"Assalamualaikum," sapaku, pada sosok ringkih yang sekarang ini terbaring di ranjang rumah sakit. Setelah beberapa jam tak sadarkan diri, karena kehilangan banyak darah, kini perempuan hebat itu terlihat membaik.
"Wa'alaikumussalam, Ukhti," jawabnya, bisa kulihat kedua matanya mengecil, dia pasti sedang tersenyum dibalik cadarnya. "Terimakasih sudah menolongku, dan membawaku ke sini," lanjutnya.
"Sama-sama, mbak. Gimana lukanya, masih sakit?" tanyaku.
"Alhamdulillah, perihnya sudah menghilang," suara perempuan itu terdengar begitu lembut. "Bagaimana keadaan ibu itu?"
Pertanyaan yang terlontar dari bibirnya, kembali membuatku terpana. Perempuan ini mengkhawatirkan keadaan orang yang sudah mencelakainya.
Aku tersenyum kecil. "Jangan khawatir, dia baik-baik saja, hanya saja..." Aku menggantung ucapanku, sehingga membuat perempuan itu merangsek ke arahku.
"Kenapa? Dia tidak dibawa ke kantor polisi kan?" Sekarang ini pasti dia sedang memasang wajah cemas.
Aku menggeleng. Keningku berkerut, kenapa dia begitu peduli pada orang itu?
"Hanya saja dia tidak mau pergi, ketika aku membawamu ke sini, dia terus mengikuti kita," jelasku. "Dia terus diam tanpa mengucapkan sepatah katapun, aku bingung pada ibu itu."
"Dimana dia sekarang?" tanyanya, setengah berbisik.
"Diluar kamar, duduk termangu sejak kau dirawat, teman-temanku yang mengawasinya, kami takut dia kembali melakukan hal yang tidak diinginkan lagi," jawabku, jujur. Awalnya aku memaksa ibu itu untuk pergi, namun aku tidak tega, ketika melihat ekspresi wajah dari sosok itu.
Sayu dan penuh kesedihan.
"Aku ingin menemuinya," pinta perempuan bercadar hitam itu.
"Kutemani," tawarku.
"Terimakasih."
Perlahan dia berjalan keluar kamar rumah sakit, dan berhenti tepat di dekat sosok renta yang terlihat begitu lelah.
"Assalamualaikum," sapanya, yang berhasil membuat wanita tua itu mendongak dan segera bangkit dari tempat duduknya. "Pulanglah bu, aku baik-baik saja," lanjutnya, dengan suara lemah lembut.
Wanita tua itu hanya diam, sambil menatap lekat sosok bercadar yang ada di hadapannya. Lalu...
"Pagi itu, dengan senyum yang terus merekah, putri kecilku begitu bersemangat ketika memasuki rumah ibadah kami, dia berlari meninggalkanku di belakang. Lalu, tiba-tiba kejadian itu pun terjadi, sebuah bom menghancurkan tempat ibadah kami dan juga menghancurkan tubuh putriku," Wanita tua itu mulai terisak, suaranya dipenuhi dengan kesedihan yang begitu dalam. "Putri kecilku yang malang," tangisnya pecah. Kemudian, kulihat perempuan bercadar itu langsung memeluk erat sang wanita tua.
"Aku turut berduka bu, semoga putrimu tenang di alam sana, dan semoga kau diberi kesabaran dalam menghadapi cobaan ini," ucap perempuan itu, yang semakin mempererat pelukannya.
"Mereka pejahat, mereka teroris, mereka bukan kalian. Jadi, maafkanlah aku, maafkan kebodohanku yang menyakiti perempuan baik sepertimu." Kembali sosok renta itu terisak pilu.
Tak bisa kutahan laju air mata yang terus mengalir deras karena rasa haru.
Tak perlu berteriak, tak perlu menunjukkan otot, tidak perlu menjatuhkan korban, untuk membuktikan jika Islam adalah agama perdamaian. Jadikan Rasulullah sebagai panutan, itu cukup. Seperti perempuan itu, dia melakukannya, dia mengasihi orang yang telah menyakitinya, merangkul dengan penuh kasih.
Hatinya begitu cantik, bahkan bidadari surgawi pun konon iri. Jiwanya begitu lembut, sampai langit berdecak kagum sembari berurai air mata bahagia, menyaksikan kelembutannya.
Bukan mereka, yang mengaku-ngaku namun gemar dengan keributan yang mengerikan dan tak berhati. Tapi dia...
Dia si pemilik jiwa pemaaf, dia si pemilik hati lemah lembut.
Dia ... Muslimah sejati.
***
End
KAMU SEDANG MEMBACA
Muslimah ✔
Cerita PendekHatinya begitu cantik, bahkan bidadari surgawi pun konon iri. Jiwanya begitu lembut, sampai langit berdecak kagum sembari berurai air mata bahagia, menyaksikan kelembutannya. Bukan mereka, yang mengaku-ngaku namun gemar dengan keributan mengerikan d...