Kun 3

186 4 0
                                    

Episode demi episode telah terlampaui demi siklus yang kadang kala terkontrol atau bisa saja bubar semrawut menyimpang dari schedule. Babak-babak baru telah bermunculan mengintai otak-otak yang semakin waktu menjulang tinggi. Rumit... ya, semuanya semakin rumit, karena adakalanya pertunjukan mengharuskan diri untuk menjadi aktor komedi, horror, atau bahkan kisah pilu. Apakah kau juga seperti itu kawan? Ya memang harus seperti itu yang dijalankan, jika kau menginginkan ada cerita yang kau persembahkan untuk anak cucu atau Cuma dirimu, kau harus membuat sebuah alur serta konflik dalam cerita hidupmu agar pembaca atau pendengar dapat menjadikan dirimu sosok idola yang menginspiratif.

Ramai, menggelegar, menghiasi lobang-lobang telinga dalam udara hitam yang dingin. Turbulensi bumi tidak dapat terkontrol dengan baik, dan siapapun tidak bisa mengontrolnya meski dengan bantuan professor pula. Angin yang terus-menerus bersuara mengajakku berangan-angan dalam ruang empat meter persegi. Bersama sahabatku si guling aku menceritakan kisahku yang konyol, kisah bodohku, atau kisah-kisah tentang kasih yang enggan berterima kasih. Akankah diri ini terus-menerus tampil menjadi aktor yang kuper, bernafas sekadarnya, dan tak mau berkolega? HARUS!! HARUS KURUBAH.

Seperi biasa, saat jarum jam menunjuk jam istirahat, lagi, lagi, dan lagi, aku tak beranjak dari bangku kayu yang kutunggangi. Kali ini aku tak mau hanyut dan terseret oleh bunga lagi, meskipun itu sangat mengkilau dan menggelitikkan. Jangan sampai pula aku junub yang kedua kalinya didalam kelas. Aku harus merubah kebiasaan itu.

Sepersekian detik aku mulai beranjak dari tunggangan coklat itu. Kususuri ubin-ubin hingga pada akhinya aku berdiri persis pada mulut kelas. Berdiri terdiam dengan pundak kanan menempel pada kayu yang telah dipernis coklat mengkilat aku tertegun-tegun. Kedua bola mata kadang kala hanya terpaku pada satu titik. Sengaja memang, tapi apa yang aku pandang tidak dapat kuceritakan secara detail. Hanya saja pikiran ini tak tertuju pada objek yang kupandang shingga antara mata dan otak tidak ada kontras yang jelas kala itu.

Lantas tiba-tiba seperti ada yang menabok mataku secara kilat didepan objek yang aku pandang, hingga menyadarkan ketidak kontrsan ini. Ya, pria berbadan kering, dengan rambut keriting berponi lari didepanku. Dia adalah Deri, pria jahil yang selalu berbuat onar didalam kelas bahkan diluar kelaspun juga demikian onar, sehingga dirinya hampir dikeluarkan dari sekolah karena point yang dikumpulkannya telah melewati batas wajar. Untung saja orang tua Deri adalah komite sekolah, sehingga meskipun ia berbuat onar paling-paling cuman dihukum lari mengelilingi sekolah atau sekedar membersihkan kamar mandi. Kali ini aku berusaha menyapanya, meskipun dalam hatiku masih ragu. Karena jika sekali aku kenal dekat dengannya pasti dia mengajakku berbuat onar pula. Tapi diriku juga bingung, aku tak mau terus-terusan sendirian dan menjadi orang kuper yang tak punya teman. Ah, lupakan saja.... Aku tak mau mengkhianati niatku sendiri.

"Deri". Sapaku sedikit ragu.
"Eh, iya Zal?". Dengan gesit Deri berusaha mengerem laju larinya, dan menoleh kearahku dengan wajah bertanya-tanya.
Wajar saja ketika aku menyapanya, Deri sedikit bingung atau bertanya-tanya, karena semenjak kita menjadi sesekolah atau bahkan sekelas aku tak pernah menyapanya sekadar basa-basi, yaa.. mungkin sesedikit kalau aku butuh doang.
"Ka.. Kau mau kemana Der?". Tanyaku sedikit terbata-bata.
"Biasa Zal, sama kawan-kawan". Sahutnya sedikit meringis.
"Aku boleh ikut kah?". Tanyaku sedikit ragu.
"Ka.. Kau yakin Zal?, aku tak salah mendengar kan?". Dia mulai menghunuskan nada yang sedikit terangkat, diantara matanya juga mengkerut agaknya kakek-kakek.
Astaga... aku harus apa? Sudah terlanjur menyapanya juga. Hatiku kembali mengomel sedemikian rupa, tapi tak sampai didengar olehnya. Badanku seperti dihujani pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir.
"I.. iya Der aku yakin". Jawabku terbata-bata.
"Sungguh itu kau? Seorang Rizal yang kuper itu?". Pertanyaan boomerang malaikat konyol ini terlontar kedua kalinya, mungkin seperti sebuah alibi bagi anggapannya. Aku kembali meyakinkan hati ini, bahwa aku masih berdiri tegak diatas tanah, bukan dialam baka dengan hujan pertanyaan SIAPA TUHANMU, melainkan menyangkut SIAPA DIRIKU.
"Iya aku sungguh!". Jawabku kembali meyakinkannya.
"Ya.. yasudah ayo jalan". Deri yang sedikit terkaku-kaku itu menarik tangan kananku.

Aku diajaknya lari menuju kamar mandi cowok, entah kenapa harus kamar mandi tempat yang ia pilih. Padahal setahuku lapangan basket lebih mengasikkan, atau kalau enggak ke lapangan volley, tapi... yasudahlah TERLANJUR IKUT.

Tepat dibibir kamar mandi, aku tercengang dan tertegun-tegun, beberapa kawan telah mengisi sudut-sudut ruang yang membuat lobang hidung menjerit-jerit. Bukan hanya sedikit pengap, tetapi juga sangit. Ada yang melinting daun kering dengan sedikit nikotin dan dibalut dengan selembar kertas kecil manis untuk menghasilkan beberapa batang cerutu. Ada pula yang menjulurkan moncongnya memproduksi butiran asap bolong berkali-kali. Ruang ini telah disulap dengan menjadi cerobong asap yang mengepul, tampak dari luar seperti pabrik gula yang benar-benar terbakar.

Sungguh pemandangan yang asing bagiku, karena aku tak pernah sesekali mendapati ruang atau tempat-tempat yang begitu pengap dengan asap. Dirumah juga demikian, tak ada orang-orang bercerutu kecuali tamu. Ayahku selalu menancapkan berbagai pengetahuan tentang nikotin hingga isi kepala menjadi kembung. Belum lagi pemandangan lukisan dua dimensi yang mengisahkan berbagai problema tubuh yang kering, kedua paru yang menjadi arang, bibir-bibir mungil ndoweh yang terbakar, bahakan kisah balita yang senang melihat induk jantannya bercerutu, terpampang dan tercover dengan baik dipucuk rumah cerutu. Aku sadar betul dengan inisiatif lembaga kesehatan itu, tapi aku juga lebih tersadar bahwa iklan kesehatan telah berhasil memasarkan produk-produk cerutu dengan tanjakan jumlah konsumen yang konstan meluber setiap detiknya. Senang rasanya jika para pakar kesehatan serta pendidik mengajarku bagaimana cara menindas cerutu, tapi aku lebih senang jika melihat mereka mematik korek dengan cerutu.
***
Lamat-lamat derap langkah kaki membawa badan kearah kepulan asap dipojok ruang. Sebagian hati telah kekeh dengan memerintah melanjutkan gerakan kaki yang ragu-ragu. Sebagian hati yang lain berdemo menolak kebijakan hati yang pertama. Konflik panas telah terjadi begitu dahsyat dibalik dada. Jantung yang tak ikut-ikutan demo juga merasakan ketegangan konflik panas yang terjadi. Diujung atas peristiwa telah merasakan konflik itu, membuat bagian ini menjadi merah padam. Konflik panas akhirnya dimenagkan oleh hati pertama yang kekeh dengan niatnya, meski pada akhirnya tak merubah suasana ujung badan.
"Kau kesini?, apa kau tangan kanan dari pria gempal yang memata-matai kami sehingga kau jebloskan pada ruang kepala sekolah? " tanya Dandi (kawan akrab Deri) yang sedikit membuka kedua pelipis ingin memuntahkan bola matanya.
" ee... Ti.. Tidak tidak, a.. Aku sengaja kesini ikut Deri" bibirku seakan tak mau mengeluarkan nada yang teguh karena takut dengan jin dibalik pelipis Dandi.
"Santai Dan, Tak akan ada masalah. Ia sengaja aku ajak kemari, karena ia juga ingin gabung. Mungkin dia ingin menancapkan cerutu dimulutnya, hahaha". Wajah Deri seolah melucutiku dengan bibir merah kehitamannya, tapi bagi mereka itu adalah biasa.
"Oh... Nih untukmu Zal, coba dulu siapa tahu kau akan candu dengannya. Tapi hati-hati barang ini akan membunuhmu". Dandi menyodorkan sebatang cerutu yang dilintingnya kearah ku.
"Ya memang akan membunuhmu, bukan membunuhku". Jawabku sedit lancar.
"Hahaha... Kau mulai nakal Zal. Lanjukan kawan". Sahut Deri yang memperlihatkan sedikit mutiara putihnya.
Batang cerutu ini tak begitu membuat hidung bergidik, malah sedikit membuat hidung terkesima dengan wangi tembakaunya. Ujung cerutu mulai kutancapkan dibagian bibir dan kuapit dengan bagian bibir yang lain. Belum kusulut dengan api, namun terasa sudah manis.
" Sudah lah Zal, langsung sedooot. Jangan hanya melumatnya saja, ntar lama-lama kau telan lagi". Suara Dandi seolah menyuruh tangan ku mengangkatkan korek api.
Sedikit ragu, korek api kupetikkan diujung bagian yang lain dari cerutu. Semburan cahaya oranye menyulutnya. Perlahan ku sedot batang cerutu yang menempel diujung bibir. Kepulan asapnya mulai memenuhi ruang bibir. Belum kurasakan nikmatnya tapi tenggorokan menggelitik menolak.
"Uhuk... ". Kepulan asap itu meluber tak karuan.
"Hahaha... Kau lucu Zal". Deri menertawakanku bersamaan dengan Dandi dan juga yang lainnya.
Tiba-tiba merah padam merubah warna kulit wajahku. Tetapi perlahan-lahan bibir ini menyuruhku menghisapnya lagi. Satu dua hisapan juga demikian, namun akhirnya juga dapat menikmati cerutu itu hingga menyisakan panjang dua centi.
Sukses untuk pertama kalinya, membuat organ dalam dada meringis. Meski aku harus memasuki ruang kelas lebih lambat dari induk mamalia berbulu coklat itu.

Koe Ratune KunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang