Prolog

34 3 0
                                    

                 
        
       Awan hitam berjejer riang di atas langit biru menandakan hujan akan segera turun. Sekitar Belasan mobil berjejer rapi memasuki area rumah sakit.

Beberapa butir air turun, tapi bukan hujan. Sosok perempuan cantik dengan gaun pengantin bernama Amira berlari di sepanjang lorong rumah sakit. Sepatunya mungkin tinggal sebelah di kakinya. Rambut hitam kelam yang di susun penuh bunga sudah terurai sekarang.

Wanita muda itu masih terdiam seribu bahasa. Tak percaya dengan apa yang dia lihat. Kekasihnya terkulai lemas di atas ranjang rumah sakit dengan bercak darah di kepala.
"Darga!!!” Wanita itu berteriak kencang dan memeluk kekasihnya. Tangisan wanita itu membela langit. Airmatanya turun bak hujan deras yang melanda kota. Tiada seorang yang bisa membungkam teriakannya.
"Argh! Darga! Darga bangun!" ia terus meneriaki calon suaminya tersebut.

"Amira sudah, nak." Ayahnya memeluk Amira dengan keras.
"Dia tidak mati Pa, dia cuma pingsan." Amira membohingi suasana. Pun juga membohongi dirinya sendiri.

"Amira sayang, Darga, hiks hiks...!" ibunya Darga memeluk Amira.

"Darga tidak kenapa-kenapa. Dia akan sadar lima menit lagi! Sekarang kita bersiap-siap. Pernikahanku segera dimulai!" Amira mengatur napasnya dengan sedu sedan mencoba terlihat bahwa semuanya baik-baik saja.

"Amira tapi-..."
"Ma!!! Darga tidak mati! Hiks... Hiks.... Dar...ga... Darga cuma pingsan. Dia satu-satunya orang yang tidak akan pernah membohongiku. Dia akan bangun dan menikahiku," Amira terjatuh karena tak mampu menopang tubuhnya lagi. Ia terduduk dilantai dengan mata merah dan hitam karena maskara.

"Darga!!!" Amira berteriak keras seperti orang gila. Mungkin lebih dari orang gila. Ayahnya memeluk dengan erat mencoba mengontrol wanita itu. Ibunya Darga sudah terduduk di lantai dengan pelukan erat dari suaminya.

Amira kemudian berdiri mengambil sebuah gunting di atas meja dan nekat menggores lengannya. Dengan sergap ayahnya memeluk Amira dari belakang. Dan melempar gunting tersebut.

"Argh! Hiks... Hiks... Hiks... Darga...." Amira kemudian terhempas. Dia tidak mampu melihat calon suaminya itu berbaring dengan jantung yang tidak berdetak. Amira menyandar miring ke kaca transparan ruang itu.

Untuk kesekian kali airmatanya turun deras bersamaan dengan hujan turun. Wanita itu menangis di iringi dengan suara hujan. Hujan seolah mengetahui perasaannya. Amira menoleh 90 derajat ke jendela bening itu dan menatap hujan yang turun.

Hatinya kembali terkikis, sebab pertemuan pertama mereka dimulai karena hujan deras dan bertedu di halte bus.

Darga dulu pernah mengatakan satu hal pada Amira ketika pertama kali mereka bertemu. Dan sekarang Amira mengulang kata-kata itu.
"Mungkin hujan hari ini sengaja di turunkan oleh tuhan untuk kita, agar kita bisa terjebak di satu tempat yang sama."

****

Sudah seminggu sejak kepergian Darga, Amira tidak pernah keluar lagi dari kamarnya. Dia lebih sering menangis sendiri di kamar. Apalagi ketika hujan turun, selalu saja dia ikut menangis. Dua hari kemarin, Amira berteriak setiap pagi, menyebut nama Darga dengan keras. Kemungkinan ia telah bermimpi tentang calon suaminya tersebut.

Malam ini keluarga Amira tersebut berkumpul di ruang utama. Ayahnya Amira tak tahan melihat anaknya tersebut. Siang tadi ia memanggil seorang Psikiater. Dan dokter tersebut menyarankan untuk membawa Amira ke sebuah tempat terapi. Ayahnya Amira hanya terdiam dan mencoba mendiskusikan dengan keluarganya malam ini.
"Erca, Ma, Altra, malam ini Papa sengaja mengumpul kalian di sini. Ini berkaitan dengan Amira." Ayahnya Amira menatap dua perempuan tersayangnya dan menantunya tersebut, Altra.
"Ada apa sama Amira pa?" Erca kakaknya Amira dengan cepat bertanya.

"Ayah akan mengirim Amira ke sebuah tempat untuk terapi-"
"Enggak!" Erca menolak dengan cepat. Bahkan sebelum ayahnya habis bicara.
"Erca tapi ini demi adikmu," Ayahnya kembali menimpalinya.

"Ayah, tapi aku gak mau jauh dari Amira," Erca kakaknya tetap menolak hal itu.

"Erca sayang, papa benar. Kamu mau adik kamu terluka terus, Mama aja nangis tiap kali ngeliat Amira," mata Ibunya berkaca-kaca.

Altra kemudian memberi pengertian kepada istrinya tersebut.

Ayah Amira kemudian mulai berdiskusi sesuatu dengan istrinya. Sekitar 20 menitan mereka memikirkan tindakannya. Keluarga tersebut setuju untuk membawa Amira ke tempat terapi Psikiater. Sembuh atau tidaknya Amira hanya tuhan yang bisa menentukannya.

Wah ini cerita pertama dan cukup lelah..., jujur Aku hampir nangis buat ceritanya. Adoooo gila, aku yang buat, aku pula yang baper. Jangan lupa Vote ya. Semakin banyak komentar semakin cepat di lanjutkan. Sorry typo menyebar di mana-mana ❤😂😂😉

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 26, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Berlabu di Hati HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang