ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
(🍓)—ʀᴏᴋᴏᴋ, sᴛʀᴏʙᴇʀɪ, ᴅᴀɴ ᴡᴀɴɪᴛᴀ
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
❍ ╴╴╴╴╴
﹀"Rokok itu enggak baik, Mas," ujarku dengan sedikit menaikkan nada bicaraku, membuatnya terkejut hingga melupakan isapan pada rokok kretek miliknya itu. Sial, tampaknya aku salah bicara. Saat dia memalingkan wajahnya padaku, demi Tuhan aku bisa merasakan tatapannya yang menyalang di balik kacamata hitamnya itu.
Awalnya aku mengira dia akan mengumpat padaku atau bahkan memukulku lagi. Namun seperkian detik kemudian, hal yang tak pernah kuduga terjadi. Dia membuang kreteknya itu, lalu mengambil stroberi bekas gigitanku yang ada pada tanganku. Dia kembali menatap lurus ke depan. Lagi-lagi kami berdiri dengan keheningan sebagai penengah.
"Dik, kamu tahu tiga hal yang seperti narkoba buatku?"
Dia membuka suara. Dari pertanyaannya, sejujurnya aku hanya tahu dua hal yang meliputi candunya; rokok dan wanita. Namun tentu saja yang keluar dari mulutku hanya kata 'rokok'. Untuk urusan candunya terhadap 'wanita', aku lebih memilih berpura-pura tidak tahu. Sebab aku si naif yang selalu mengemis posisi tertinggi di singgasana hati si berengsek.
"Rokok, stroberi, dan wanita," jawabnya sambil melepas kacamata hitamnya. Lalu kemudian ia menyisir rambutnya dengan jari-jari tangannya. "Kamu tahu kenapa aku memilih mereka?" lanjutnya yang kemudian kembali menatapku. Netra kami beradu, tatapannya masih tetap tak semanis madu, walau netraku sudah menyendu, menyampaikan kalimat rindu.
Seperkian detik kemudian, kualihkan pandanganku. Aku tidak kuat menatap netra hitam pekat itu. Sebab di sana aku tidak menemukan bayangan tentang diriku. "Tidak tahu, memangnya kenapa, Mas?"
"Sebab ketiganya merepresentasikan dirimu. Memabukkan, manis, dan indah."
Setelahnya, kami tertawa renyah bersama. Walau aku tahu kata-kata itu bukan dilontarkan hanya untukku seorang, tapi aku tetap tersanjung. Bohong kalau aku bilang tidak tersanjung.
Aku pernah membaca sebuah kutipan yang bunyinya, "Lelaki mempunyai dua umpan; rayuan dan pujian. Lalu wanita juga memiliki dua kelemahan; telinga dan hati." Awalnya aku mencibir dan bersikap sombong. Sebab aku yakin, bahwa telinga dan hatiku tidak akan pernah terperangkap dengan rayuan dan pujian murahan itu.
Namun enam purnama yang lalu, aku menjilat ludahku sendiri. Setelah bertemu dengan lelaki di sampingku ini. Reyzin Ali.
•••
Malam menyapa. Jam yang melingkari tanganku sudah menunjukkan pukul delapan lewat lima menit, bunda sudah mewanti-wantiku untuk tidak berkeliaran di luar rumah lewat dari pukul tujuh. Tapi aku dengan bengalnya masih melangkahkan tungkaiku menuju kedai kopi langgananku.
Persetan dengan jam malam, yang aku butuhkan sekarang ini adalah secangkir espreso yang selalu menjadi obat setiap aku bermasalah dengan lelaki berengsek itu. Sejak bersamanya selama tujuh bulan, sudah terhitung belasan kali aku diturunkan di tengah jalan olehnya.
Belasan kali aku dinomor duakan karena gadis-gadisnya yang lain, dan belasan kali pula aku selalu bersikap bodoh dengan menurutinya.
Itu karena aku begitu mencintainya.
"Selamat malam. Zoya, kan?"
Sebuah suara lembut membuyarkan lamunanku. Di samping mejaku, kini berdiri seorang perempuan mungil yang menggunakan dress maroon selutut dengan lengan panjang.
"Iya." Aku hanya menjawabnya dengan singkat sambil menatapnya.
"Aku Bulan, salam kenal. Boleh aku duduk di sini?" ujarnya dengan senyuman tipis. Kulihat meja pengunjung di sekelilingku, ternyata memang tersisa kursi di depanku ini. Mau tidak mau aku menyetujui pertanyaannya walau sebenarnya aku sedikit waswas, dari mana dia tahu namaku.
Beberapa menit kemudian, pesananku datang. Secangkir espreso dan kudapan dengan rasa stroberi kesukaan Reyzin—cih, niat hati ingin terlepas dari bayang-bayang lelaki itu, justru aku sendiri yang kembali membawa bayangannya.
Aku menghentikan suapan kudapanku setelah perempuan di depanku ini berbicara.
"Kamu jadi suka stroberi pasti karena dia, ya?" tanyanya dengan suara yang terdengar sangat lembut di telingaku. Aku hanya bisa mengernyitkan dahiku.
"Mas Reyzin memang pecandu stroberi."
"Rokok juga."
"... wanita juga."
"Maksudnya apa, ya? Jika Anda ingin membicarakan sesuatu pada saya, tolong intinya saja."
Aku mulai melantangkan suaraku. Aku semakin tidak mengerti arah pembicaraannya. Dari mana dia tahu tentang aku? Dari mana dia tahu tentang Reyzin beserta segala candunya? Apa dia salah satu dari gadis-gadis Reyzin?
"Tolong jauhi suamiku."
Aku membisu. Benar-benar bisu.
"Demi anakku, aku rela bersujud di kakimu. Tolong lepaskan Mas Reyzin untuk anakku," ujarnya sambil mengusap perut rata di balik dress-nya itu. Aku masih bergeming.
Bibirku terlalu kelu. Sekadar menyangkal saja aku tidak bisa. "A-aku...."
"Aku yakin, tak ada satupun dari kita yang hatinya ingin dibagi dua, sebab cinta adalah rasa yang ingin memiliki sepenuhnya, bukan separuhnya," kata perempuan itu sambil memegang tanganku.
"Lepaskan Mas Reyzin. Kamu bisa mendapatkan lelaki yang lebih baik darinya."
Telinga dan hatiku terlanjur terperangkap pada umpan lelaki itu. Lantas siapa yang harus disalahkan?
Reyzin Ali yang gemar memasang umpan atau aku yang memiliki telinga dan hati?
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
◡̈
KAMU SEDANG MEMBACA
Segelas Kopi Klise
FanfictionSelamat datang di kedai @dioaresna. Maaf, di sini hanya menyajikan segelas kopi klise tentang Park Sooyoung yang dipadu dengan beberapa kudapan manis. Silakan dan selamat menikmati.