Untitled Part 1

555 19 25
                                    

Hari sudah jauh malam ketika aku sampai di tempat kostku. Kira-kira pukul dua belas, mungkin lebih, aku tak pakai jam untuk memastikan. Bangunan kos-kosan ini bertingkat tiga, dan aku menempati kamar di lantai dua. Setengah berlari dan terburu-buru aku menaiki anak tangga menuju ke kamar.

Tiba di puncak tangga, tepat di depan sebuah kamar nomor 27 langkahku terhenti oleh suara tangis.
Lagi-lagi suara tangis itu.

Sudah beberapa kali kudengar, tiap kali pulang larut, suara perempuan terisak dari balik pintu kamar ini.
Tangis yang pilu dan tertahan, kadang aku sampai merinding mendengarnya.
Bukan, bukan merinding karena takut, tapi merinding karena tangis itu seolah menyampaikan banyak rasa sakit padaku.

"Yang nunggu kamar nomer 27 siapa sih bro?"
Pernah aku bertanya begitu pada seorang teman yang menempati kamar persis bersebelahan denganku.

"Au dah, katanya sih cewe. Tapi gua gak kenal."

Percakapan itu berputar dan tanpa sadar aku masih terdiam di depan pintu kamar no 27. Rasa penasaran menggelitik, ingin rasanya ku ketuk pintu kamar itu. Tapi rasanya sudah terlalu malam untuk mengganggu orang yang tak saling kenal, terlebih itu adalah kamar perempuan. Jadi ku urungkan niat dan hendak bergegas pergi menuju kamarku. 

Tapi, tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dan sesosok perempuan mungil yang hendak keluar terlihat kaget, mungkin karena takut, tengah malam buta ada orang asing di depan pintu kamarnya.
Rasa kikuk tak tau harus bagaimana menyergapku, rasanya lidah kelu dan kaki beku. Sekaligus malu, tertangkap basah mengamati kamar seorang perempuan di tengah malam buta.
Bisa saja perempuan ini salah paham, kan? 

"Eh, baru pulang?" sapanya ramah sambil tersenyum. Lho, dia tau aku ya? 

"Iya nih, maaf ya saya gak maksud untuk..." 

"Untuk nguping saya nangis?" dia memotong dengan cepat, dan tepat. Tepat sekali. Malu rasanya, mungkin dia berpikir aku adalah tipikal pria yang suka mengurusi urusan orang lain. 

"Maaf ya, saya gak sengaja. Tadi..." 

Perempuan itu tertawa kecil, dan berkata "iya ga apa-apa, saya cuma bercanda kok. Lagian juga wajar, kamu bukan orang pertama yang diam keheranan di depan kamar saya jam segini karena saya nangisnya mungkin kedengaran dari luar." 

Aku diam, tak tau harus berkata apa. 

"Mau masuk?" tawarnya sambil bergeser dari tempatnya berdiri, memberikan celah untuk masuk ke kamarnya.
Aku ragu, tapi kaki ini malah melangkah pelan menuju kamar yang kini pintunya sudah dibuka lebar. 

Wangi hio menyergap hidung, lho, pemilik kamar sama sekali tidak terlihat seperti keturunan Chinese?

"Mau minum apa?" tanyanya ketika kami sama-sama sudah berada di dalam kamar, sementara pintu dibiarkan terbuka lebar, mungkin menghindari fitnah kalau-kalau ada yang melihat kami-dua orang lajang tanpa ikatan berada dalam satu ruangan di tengah malam. 

"Ah ga usah, ga perlu repot. Saya bentar lagi mau langsung ke kamar, saya juga heran kenapa saya mau aja mampir dan gangguin waktu istirahat kamu.." kataku sambil tertawa sedikit. Sedikit sumbang. 

"Rasa penasaran kamu yang bawa kamu masuk kesini.." katanya sambil menghilang ke arah kamar tidur.
Kost-kostan kami ini sedikit luas dengan sekat-sekat yang membatasi ruang tamu, kamar tidur dan dapur sekaligus kamar mandi. 

"Mungkin iya, mungkin juga enggak." jawabku sambil mengempaskan diri di atas sofa sambil mengamati sekeliling ruangan. 

Perempuan itu kembali sambil membawa dua kaleng cola dingin, dan sebuah pigura sedang.  "Nih.." Katanya sambil menyerahkan satu kaleng cola padaku, dan juga pigura yang dibawanya.
Aku menerima pigura itu dan mengamatinya.
Pigura itu berisi sebuah foto yang memuat gambar perempuan itu dan seorang pria yang tampan dan serasi dengannya.
Di dalam foto itu, pipi sang perempuan tampak lebih berisi dari yang sekarang terlihat.

"Namanya Rian.." Kata perempuan itu sambil membuang nafas pelan. Terdengar sedikit putus asa di nada bicaranya. 

"Jadi, si Rian ini yang bikin kamu nangis?" Tiba-tiba mulut tak tau situasiku ini melontarkan pertanyaan bodoh. Perempuan itu langsung terdiam dan ekspresinya berubah sedih. Aku merasa tak enak hati. 

"Bukan, bukan Rian yang bikin saya nangis. Kamu mau tau?" 

"Apa?" 

"Saya nangis karena apa. Mau tau?" 

"Kamu mau kasih tau?" 

"Saya nangis setelah tahajud, saya nangis karena doa-doa saya, saya nangis karena saya takut." 

"Takut apa? Mati?"

Dia menggeleng.

"Saya takut mengkhianati Tuhan saya."

"Maksudnya?"

"Menuut kamu, apakah kita harus selalu sama untuk bisa bersama-sama?" Ia bertanya sambil terisak pelan.
Ah, lagi-lagi aku bisa merasakan sakit yang dia rasakan kewat tangisnya.
Apa yang kulakukan disini? Harusnya tadi aku langsung permisi, tak mengganggu orang lain dan tak perlu membuatnya menangis lagi seperti ini.
Secara teknis, dia memang tidak menangis karena aku, tapi karena masalahnya. Tapi kalau tadi aku tak membuatnya bercerita, mungkin saat ini dia sudah tidur dan tidak menangis lagi.
Jadi bisa dikatakan, akulah yang membuatnya menangis, tapi dalam konteks yang berbeda.

"Terus?"

Ia mengusap air mata yang membasahi pipinya, lalu tersenyum dan berkata, "Besok saya dan Rian akan ambil penerbangan pertama ke Singapura."

Aku masih bingung apa maksudnya tapi enggan bertanya, takut kalau-kalau dia akan menangis lagi. Dia juga sepertinya enggan menjelaskan lebih lanjut.

Dari jam dinding berwarna hitam yang menggantung di hadapanku, aku tau ini sudah waktunya untuk pamit dan kembali ke kamar.  "Oh gitu. Yaudah mba.., sorry, siapa? Kita belum kenalan" kataku sambil mengulurkan tangan kanan. 

Dia menyambut jabatan tanganku dan berkata, "Tita. Saya Tita." 

"Oke mba Tita, saya Andra, saya permisi dulu ya. Maaf sudah ganggu.." 

Setelahnya aku lupa bagaimana, yang aku tau aku sudah ada di kamarku dan terjaga hingga pagi memikirkan cerita cinta orang lain. Untungnya hari ini adalah hari minggu, jadi tak apalah tidurnya bisa diganti dengan tidur siang.

Kasihan sekali orang-orang seperti Tita itu, pantas saja dia sering menangis malam-malam buta.

*Ding!*
Nyala notifikasi dari handphoneku.
Sebuah pesan singkat masuk.

Pacarku;
Sayang kemana sih ga bales chat aku? Aku kebaktian pagi ini ya. Kamu jadi balik ke rumah untuk ikut tahlilan keluargamu? Aku titip kirim kue buat Mama.

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now