2. You are...

37 6 1
                                    

 "Kamu nggak ada niatan balik ke Jakarta?"

Entah sudah berapa kali Naya memikirkan pertanyaan Adrian siang tadi, hingga detik ini ia bahkan belum mendapatkan satu kata pun yang bisa dijadikan sebagai jawaban andai pria itu kembali melontarkan pertanyaan yang sama.

Kapan?

Meski hanya sekali, bahkan kata itu tidak pernah terlintas di benaknya selama kurun waktu bertahun-tahun kebersamaan mereka.

Kalau boleh jujur, ia hanya terlalu kaget dengan pertanyaannya yang tiba-tiba. Setengah hatinya tak percaya bahwa pria itu bisa mempertanyakan hal itu dengan sebuah canda. Adrian hampir tak pernah mengungkit masa lalunya, tidak pernah! Dan ketika pria itu membawa hal itu di tengah percakapan mereka, apakah itu artinya bahwa pria itu sudah terlalu lelah menunggunya?

Ia tahu bahwa cepat atau lambat dirinya harus membuat keputusan, sangat naif jika ia harus membuat Adrian menunggu lebih lama lagi. Lima tahun. Bukankah itu sudah lebih dari cukup untuk meyakinkan langkahnya sendiri?

Selama ini Andini dan tante Dewi -mama Andini- memang tidak pernah membahas kejadian itu, bahkan mereka dengan suka rela ikut menemani dirinya meski Andini juga harus bolak-balik Jakarta-Malang untuk mengurus pekerjaannya.

Selama ini ia sudah merasa sangat nyaman dengan kehidupannya sendiri, Andini dan tante Dewi yang selalu mendukung segala keputusannya, juga Adrian yang tak pernah lepas dari dirinya. Ia merasa hidupnya sudah cukup sempurna, hingga ia melupakan satu hal, bahwa ada seseorang yang sudah ia biarkan menggantung tanpa kepastian.

Sadar atau tidak, dirinya tahu bahwa yang ia lakukan selama ini hanya menghindar, entah sampai kapan ia akan hidup dalam ketakutannya sendiri. Ia terlalu sibuk untuk berlari dan mencari kenyamanan sampai melupakan fakta bahwa ia juga harus memikirkan perasaan orang lain.

Adrian.

Pria itu tak hanya sekedar baik dan tampan, ia mungkin memenuhi kriteria sebagai lelaki idaman untuk dijadikan pendamping hidup di masa depan, tapi apa yang masih mengganggu dirinya untuk sekedar membuat keputusan?

"Mbak Nay," Naya berjengit kaget ketika seseorang menepuk lengannya. "maaf, Mbak. Saya ngagetin."

Naya tersenyum pada Rahmi yang tampak gugup. Dia anak baru yang ia pekerjakan seminggu yang lalu, anak perantaun dari pulau garam yang mencari peruntungan dengan bekerja di kota ini.

"Pak Adrian nyariin, katanya Mbak Naya nggak ada di ruang kerja, tadi juga udah nyariin ke dapur utama."

"Dilla mana?"

"Barusan masih nganter order-an."

Naya mengangguk dan hendak berbalik untuk menemui Adrian ketika matanya menangkap keberadaan sosok yang hendak ia temui sudah berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam kantong celana bahannya.

"Aku cariin kirain keluar."

Naya tersenyum dengan raut wajah minta maaf dan segera mengahampiri prianya. Sebelum itu ia menoleh kepada Rahmi dan memintanya untuk pergi melalui isyarat mata.

"Kok pulangnya cepat?" Naya melirik arloji biru di pergelangan tangannya dan mengernyit melihat waktu yang bahkan masih kurang sekitar setengah jam dari yang semestinya.

"Om Rendra nggak ada, kesempatan kabur." Adrian nyengir dengan menampilkan deretan giginya yang rapi tanpa ada raut penyesalan sama sekali.

"Kebiasaan suka pulang seenaknya." Naya mencubit pinggang pria itu pelan dan membuatnya langsung mengaduh.

THE ONLY ONE (After All the Time)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang