennya. Katanya sih baru selesai S2 di Aussie. Tiga tahun lebih muda dari kakak," lapor Zidane.

Zi merengut sebal. Lagi-lagi Ibu berusaha menjodoh-jodohkannya. Ini bukan kali pertama. Tempo hari, ibu berusaha menjodohkannya dengan seorang pengacara. Sebelumnya lagi, ia memperkenalkan Manajer Bank pada Zi.

"Mau hape apa, Dek?" Akhirnya Zi memutuskan untuk menuruti permintaan adiknya. Zidane tersenyum senang, lalu menyebut merk ponsel ternama keluaran terbaru.

.
.
.

"Anaknya itu ganteng, Zi." Ibu sedang membujuk agar Zi mau menemui lelaki asing, calon menantu potensial versi ibu.

"Nggak deh. Zi masih bisa cari sendiri kok. Ibu nggak usah ikut-ikut," tolak gadis itu.

"Cari sendiri gimana? Sampai sekarang aja kamu masih jomlo," ejek Ibu.

"Single bu. Jomlo itu nasib, sedangkan Zi milih buat jadi single." Ralat gadis itu. "Lagian Zi itu bukannya nggak laku. Cuma belum menemukan yang pas aja."

"Pas menurut kamu itu bagaimana?" Ibu bersedekap, lalu berdiri dengan mata yang menyorot tajam. "Ibu nggak mau tau. Nanti sore kamu temuin dia. Bagaimanapun hari ini harus ketemu."

Zi melongo mendengar permintaan ibunya. Ia ingin sekali membantah dan menolak. Tapi tatapan ibu sungguh menghujam. Kalau sudah begini, sulit untuk Zi menghindar.

"Oke. Zi pergi ketemuan," ucapnya. Bertemu sekali ini lalu tolak. Biasanya juga seperti itu.

Raut wajah ibu kini berubah. Senyumnya mengembang, namun masih tampak seram.

"Jangan macam-macam. Ibu nggak mau kayak yang lalu-lalu. Bikin malu." Ibu memberi peringatan.

Kejadian lalu memang membuat ibu pusing. Zi dan isi kepalanya yang sulit dipahami sungguh membuat frustasi.

Jodoh Buat Zi (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang