Gadis dengan rambut kuncir asal yang menyebabkan beberapa helainya tampak mencuat itu tengah sibuk dengan sebuah kue besar di hadapannya sampai tidak menyadari kehadiran seseorang yang tengah memasuki ruangan.
"Dilla, kue yang untuk Mas Rian udah dibungkus belum, yah? Bentar lagi waktu makan siang ini."
Seseorang yang namanya dipanggil oleh gadis itu tampak mengangguk, bukan menanggapi panggilan atasannya yang masih tampak fokus dengan hiasan kue besar untuk pesanan, melainkan menanggapi perkataan pria yang masuk beberapa saat lalu dan membisikinya dengan pelan.
"Dil!!" tak mendengar jawaban, gadis itu kembali berseru untuk kedua kalinya dengan suara yang lebih keras. "nanti dia akan__" kalimat gadis itu terhenti ketika merasakan seseorang memeluk dirinya dari belakang, pergerakan tangannya juga ikut berhenti seiring tubuhnya yang ikut menegang untuk beberapa saat, apalagi ketika ia mengenali aroma parfum yang tampak familiar di indra penciumannya.
"Miss me? hmm?"
"Mas Rian!" pria itu terkekeh mendengar pekikan bernada sebal dari gadisnya. "Kok ke sini? nggak kerja?"
Pria itu melepas pelukannya dan beralih duduk di kursi di dekat gadis yang mulai kembali sibuk dengan hiasan kuenya yang baru setengah jadi. "Kamu kelamaan, makanya aku langsung jemput ke sini."
Naya melirik ke arah jam dinding yang tergantung di tembok tengah ruangan dan kembali mengalihkan tatapannya pada pria yang tampak mengaduk krim kue yang ada di hadapannya membentuk pola bundar. "Jangan alesan! Ini bahkan belum masuk jam makan siang."
Pria itu mengedikkan bahunya pelan dengan tatapan masih fokus pada krim kue yang jadi objek mainannya. "Mau bagaimana lagi, aku kangen, kamu sibuk banget akhir-akhir ini."
Naya mencibir dengan tangan kembali sibuk dengan kuenya, "Aku atau kamu, sih?"
Pria itu kembali terkekeh, "Iya deh, aku yang salah, habis mau bagaimana lagi, Papa sibuk ngerecokin aku mulu gara-gara lama nggak pulang, apalagi bentar lagi ulang tahun perusahaan, dikit-dikit aku harus bantu persiapan, lah."
Untuk sesaat Naya terdiam, ada setitik rasa bersalah yang singgah di hatinya mendengar penuturan pria itu, secara tidak langsung dirinya yang menjadi alasan Adrian harus terpisah dari keluarganya dan memilih menetap di kota dingin ini.
Meski pria itu tidak pernah mengatakan secara gamblang mengenai alasannya, tapi ia yakin bahwa sedikit banyak dialah yang menjadi faktor utamanya.
"Maaf."
Adrian mendongak mendengar nada lirih dari gadisnya.
"Hei, ini bukan salah kamu, semua ini keputusan aku."
Tak mendengar jawaban, pria itu menghela napas pelan, topik ini selalu menjadi hal sensitif jika dibahas bersama Naya, ia kembali pura-pura sibuk mengaduk krim kue Naya hanya sebagai pengalihan agar gadis itu tak melihat raut wajahnya, kalau boleh jujur ia merasa sedikit kecewa.
"Lagian kamu nggak ada niatan balik ke Jakarta, gitu?" bukan semakin memperbaiki keadaan, pertanyaan Adrian setelahnya malah semakin memperkeruh suasana, membuat tubuh Naya membeku untuk waktu yang cukup lama.
Keterdiaman Naya seakan menjadi beban tersendiri buat Adrian, selalu begitu, tak pernah ada kejelasan untuk mereka. Kalau boleh berkata, ini bukan tentang mereka, tapi lebih kepada Naya.
Gadis itu tampak terlalu takut menghadapi kenyataan. Namun, meski begitu Adrian tak ada hak untuk memaksa yang pada akhirnya akan membuat gadis itu kembali tertekan.
"Sudah, nggak usah dibahas," tandasnya cepat sebelum Naya semakin merasa tidak nyaman dengan topik pembahasan ini. Ia mencoba menekan rasa kecewa yang bercokol hatinya, tangannya tanpa sadar semakin bergerak cepat untuk meluapkan kekesalannya sendiri, ia tau mungkin terlalu memaksa, tapi sampai kapan? gadis ini tidak akan bisa terlepas sebelum ia sendiri yang berjuang untuk melawan ketakutannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE ONLY ONE (After All the Time)
Chick-LitSekuel "Cinta Dipersinggungan Takdir" kalau nggak suka cerita mellow yang suka bikin baper dan nangis-nangis, cukup menjauh saja, Author tidak bisa bertanggung jawab yang dapat menimbulkan pembaca jadi galau. Blur bisa di lihat di bagian part cerita.