Bagian 4.

11.3K 878 9
                                    

Alena mengaduk-aduk sarapan yang dinikmati bersama dengan suaminya itu. Tak ada pembicaraan yang berarti di antara mereka, Alena bukan tipe orang yang cepat membuka diri dengan orang yang baru. Bagi Alena, dia butuh waktu untuk bisa dekat dengan seseorang, salah satunya manjajaki seluruh kepribadian orang tersebut selama beberapa waktu, jika dalam masa pengamatannya orang itu cocok dijadikan teman, baru dia mulai membuka diri.

Alena cendrung pendiam, pembawaannya serius dan kaku, dia buka tipe orang yang tertarik pada hal-hal lucu, baginya tertawa dan tersenyum begitu sulit.

Seumur hidupnya, dia tidak memiliki sahabat dekat, hanya beberapa orang saja yang itupun tidak begitu akrab, dia lebih suka menyendiri, melakukan sesuatu yang membuatnya tertarik, membaca buku, menulis buku dan mengoleksi buku.

Alena heran kenapa Jaka terlihat sangat santai seolah-olah pernikahan ini tidak menjadi beban pikiran baginya. Pria itu terlalu tenang untuk ukuran kondisi mereka saat ini, dia terlihat masa bodoh dan tak mau tau dengan keadaan, padahal Alena berfikir keras dengan keadaan sekarang, pernikahan dadakan, suami yang tak diduga, ah! bahkan ini akan lebih menarik untuk di filmkan.

Jaka malah dengan lahap menghabiskan sepiring nasi goreng yang dibuat oleh Alena setelah kembali dari sholat berjamaah tadi. Ketika Alena memasak, Jaka sibuk membersihkan rumah, menyapu perkarangan dan membersihkan kamar mandi, dia bekerja dengan gesit karena itu adalah pekerjaan rutinnya setiap hari.

"Boleh aku tanya sesuatu?" Akhirnya Alena membuka suara.

Jaka menatapnya sebentar kemudian kembali meminum kopi di depannya.

"Silahkan, Nona ! "

"Apa kau serius dengan pernikahan ini? maksudku, kau tau kan Jaka, kita tidak saling mencintai, umurmu lebih muda dariku kemudian aku tidak mungkin menggantungkan hidup kepadamu."

Alena berusaha berkata sesopan mungkin supaya Jaka tidak tersinggung. Apa yang dikatakannya adalah sebuah kenyataan, Jaka hanya pekerja biasa yang tidak akan mampu menjadi kepala keluarga.

Jaka mengangkat kepalanya dan menatap wanita yang memiliki tinggi 165 cm itu dengan dalam. Dia mulai bosan dengan pembahasan ini.

"Saya sudah katakan bahwa saya tidak berniat menceraikan nona, saya juga sudah berjanji kepada ayah nona untuk menjalani pernikahan ini dengan baik. "

Jaka memberi jeda sebentar, tanpa Alena sadari suaminya itu sudah berjarak satu jengkal dari wajahnya.

"Masalah hati itu urusan belakangan, nona."

Wajah Alena memerah gugup, dia kembali mengembalikan kendali dirinya, terintimidasi oleh bocah kecil itu akan sangat memalukan, kemudian Alena tertawa memamerkan giginya yang rapi mengutuk detak jantungnya yang mulai berdebar halus.

Kenapa laki-laki itu tidak menyerah saja. Mungkin di desa ini akan banyak gadis yang mau menikah dengannya. Alena masih belum mengerti kenapa ayahnya mempercayakan putri semata wayangnya kepada tukang kebun. Dia bukannya tidak laku, hanya saja dia belum berfikiran untuk menikah karena nyaman dengan kesendiriannya.

"Hari ini saya akan bekerja di kebun, saya harap nona menjalani peran sebagai istri yang baik, saya berjanji akan menjadi suami yang bertanggung jawab lahir batin."

Jaka berlalu tanpa memberikan Alena kesempatan berbicara terlebih dahulu. Dia mulai sebal dengan Alena yang selalu memaksakan diri melakukan tawar menawar dengannya. Pernikahan ini takkan pernah diakhirinya, apapun alasan wanita itu.

Alena tak percaya, dia adalah dosen yang cukup ditakuti oleh mahasiswanya, tapi lihatlah sekarang! dia terintimidasi oleh Jaka yang belum apa-apa baginya. Menjalani peran sebagai istri yang baik? Alena tertawa mengejek ucapan suami tampannya itu. Dia bahkan belum menyetujui untuk melanjutkan pernikahan ini dengan pria itu. Ayahnya, semua ini adalah skenario ayahnya yang sangat disayangkan oleh Alena.

Suami Pilihan Ayah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang