Usai

13.9K 1.2K 108
                                    

Hari kedua setelah hilangnya Rasta. Belum ada titik terang. Belum ada kemajuan sama sekali. Berita ini tersebar juga ke telinga Shofi. Bersama suaminya, ia ikut berupaya. Mulai dari memasang iklan hingga menyewa orang, semua dilakukan. Tetapi malang, sampai lelah mereka berusaha, hasilnya masih nihil.

Di hari ketiga Laudya nekat memangkas Jakarta. Ia mencari ke pelosok gang, tempat penitipan bayi, bahkan ke panti asuhan. Tapi hasilnya masih serupa. Nol besar.

Adapun perihal pesan ancaman, sampai sekarang ia tetap bertahan. Ia memikirkan anak, maka tak mau gegabah. Sehingga pesan ancaman tersebut belum diketahui polisi.

Tetapi sial, Ayyash rupanya bertindak lebih jauh. Ia melaporkan hal itu ke polisi sehingga pencarian tidak hanya dituju pada Rasta, melainkan Andreas. Bahkan Amzar juga.

"Kamu terlalu gegabah! Gimana kalau penculik itu ngapa-ngapain Rasta?" racau Laudya putus asa. Ia kesal sekali kepada Ayyash. Tak tahukah ia kalau Laudya benar-benar kalang kabut, khawatir setengah mati anaknya akan jadi sasaran?

"Kalau nggak dilapor, polisi mana mau cari," imbau Livia. Setengah menyetujui Ayyash, setengah lagi kasihan. Lelaki itu seperti menyesali perbuatannya. Terutama karena Laudya terus mendamprat tanpa henti.

"Gara-gara aku tunjukin pesan itu ke kamu, Rasta hilang. Sekarang kalau si penculik tahu pesan itu ditunjukin ke polisi, apa kamu bisa jamin Rasta baik-baik saja?" Laudya menuding lagi. Kali ini lebih histeris, frustrasi, dan penuh kemarahan. "Kalau Rasta kenapa-kenapa, gue mau mati saja."

"Dya, sudah, dong. Lo kayak nggak kenal Tuhan saja." Livia meremas tangan sahabatnya. "Kita sudah berusaha semampunya, yang perlu kita lakuin adalah berdoa."

Laudya mengerang. Lama-lama ia kesal sebab Livia sama seperti Ayyash. Bisanya hanya bilang tenang, tenang, dan tenang. Mereka bukan seorang ibu, makanya mereka bisa menggampangkan hal seserius ini!

*
*
*

Masih tak berubah. Resah, sedih, dan kelimpungan. Itulah yang dirasakan Laudya. Tak terhitung berapa kali ia menangis, berapa hari tak tidur, berapa kali ketar-ketir memangkas Ibu Kota, berapa kali kecewa ketika telepon dari polisi tak menghasilkan apa-apa.

"Dya, kamu mau ke mana lagi?" tanya Ayyash khawatir.

"Cari anakku."

Teriris hati Ayyash mendengarnya. Laudya bilang anakku, bukan anak kita. Memang Ayyash bukan ayah kandungnya, tapi tak bisakah Laudya menganggapnya begitu? Bukankah mereka akan menikah? Kalau Laudya menerima lamarannya, tentu saja.

"Kita baru cari Rasta setengah jam yang lalu. Di luar juga sudah mendung."

"Kalau kamu capek, biar aku cari sendiri."

Ayyash menahan bahunya. "Jangan nyiksa diri, Dya. Nanti kamu sakit."

Laudya tak mau dicegah maka ia melepas sentuhan Ayyash lalu keluar. Langit di atas memang tampak gelap dan bergerombol. Tapi maaf, itu bukan hambatan bagi Laudya. Tuhan tengah menguji, maka Laudya harus menghadapi apa pun rintangannya.

Lagi pula bukankah Rasta adalah darah daging yang dinanti selama ini? Laudya sudah kehilangan anak sampai tiga kali. Ia bisa tabah karena benih-benih itu belum jadi daging. Beda dengan Rasta, yang sempat menginap di rahim dan dilahirkan dengan perjuangan besar. Maka jika Rasta hilang, Laudya harus menemukannya.

Petir menyahut ketika Laudya meninggalkan gerbang. Tapi belum genap langkahnya berjumlah sepuluh, angin tiba-tiba berkesiur kencang. Seketika payung di tangan Laudya terbang, diikuti tangisan awan yang membasahi sekujur tubuh.

Ya Allah, saya harus bagaimana? Sambil menangis, Laudya berbatin demikian. Ia merasa jengkel sebab Tuhan seperti anteng saja menyaksikan kesakitannya.

FilantropiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang