Kesempatan

12.3K 935 24
                                    

Zi menatap tajam Ghani yang sekarang berada di hadapannya. Gadis itu masih bingung dengan apa yang baru saja mereka lakukan.

"Kalo lu cuma mau balas gue karena tempo hari, sekarang impas." Ucapnya santai.

Ghani mengernyitkan dahi, "gue serius. Ini bukan main-main Zi."

Gadis itu memutar matanya, "gue kenal lu udah lama banget. Kapan sih lu serius kalo sama gue. Game is over." Zi memutar kursinya menghadap meja. Lalu mulai menekuri tumpukan proposal di meja.

"Gue beneran kayaknya cinta sama lu." Ucap Ghani agak meragu.

"Kayaknya. Itu bukan kepastian." Gumam Zi. "Lu mending cepetan ke kantor, ini udah mulai siang."

"Zi." Lelaki tampan itu masih di posisinya. 

"Gue sibuk. Habis ini masih harus ketemu sama Produser." Gadis itu mengibaskan tangannya. Mengusir Ghani secara halus.

Sepeninggal Ghani, gadis itu memegang dadanya. Gemuruh detak jantung bertalu begitu cepat. Ia juga memegang bibirnya. Tiba-tiba Zi merasakan pipinya memanas mengingat ciuman Ghani beberapa waktu lalu.

"Dia Ghani yang otaknya penuh ide jahil." Zi meyakinkan dirinya agar tidak besar kepala oleh pengakuan sahabatnya itu.

Sementara itu, Ghani tiba di ruangannya. Ia memukul kepalanya cukup keras. Menyalahkan diri sendiri atas ulahnya tadi. Menghadapi Zi tidak bisa secara frontal. Mereka kenal sejak lama dan terlalu santai dalam bergaul. Mana mungkin gadis itu percaya begitu saja mendengar pengakuannya. Bodohnya lagi, Ia menyelipkan kata 'kayaknya'. Itu pernyataan yang masih abu-abu. Ghani menelungkupkan kepala pada meja.

"Bodoh!" Umpatnya untuk diri sendiri.

###

Suasana rumah keluarga Zi cukup ramai. Terlihat dari deretan kendaraan yang terparkir hingga luar pagar. Gadis itu baru ingat, jika hari ini adalah arisan keluarganya. Pasti tante-tante bawel dan sepupu-sepupu menyebalkannya ada di dalam. Memikirkan hal itu membuatnya malas. Mereka pasti mengangkat satu topik sensitif mengenai dirinya.

Dengan berat hati Zi melangkah. Mengucapkan salam di pintu depan. Lalu menyalami para tetua satu per satu. 

"Duduk sini Zi." Tante Asih, adik Ibu yang paling ingin tahu menepuk sofa di sebelahnya. Walau enggan, gadis itu tetap duduk.

"Kenapa, Tante?" Tanyanya tanba basa-basi.

"Tente denger dari Ibu mu, minggu depan lamaran ya? Akhirnya laku juga." Wanita paruh baya itu tersenyum. "Tapi katanya, calonmu lebih muda? Wah, rentan selingkuh ini." Mulai Tante Asih mengompori.

"Aku nggak ngerasa ada lamaran minggu depan, dan punya calon yang umurnya lebih muda." Zi berdiri. Rasanya saat ini Ia ingin masuk ke kamar dan memejamkan mata. "Permisi." Pamitnya.

Zi menghempaskan tubuhnya di kasur. Lalu mulai memejamkan mata. Teringat ucapan Tantenya tentang lamaran. Otak gadis itu sedang tidak ingin memikirkan apa pun kecuali pekerjaan. Tapi tetap saja pernyataan Ghani pagi tadi terngiang. Kepalanya bertambah pusing saat mengingat kata lamaran. 

"Kak Zi!" Zidane masuk ke kamar kakaknya.

Masih dalam posisi berbaring, Zi menjawab tanpa membuka mata. "Apa?"

Remaja tujuh belas tahun itu mengguncang tubuh kakaknya, "dicariin Bang Ghani. Orangnya dibawah, lagi ditanya-tanya Tante Asih." 

Gadis itu merubah posisi menjadi duduk, "ngapain tuh orang kesini?" 

"Mana kutahu." Zidane mengedikkan bahu lalu pergi. Zi menyusul dan diujung tangga Ia melihat Ghani sahabatnya. Bicara asyik dengan Tante Asih dan Tante Ratna, sambil memangku Fira.

Jodoh Buat Zi (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang