Bab 5

2.2K 369 28
                                    

"Kenapa harus berbohong?"

Ahra bergeming, mendengar pertanyaan Yunho. Ia baru saja menengok pria itu setelah semuanya terjadi, sebelumnya ia tidak sempat datang karena tugas juga pekerjaanya sebagai model tidak bisa ia abaikan. Sekarang, melihat pria yang ia taksir berwajah lebam, hatinya ikut sakit tidak rela apalagi penyebabnya adalah orang ia benci.

"Ahra-yah?" panggil Yunho karena tidak mendengar jawaban dari wanita itu.

"Yah? Ah, Maaf. Aku melamun, sedih melihat wajah  tampanmu jadi terluka terlebih karena dia."

Yunho menyentuh wajahnya. "Tidak masalah, ini akan cepat sembuh juga. Sekarang aku hanya ingin tahu kenapa kau berbohong tentang siapa Kim Jaejoong itu?"

Dada Ahra berdebar lebih cepat seketika tapi, ia sama sekali tidak melepaskan tatapannya pada Yunho seolah tengah meyakinkan diri. "Aku tidak bermaksud berbohong atau menyembunyikanya h-hanya ..."

"Hanya apa?" 

"Hubungan kami sangat buruk. Aku tidak mau kau mengenalnya, bagiku dia bukan siapa-siapa."

Yunho memijat batang lehernya sendiri, sedikit tidak mengerti begitu burukkah hubungan mereka sampai Ahra bahkan, bisa berbohong juga menampilkan wajah begitu sedih dan sengsara. Yunho mengusap rambut Ahra lembut. "Sudahlah, lupakan saja. Sebelumnya aku hanya penasaran saja tidak ada maksud lain. Jangan bersedih."

"Sungguh," sahut Ahra meyakinkan, menarik tangan Yunho yang berada di atas kepalanya menggenggamnya erat. 

"Tentu saja."

"Terimakasih, maafkan aku sekali lagi ..." Potongnya lalu memasang raut wajah sedih, tangannya terulur menyentuh wajah Yunho yang lebam. "Kau terluka dan juga harus terkena skor kuliah."

"Ahra-yah, itu bukan masalah besar." Yunho menangkup wajah Ahra. 

"Aku benci sekali dengannya," ucap Ahra tiba-tiba, melepaskan tangan Yunho dari wajahnya lalu berdiri. Berjalan ke sudut ruangan di mana ada meja. Ia meracik secangkir teh yang sebelumnya sudah dipersiapkan pelayan di rumah Yunho. 

Yunho memandang punggung Ahra lekat penuh perhatian, dia tidak pernah melihat sisi Ahra yang seperti ini. Kebencian yang membuatnya tampak begitu depresi. Ahra yang ia kenal selama delapan tahun ini adalah gadis yang manja, arogan tapi juga manis. Beberapa orang mungkin melihatnya dia benar-benar sombong dan angkuh tetapi, dibalik sifat jeleknya itu Ahra hanyalah gadis yang kurang kasih sayang dan perhatian. Dia tidak akan membuat masalah jika tidak ada yang memulainya.

"Minumlah." Ahra memberikan cangkir teh untuk Yunho dan kembali duduk  di sisi ranjang tempatnya tadi. "Kau mau mendengar ceritaku tentang Jaejoong, saudaraku yang lain itu."

"Aku tidak akan merasa keberatan jika kau mau bercerita," jawab Yunho yang mulai menyesap tehnya.

"Jaejoong, Kim Jaejoong dia putra Abojie dari wanita lain ... dia sangat membenci kami," Ahra tersenyum masam, mendengkus kesal saat mengingat hal tentang Jaejoong. Seteguk teh diminumnya membuatnya kembali bicara. "Mungkin dia berpikir jika kamilah yang merusak hubungan keluarganya. Padahal harusnya ia sadar Abojie bahkan lebih menyayanginya, memperhatikanya dibanding aku dan Junsu."


**

Tak.

Terdengar bunyi ketukan nampan yang sengaja dihempas cukup keras. Menghela napas keras, menggeleng tidak habis pikir. "Bangun!" Usiknya sambil menarik selimut, menggangu tidur Jaejoong yang masih bergumul dalam mimpi. "Kim Jaejoong!"

"A-aah, Samchon." erang Jaejoong kesal, matanya enggan sekali terbuka. 

"Bangun, mau sampai kapan kau tidur."

Jaejoong bangkit, merentangkan kedua tangannya sambil menguap lebat. "Aku masih mau tidur!" 

"Yah, Kim Jaejoong!" 

"Baik, baik!" sahut Jaejoong tidak kalah keras, menyerah daripada ia harus mendengar omelan panjang paling cerewet dari pamannya, Kim Heechul  yang terkenal ganas seperti buasnya seekor macan tutul. 

"Kenapa diam saja. Cepat buka matamu, waktunya minum obat."

"Aku masih mengantuk, Samchon." 

"Jaejoong-ah, sejak kemarin kau hanya tidur dan tidak melakukan apapun," dengus Heechul, yang akhirnya mengambil tugas Jaejoong. "buka mulutmu! Ini sudah lewat dari siang masih saja tidur. Telan!"

Jaejoong membuka mulutnya tanpa ragu, merasakan obat yang menempel dipermukaan lidah, merasakan pinggiran gelas perlahan air memenuhi mulutnya dan dalam sekali tegukan pil obatnya tertelan masuk ke tenggorokan. "Terimakasih, a-aku mau tidur lagi."

"Yah, bangun!"

**

Sekarang Jaejoong di sini, diruang makan terduduk rapi sambil menangkup dagu dengan kedua tangannya menunggu Heechul menghangatkan makanan. Sudah dua hari sejak Heechul kembali dari seminarnya dan mendapati Jaejoong berwajah babak belur  membuatnya menarik napas panjang, tidak bisa mengerti keponakannya terus saja membuatnya khawatir.

Sudah seperti itu Heechul pun tidak tahan untuk tidak membawa Jaejoong ke apartmentnya untuk bisa merawatnya. Beralasan demikian akhirnya Heechul pun mendapatkan izin dari Hyunjoong sebagai ayahnya. Itu pun Heechul masih harus memastikan jika, Jaejoong akan kembali dengan keadaan lebih baik. Mendengar syarat itu cukup mudah dilakukan tentu saja dengan syarat Jaejoong bersikap baik.

Sampai saat ini hanya Jaejoong keponakannya yang begitu dekat dan lengket dengannya meski, ia juga tidak serta merta membenci kedua anak lain dari Hyunjoong tetapi, mereka memang tidak pernah dekat. Masa lalu mereka membuat jarak antara Paman dan keponakan itu jauh, apalagi ditambah sikap Hyung-nya yang jauh dari kata baik.

"Samchon, aku sudah lapar."

"Tunggulah sebentar," sahut Heechul tanpa berbalik. Tidak lama kemudian makanannya siap. "Ayo, makan!"

"Baik, terimakasih." Jaejoong bersikap manis, tersenyum lebar. Matanya bersinar melihat makanan kesukaanya tersaji sedap dipandang. "Samchon memang yang terbaik. Ah, aku sangat lapar, akan kuhabiskan semuanya."

"Habiskan saja," sahut Heechul terkekeh, mengusap rambut Jaejoong sayang. "Apa Hyung-ku itu juga tidak memberimu makan,hah? sampai kau kelaparan begini."

"Tentu saja Appa memberiku makan, memberiku uang juga banyak. Malah terasa sangat banyak sampai aku bingung bagaimana menghabiskannya."

"Ck, Appa-mu itu dari dulu seperti itu. Dia cuma bisa memberimu uang tapi, tidak bisa mengurusmu. Baru saja kau pindah ke sini dan lihat, kau sudah membuat masalah dan kenapa harus berkelahi? Wajah tampanmu harus terluka... ish, aku geram sekali."

"Jangan berlebihan." Jaejoong memutar bola matanya bosan. "Ini hanya luka kecil, bukankah dulu aku pernah mendapat luka lebih parah."

Heechul berwajah gemas, tangannya bergerak menjitak kepala Jaejoong. "Kau bangga dengan hal seperti, hah?"

Jaejoong mengusap kepalanya yang terkena jitak, membungkam bibirnya rapat-rapat menahan sakit. "Jangan menjitak, otakku akan semakin sakit nanti."

"Kalau begitu sampai kapan kau mau begitu? Berhentilah berbuat onar. Jangan membuatku sama gilanya denganmu."

"Aku tidak membawamu ikut sama gilanya denganku, kalianlah yang sudah membuatku gila," balas Jaejoong sambil menyuap sesendok penuh, memenuhi mulutnya. "A-aku j-juga benci,s-sudah bosan."

"Yah, jangan bicara saat makan. berhenti bicara makan saja." Heechul bangkit dari kursinya meninggalkan Jaejoong makan sendiri. Ia berjalan menuju ke kamarnya, di sana menghela napas kasar. Membaringkan tubuhnya di ranjang dengan pikiran yang berkelana. Teringat bagaimana keadaan Jaejoong selama ini. 

Heechul mengambil sebuah pigura, di nakas meja. Menatapnya lekat di sana terdapat gambar dua orang pria dewasa, Hyunjoong dan Heechul sendiri lalu, seorang wanita yang tengah menggendong anak balita. Tawa dan senyum di sana tampak penuh kebahagian. "Jika bukan karena kau Hyung. Mereka tidak akan menderita seperti ini... terlebih kau sangat kejam pada Jaejoong, Hyung."





To be continue.

'14072021'











Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 14, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BLACK SEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang