Jaga Mama, ya

20.4K 2.4K 292
                                    

"Untuk sekian kalinya, aku minta maaf, Dya," ujar Andreas setelah percakapannya dengan Amzar berakhir. Tadi setelah semua terdengar jelas, Andreas langsung pamit dari tempat kakaknya. Begitu sampai mobil dan menjalankan roda empat tersebut, ia langsung menelpon wanita yang dicintainya. "Akan aku usahakan masalah ini sampai Dion dapat keadilan."

Mendengar jawaban Laudya di seberang sana membuatnya sakit hati. Suara wanita itu kedengaran bergetar. Napasnya tersengal-sengal. Tangisnya pun pecah.

"Menangislah, Dya. Jangan ditahan!"

Dada Andreas terasa ditusuk-tusuk. Laudya tersedu, lirihannya begitu pilu, dan isakannya mengiris-iris perasaan Andreas.

"Dia benar. Menangislah!"

Sial! rutuk Andreas seketika. Jadi sejak tadi si Gay Busuk jadi pendengar juga?

Oh, sialan! Andreas merasa panas. Biar ia tebak, sekarang bahu makhluk itu pasti tengah disandari Laudya. Tangannya yang kekar akan membelai-belai dan matanya yang sipit akan menikmati semua panorama Laudya yang menangis.

Entah hanya insting atau naluri sesama lelaki, Andreas merasa si Gay Busuk itu berubah. Tatapannya pada Laudya jadi sedikit nakal. Waktu menggendong Laudya di insiden pemukulan itu, terpancar sekali tatapannya yang penuh kasih. Huh, jangan bilang si Gay Busuk sudah berubah.

"Ndre?"

Andreas terperanjat. "Ya?"

"Makasih."

"Sama-sama," jawab Andreas. "Tapi kita belum selesai. Langkah selanjutnya adalah mendapat rekaman pengakuan Ibu," sambungnya sambil membelokkan kemudi ke kiri. "Kalau Ibu mengiakan pernyataan Amzar, maka semua bukti telah lengkap. Lembaga keadilan akan bertindak dan menentukan siapa yang salah. Amzar atau Ibu?"

"Sekarang kamu di mana, Ndre?"

"Di jalan menuju rumah Ayah. Aku pikir, lebih cepat aku gerak, maka akan lebih baik," jawab Andreas. "Sekarang biarin ini jadi bagianku."

Tapi sayang rencananya tak berjalan mulus. Yang didapati di rumah orang tuanya bukanlah akuan, melainkan tamparan. Sebuah pukulan keras dari telapak tangan ayahnya.

"Bagus sekali kamu baru datang sekarang."

Andreas merasa ngeri melihat muka ayahnya. Kerutan yang menggores wajah Prasetyo tampak menyeramkan. Ditambah mata yang memelotot, wah!

"Andre minta maaf, Yah." Andreas membungkuk.

"Nah, masih berani ngejar si Murahan itu?"

Sekali lagi Andreas mohon ampun lalu membungkuk hormat.

"Bagaimanapun tanggapan Ayah, Andre akan tetap pada pendirian."

Prasetyo siap menampar lagi tapi dadanya sudah minta istirahat. Asma. Akhir-akhir ini kesehatannya memang menurun. Ada masalah serius di kantor. Konflik internal di beberapa unit. Prasetyo sebagai direktur yang kena imbas. Dua kubu saling menjatuhkan, bahkan belakangan ketahuan ada dana yang digelapkan oknum-oknum.

"Lagi pula," sambung Andreas ketika ayahnya duduk. "Sekarang sudah ada anak di antara kami."

Sontak kepala Prasetyo langsung menoleh, membuat Andreas cepat-cepat menambahkan.

"Sebelum dicerai, Laudya sudah hamil. Tiga bulan lalu anaknya lahir. Kelaminnya laki-laki. Dan dia ... dia cucu Ayah."

"Dia perempuan kotor! Dari mana kamu tahu itu anak kamu?"

"Tengok wajahnya, Yah." Andreas membuka dompetnya lebar-lebar. Dulu ia sempat memfoto Rasta diam-diam lalu mencetaknya.

Lama Prasetyo memandangi foto di hadapannya. Ini bukan cucuku! pekiknya dalam hati. Ini Andreas kecil.

FilantropiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang