Senyap yang Hakiki

17.6K 1.4K 44
                                    

"Dya, kita sampai!" ujar Desta untuk sekian kali.

Karena yang diajak bicara masih diam saja——dengan mata lurus ke depan sedangkan pikiran melanglang buana——maka lelaki bertopi gaya terbalik itu pun mengganti cara. Yakni dengan sedikit kekerasan.

Ia menjawil pipi Laudya dengan keras. Membuat Laudya menjerit antara sakit dan kaget. Juga membuat Rasta terbangun tiba-tiba lalu menangis nyaring.

"Ngelamunin apa?" tanya Desta ketika Laudya menimang-nimang anaknya.

Laudya tak menjawab. Ia merasa bersalah kepada Rasta. Bayi ini ketiduran padahal tadi mengajaknya bercanda. Dan setelah terlelap, Laudya malah membangunkannya.

Laudya mendekap buah cintanya dengan keibuan, lalu menghantarkan senyum sayang, dilengkapi sulur kerinduan yang tak tertahankan.

"Kalau memang belum siap, sebaiknya kamu datang lain kali."

Laudya berhasil menenangkan Rasta. "Kalau bukan hari ini, kapan lagi?"

"Kalau gitu, kamu saja yang ke sana. Rasta biar aku yang jaga."

Laudya menggeleng. "Rasta harus tahu keberadaan ayahnya."

Desta mengendikkan bahu, Laudya keluar dari mobil. Menurutnya, kuburan adalah tempat yang paling menakutkan. Maka dari itu si blonde ini pun memilih duduk di tempatnya. Dan ketika Laudya mengetuk kaca——memberi isyarat ajakan——Desta lekas melambaikan tangan.

Akhirnya Laudya pergi bersama Rasta, juga penjaga kuburan. Tadi ia sempat tanya letak makam keluarga Adinegoro. Dan syukurlah pria berambut putih ini mau mengantar.

"Mama, kita mau ke mana?" Mungkin itu yang ditanyakan Rasta kalau bisa bicara. Tatapannya yang polos terasa menyelisik wajah sang ibu dengan tanda tanya.

"Bu, saya sampai sini saja." Pria beruban itu berujar. Ketika Laudya memberi mimik heran, pria ini bergidik. Saya nggak mau ketiban sial gara-gara ngedatengin jenazah-jenazah yang mati bunuh diri. Mungkin itu maksud ketakutan si pria beruban.

Laudya tak mau memaksa dan melanjutkan rute setelah memberi selembar kertas yang digilai manusia. Dalam otak ia mengingat-ingat nama blok tempat mereka dikubur. Tidak akan susah untuk menemukan sebab semua makam ini berjejer per blok.

Akan tetapi, Laudya malah berhenti ketika matanya menangkap sosok itu. Sontak tengkuknya mendadak dingin, jantung meletup dahsyat, dan kakinya nyaris copot. Oh! Ha ... han ... hantukah itu? Di ... di ... dia ...

"Andreas!" Laudya refleks memanggil. Suaranya serak. Antara kaget dan takut. Bagaimanapun, ia tak percaya pada hantu. Lagi pula masa hantu memakai kursi roda, berpakaian rumah sakit, dan sempat menoleh?

"Andreas!" Sekarang Laudya memantapkan suara sambil mendekat.

Tapi bukannya menoleh untuk kedua kali, makhluk di kursi roda itu malah bergegas. Ia memainkan tangan dengan tangkas sehingga kursi rodanya menggelinding cepat. Kebetulan jalan yang dipakainya mulus——berupa lahan kosong sebab bagian tersebut belum ditanami mayat——sehingga ia melesat dengan mudah.

Laudya kesulitan mengejar. Selain posisinya sedang menggendong, kursi roda itu tak berhenti padahal Laudya sudah berteriak seperti orang gila. Ya, ia memang merasa gila! Benarkah itu Andreas? Ia masih hidup?

Rasta menangis sehingga Laudya berhenti lari. Mungkin Laudya berhalusinasi. Yang tadi bukanlah Andreas. Bukan! Sebab kalau itu memang Andreas, kenapa kabur? Dan kenapa jejaknya hilang secepat itu?

Tangis Rasta berhenti dan berganti Laudya yang cengeng. Bening kesedihannya menggantung di bulu mata lalu berseluncur ramai-ramai ke pipi. Rasta seperti mengerti keadaan ibunya. Ia hendak menangis lagi. Kornea hitam beningnya memandang sendu pada sang ibu, sedang mulutnya mulai menekuk-nekuk.

FilantropiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang