11-awal bahagia

224 32 4
                                    

"Ayah teman kalian, Tae, meninggal dunia tadi malam."

Semua murid di kelas saling memandang satu sama lain, begitu juga Kit dan Wayo, ketika guru baru saja memberikan kabar duka. Bibir Tee bergetar mendengar itu. Dia ingat, kemarin, ibunya berkata bahwa Tae pulang karena ibunya menelepon. Tee berpikir, mungkin karena inilah, Tae pulang terburu-buru.

"Kita harus bagaimana, Tee. Kita bahkan tidak tahu di mana rumahnya?" tanya Wayo. Tee menggelengkan kepalanya.

"Kita tunggu saja besok. Kalau dia tidak sekolah, kita harus cari tahu di mana alamat rumahnya," timpal Kit.

Tee terdiam menatap ke luar kelas. Dia membayangkan keadaan Tae. Dia pasti sangat sedih sekarang. Dia pasti butuh teman, begitu pikirnya.

Keesokan harinya, Tae terlihat masuk sekolah, wajahnya tidak menampakkan raut sedih sedikit pun. Dia bahkan tersenyum ketika Tee baru saja masuk ke dalam kelas. Tee tidak membalas senyum itu. Dia tidak tahu harus mengatakan apa sekarang. Kemudian tibalah dua orang teman yang duduk di bangku depan.

"Tae. Kamu masuk?" Wayo bertanya. Dan Tae mengangguk sambil tersenyum. "aku... turut berduka cita, ya,"

"Kamu yang sabar, ya, Tae," timpal Kit. Tae hanya menaikkan dagunya sedikit dan tersenyum.

"Kenapa kamu tidak mengatakan sesuatu?" Tae menatap Tee.

"Aku?" tanya Tee. Padahal dia tahu, Tae memang bertanya padanya.

"Uhm... kamu!"

"Untuk apa?"

"Entahlah. Wayo dan Kit baru saja mengatakan turut berduka padaku."

"Apa itu belum cukup untukmu?"

"Aku ingin mendengarnya darimu."

Tee mengeluarkan napas panjang. "Berhenti bersikap bodoh. Aku tahu kau sedang sedih."

"Tidak. Aku tidak sedang sedih. Kesedihanku hilang setelah melihatmu."

Tee memukul kepala Tae menggunakan ranselnya.

"Meh... kalian." Wayo membalik badannya ke belakang. Dia mendengar semuanya. Tae tersenyum.

Pulang sekolah, seperti biasa, Tee mampir ke toko paman Kim. Toko yang kini sudah di pegang oleh anaknya. Ming.

"Mau kuantar, Tee?" tanya Ming, di depan kasir. Tee baru saja selesai membayar.

"Tidak perlu, P',"  jawab Tee. "Tapi ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu," lanjutnya.

"Tentang apa?"

"Tentang Tae. P' mengenalnya, bukan? Tapi Tae bilang dia tidak mengenalmu. Mana yang benar?"

Ming tertawa kecil. "Dulu, kita bahkan sangat dekat."

"Apa ada masalah?"

"Tentu saja, hanya masalah yang konyol. Masalah wanita."

"Wanita? Apa maksudnya?" tanya Tee penasaran.

"Kamu yakin mau mendengarnya. Kukira, ini bukan hal penting."

"Tidak masalah, P'. Aku penasaran."

"Setahun yang lalu, Tae pernah menyukai kakak kelasnya di sekolah. Wanita itu satu kelas denganku. Dalam waktu singkat, mereka menjadi sangat dekat. Aku tidak tahu kalau saat itu Tae menyukainya."

"Apa kamu merebutnya?"

Ming tertawa kecil kemudian melanjutkan. "Aku menyatakan perasaanku. Aku sudah lama menyukainya. Dan Emma menerimaku."

Tee mengerutkan alisnya. "Jadi P' berpacaran dengannya?"

"Iya." Ming tertawa malu. "Emma memberitahu Tae, bahwa kita berpacaran. Tae langsung marah. Dia merasa bahwa selama ini Emma sudah mempermainkan perasaannya. Akhirnya Emma sadar, selama ini Tae mendekatinya karena menyukainya. Emma tidak tahu perasaan Tae. Emma berkata padaku, bahwa dia hanya menganggap Tae sebagai adiknya."

Gurat TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang