#3 - Kesalahan kecil

8 1 0
                                    


Tidak ada salahnya mencintai seseorang. Tetapi cinta itulah yang salah.

Setengah jam berlalu dan kami hanya diam terbeku didalam ruangan property. Rynn terus saja mengomel. Gana lebih banyak diam. Dan aku, hanya memandangi tingkah mereka. Seraya menunggu pintu tersebut dibuka.

"Rin, lu gak bawa hp apa?"

"Lu gak inget? Hp semua dikumpulin."

"Oh iya ya."

Lagi dan lagi. Tidak pernah sekalipun wajah menyebalkan itu dan bibir tipisnya yang selalu berceloteh.

Sementara itu, Gana hanya diam membisu. Menunggu bersama kami sampai pintu ruang ini terbuka. Sampai aku tidak akan mendengar celoteh Rynn. Gana sibuk dengan dirinya sendiri. Entah apapun benda yang ada di hadapannya, ia mengambilnya lalu memainkannya tanpa menganggu sekitar.

"TOLONG! SIAPAPUN DI LUAR SANA, BUKAIN!"

Sunyi. Semua seakan mengabaikanku dan tak peduli sekalipun. Ini hampir tengah malam, seharusnya kami semua tidak lagi berada di ruang ini. Aku ingin menangis. Ingin sekali.

"Tunggu sebentar."

Tiba-tiba saja Gana beranjak lalu mendekati pintu utama. Tangannya membawa sesuatu yang sepertinya sudah ia rakit selagi aku dan Rynn mencari bantuan. Kelihatannya Gana membuat kunci dari kawat.

"Semoga aja ini berfungsi." Ia mulai menancap kawat tersebut, mencari sudut tepat selayaknya kunci dipakai.

Aku berdoa. Gana satu-satunya harapan yang kami punya. Bagaimanapun, tidak ada seorang diantara kami yang membawa ponsel. Kami juga tidak menerima kunci ruangan ini. Sementara tanganku hanya membawa sebuah senter tua yang cahayanya mulai redup.

Gana terus memutar membolak-balikkan kawat rakitannya. Entah darimana ia mendapatkannya, karena ruangan ini sangat gelap. Sedangkan Rynn diam. Terakhir kali ia banyak bicara sampai menanyakan bahwa aku membawa ponsel atau tidak. Rynn juga manusia, punya rasa takut yang berbeda denganku.

ctak

"Kebuka!" Histerisnya setelah lama mengotak atik pintu tersebut.

"Eh serius? AKHIRNYA..." Rynn mendadak semangat, jiwanya kembali pulang setelah mendengar kata-kata melegakan.  Rynn berlari kegirangan meninggalkan ruang.

Melihatnya hanya membuatku geleng kepala. Dan lagi, seharusnya Rynn berterimakasih pada Gana.

"Lu tuh ya, bukannya makasih gitu sama Gana. Emang elu, ngeluh doang kerjaannya." Aku menatapnya, Rynn menatapku pula. Kami saling beradu jika saja Gana tidak menengahi kami. Pasti perdebatan dimulai lagi.

***

Senin. Hal yang paling membosankan adalah ketika kau harus pergi ke sekolah dan mengakhiri liburmu lalu 'menghadiri' upacara rutin setiap awal minggu. Semua siswa diperiksa, kelengkapan, papan nama, lambang sekolah.

Fajar menyingsing mengisi pagi buta di aluni kicauan burung-burung camar. Raga terlalu malas untuk menunggu. Bukannya malas, tetapi matahari mulai meninggi. Setelah lama kepala sekolah menyampaikan pesan pada pagi hari, aku kembali ke kelas.

"Erin! ya ampun gue kangen banget sama lo. Udah berapa hari sih kita gak ketemu? kayaknya emang lo ngangenin sih." Alin. Sahabat. Teman sekaligus tetangga. Dia memelukku, aih seberapa rindunya ia.

Aku membalas pelukannya. Erat sekali sampai dadaku sesak. Padahal kami baru saja bertemu pagi tadi ketika kami secara kebetulan saling menyapa menyebrangi pagar rumah. Alin memang berlebihan. Walaupun begitu, aku menyayanginya.

QuietlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang