Pahlawan di Januari

30 16 7
                                    

Bulan Januari. Bulan yang selalu akan mengawali lembaran baru disetiap tahun yang baru pula.

Banyak sekali hal-hal yang terjadi ditahun-tahun sebelumnya dan tanpa aku sadari, aku mampu bertemu kembali dengan Sang Januari.

Bertepatan dengan awal tahun pula, aku diberikan suatu tragedi sederhana diseberang jalan rumahku yang membuatku menyesal karena merutuki segala hal yang menurutku tak sesuai dengan ekspetasiku.

Baiklah, kisah ini berawal dari kegiatan pagi hari Sabtu-ku. Sabtu dan Minggu adalah hari dimana menjadi me-time ku, justru membuatku yang sehari-hari berkerja sebagai siswa berubah menjadi asisten rumah tangga setiap weekend-nya.

Kalian pun pasti sudah menyangka seberapa malasnya aku untuk bangun pagi, mengerjakan segala tugas 'kerumah-tanggaan' yang tak sedikit.  Rasanya belum sudah penatku belajar selama seminggu terbayarkan, sudah ditambah lagi cicilan cucian piring yang telah menumpuk di depan rumah.

Mengapa didepan rumah? Karena memang ada sudut kecil disebelah kiri yang memiliki keran air dan dijadikan tempat mencuci sehari-hari dirumah.

keran air aku buka dan air mengalir mengisi baskom kosong yang teronggok. Sambil menunggu air penuh, aku pun terduduk disamping baskom dan memainkan percikan air yang dingin sambil mengusapkan ke wajahku yang masih kentara sekali baru bangun dari hibernasi panjang.

Namun, pandanganku teralihkan ketika aku mendengar suara gaduh anak-anak diseberang jalan sana.

Ada 2 orang anak laki-laki yang tengah bertengkar, satu anak menggunakan baju coklat dengan celana pendek hitam dan yang satunya menggunakan baju bola bergambarkan tim pesepak bola Eropa, Chelsea. Kedua tangan mereka menarik-narik sebuah layangan, satu memegang tali nylon layangan dan satunya lagi memegang layangannya.

Sayup-sayup, aku mendengar pembicaraan yang mereka cekcokkan disana.

"Hey, aku yang menangkap layangannya terlebih dahulu, maka layangan ini punyaku!", ucap anak yang berbaju coklat.

"Oh tidak bisa! Sebelum layangannya jatuh dan mengarah ke arahmu, aku sudah lebih dulu memegang talinya dan menariknya. Kau saja yang tak tau dan mengatakan jika layangan ini punyamu. Jika talinya tidak putus mana mungkin pula kau bisa menangkap layangan ini. Jadi yang memegang tali, artinya dia yang memiliki layangan ini!", alibi sang bocah Chelsea.

"Kalau begitu, ambillah saja kau talinya dan aku ambil layangannya! Mana bisa hanya dengan tali layangan maka kau yang berhak mendapat layangannya. tali pula jika tak diikatkan pada layangan tak ada gunanya, yang berguna itu layangannya bodoh!", anak berbaju coklat mulai terlihat emosi dengan kata-kata kasar yang disebutkannya beberapa kali.

Aku pun sempat tercengang sebentar dengan pembicaraan mereka yang sudah begitu sengit bak debat capres dan keukeuh dengan argumen masing-masing. Aku pun bisa menebak jika mereka hanya berkisaran antara anak kelas 3 atau 4 SD dan sudah pandai sekali mendebat. Tapi, anak-anak ya anak-anak. Hanya karena pasal layangan sebiji pun sudah ricuh setengah mati, tak ada yang mau mengalah.

Tak ayal, mereka pun sudah mulai saling mendorong-dorong bahu satu sama lain dan layangan. Pertanda jika perdebatan mereka tidak lagi kondusif dan anak-anak lain pun mulai berkerubung untuk menonton pertengkaran mereka dan bersorak 'pukul, pukul' agar mereka berdua benar-benar beradu jotos.

Aku sebagai remaja yang turut menyaksikan pun merasa terpanggil jika pertengkaran itu harus segera di lerai saja sebelum keadaannya lebih parah.

Ku matikan keran airku, menggunakan jaket serta jilbab instanku, dan mengambil sendal untuk segera menuju TKP.

Tapi sebelum aku menuju kesana, terlihat seorang anak berbaju hijau tua yang mungkin seumuran dengan keduanya melerai dan berdiri di antara mereka. anak-anak lain pun mulai membubarkan diri dan menyisakan mereka bertiga. Aku pun menghentikan langkahku dan mendengarkan ucapan yang dikatakan oleh anak yang menjadi pelerai.

"Kalian kok tidak malu bertengkar karena layangan ini?"

"Ya karena aku duluan yang mendapatkan talinya jadi ini punyaku!"

"Tidaakk, aku yang dapat layangannya, aku yang punya!"

"Layangan seribu lima ratus yang terbuat dari kertas dan lidi ini saja bisa membuat kalian bertengkar, apalagi yang lain! Kalo salah satu dari kalian mendapakan layangan ini, pasti ujung-ujungnya robek. Jika tidak putus dan terbang oleh layangan lain. Jadi buat apa mau saling memukul aku tanya hah?"

Diam, kedua anak tersebut diam dan saling memandang dengan kesal satu sama lain.

"Kau kan anak gagah, jangan jadi banci karena memukulnya. Dia ini teman kita, temanku dan teman kau juga." ucap sang anak kepada anak berbaju coklat sambil memegang kedua bahunya.

"Dan kau anak ganteng, janganlah hendak menangis karena layangan ini. Kalau tidak gigi ompongmu akan terlihat dan wajahmu akan terlihat seperti sapi!"

Sontak mereka pun tertawa dan aku pun juga hampir terbahak dari kejauhan. Akhirnya mereka mereka berdua berjabat tangan dan memutuskan untuk merobek-robek layangan tersebut dan membiarkannya begitu saja.

Bukan anak berseragam Chelsea ataupun anak berbaju coklat yang mendapatkan layangannya, tapi tidak keduanya.

Mereka pun berlalu dan berlari mengejar layangan putus lainnya dan tertawa besama, menyisakan diriku yang masih berdiri dan tertegun sejenak sambil tersenyum.

Tak kusangka, aku sang pahlawan kesiangan ini tersalip oleh anak berbaju hijau itu dan nyatanya ia menyelesaikan masalahnya lebih baik dari yang ku kira. Anak itu sangat bijak dan mengayomi teman-temannya yang lain.

Masih sangat kecil, namun sudah mengerti jika perpecahan itu tidak baik. Dengan caranya sendiri, ia menyatukan kembali kedua orang temannya yang sudah kepalang bertengkar.

Anak sekecil dia pun mengerti, setiap masalah itu harus diselesaikan dengan kepala dingin dan berbanding terbalik dengan orang-orang dewasa yang seharusnya lebih memahami akan hal ini.

Sejak saat itulah, aku percaya jika damai itu indah dan bahagia tak butuh pemenuhan ego masing-masing melainkan menyandingkan ego satu sama lain dalam cinta dan kasih sayang.

Bahagia itu simpel, cukup aku dan kamu tak saling melukai.

.

.

.

.

*cucian piringku terlantar hehehe

*cucian piringku terlantar hehehe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Read This, You're Gonna Understand How Simple Is HAPPINESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang