Prolog

55 9 0
                                    

Gadis itu menatap pantulan dirinya di cermin yang menampilkan siluet wajah anggun dengan polesan make up tipis serta tubuh berbalut dress putih dengan renda sederhana di bagian dada hingga pinggang. Penampilannya benar-benar sempurna untuk ukuran wanita yang mengalami tekanan dengan mata bengkak dan lingkaran mata hitam yang mengerikan beberapa saat lalu. Rupanya ia perlu mengingatkan diri untuk memberi pujian pada make up artis yang disewa oleh sahabatnya.

Sebuah senyum tipis yang menghiasi bibir mungilnya yang terpoles lipstik merah muda menambah kesan manis yang menampilkan raut wajah berseri, hal itu cukup untuk sekedar menunjukkan bahwa dia adalah wanita paling bahagia di dunia ini.

"Hei, kok lama? Kata mbak Riska tadi elo minta waktu sendiri, gua udah mikir macem-macem kalau elo berusaha kabur," sosok sahabat yang baru terlintas di benaknya tiba-tiba datang dengan napas terengah. "Elo nggak beneran niat kabur kan, Nay? Kalaupun ia jangan sampai elo merealisasikan niat jelek itu dan bikin muka gua ancur di depan keluarga Adrian." wanita itu langsung nyerocos panjang lebar bahkan tanpa perlu menyembunyikan nada cemas di balik suaranya.

Gadis dengan dress putih itu tersenyum tipis menanggapi perkataan sahabatnya, ia tahu bahwa wanita yang berdiri di hadapannya itu lebih dari sekedar khawatir, dan ia memang tak pernah berniat mundur meski jelas separuh hatinya menolak hal itu, dirinya tak sampai hati jika harus membuat sahabatnya menanggung malu karena dirinya. Ia sendiri yang mengambil keputusan maka ia yang akan menanggung segala resikonya, masalah hati biarlah ia yang menyimpannya sendiri.

"Kamu berlebihan, deh! memangnya aku kayak orang yang mau kabur?"

Mata gadis dengan gaun biru laut itu menyorot tajam seakan ingin membunuh lawan bicaranya. "Jangan kira setelah kejadian beberapa hari yang lalu gue nggak tau kalau elo gamang dengan langkah ini, keadaan elo sebelum ini sudah cukup mejelaskan semuanya, dan gue nggak mau elo bertindak semaunya!"

Gadis itu meringis dalam hati mendengar penuturan sahabatnya, sorot mata tegas yang coba ia tampilkan beberapa saat lalu hilang entah kemana.

Ia tak pernah tahu mengapa perasaan bimbang itu harus hadir di saat-saat terakhir, sejak kemaren bahkan berminggu-minggu sebelumnya ia bahkan sudah telalu yakin bahwa keputusannya sudah benar-benar bulat. Namun, kejadian beberapa hari yang lalu sudah lebih dari cukup untuk mempengaruhi dirinya sendiri dan menggoyahkan keyakinannya.

Gadis dengan gaun biru itu maju dan memegang kedua sisi bahunya. "Kalau bukan karena Adrian, setidaknya lakukan semua ini buat diri elo sendiri, selama ini elo sudah cukup menderita, dan detik ini yakinkan bahwa sekarang adalah saat untuk elo bahagia."

Gadis dengan sorot mata tegas itu meremas bahunya pelan sebelum akhirnya melepaskannya begitu saja dan berganti mengenggam tangannya lembut. "Ayo kita hadapi bersama, gue akan selalu ada di titik terendah seorang Naya, dan kali ini gue yakin bahwa ini adalah keputusan yang benar."

Sebelum gadis dengan dress putih itu menjawab, sosok yang baru datang menemuinya beberapa menit yang lalu sudah menarik tangannya keluar, bahkan otaknya masih terasa tumpul ketika tahu-tahu ia sudah berdiri di tengah kerumunan dengan pria yang namanya disebut beberapa saat lalu.

Untuk terakhir kalinya, gadis itu menghambuskan nafas pelan berusaha meyakinkan diri, dan begitu mendongak sorot mata sayunya telat berganti raut wajah tegas dan lembut dalam waktu bersamaan.

Ini adalah saatnya.


Bagaimana prolog-nya? Bagus, nggak??

Jangan lupa voment-nya guys!

THE ONLY ONE (After All the Time)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang