Ana

1.4K 128 3
                                    

Aku tidak pernah membayangkan kejadian menyedihkan ini akan terjadi dalam hidupku. Aliran air yang deras mulai menenggelamkan Ana. “Tolong!” Aku sedang duduk di atas batu yang berjajar berantakan di sepanjang aliran air ketika Ana terpeleset dan menjerit meminta pertolongan. Lima meter di depannya, Ana akan jatuh ke bawah bersama aliran air terjun itu. Jarak kami hanya terbentang dua meter. Jantungku tiba-tiba berdenyut sakit. Kengerian luar biasa memenuhi setiap sel dalam tubuhku. Duniaku berhenti berputar. Aku kehilangan akal sehatku. Aku akan meloncat dan menyelamatkan Ana jika saja tangan kekar itu tidak menarikku ke arah sebaliknya.

“LO MAU MATI?!” Jeritan histeris Ardi memenuhi gendang telingaku, menarik paksa kesadaranku. Aku balas menjerit, tidak kalah histeris. “PACAR GUE MATI, GOBLOK!” Air mata keputusasaan merembas keluar dari mataku. Aku memberontak dari genggaman Ardi. “Lepasin!” Teriakku putus asa. Demi Tuhan, pacarku akan mati kalau aku tidak segera menolongnya!

Bukannya melepaskanku, Ardi justru memeluk tubuhku paksa. “DIAM!” Bentaknya, mengunci kepalaku di bahunya. Aku menjerit sambil memukul punggungnya sekuat tenaga. Waktuku tidak banyak. Ardi mati-matian menahanku, menarik kerah kemejaku ke belakang sampai aku merasa sesak karenanya. Aku balas meninjunya, menendangnya kakinya, dan menjambak rambutnya. Keputusasaan bercampur tangis histerisku tak juga melemahkan pelukan Ardi padaku. Dia tidak mau melepaskan kunciannya pada kepalaku. Kemudian, semua terjadi tak kurang dari satu menit. Tubuh Ana jatuh dari ketinggian sembilan meter, dan hanya Tuhan yang tahu apa yang terjadi padanya.

“ANA! ANA!” Aku memanggil-manggil nama pacarku dengan sisa kekuatan yang kupunya. Setelah itu, pandanganku berkunang-kunang dan tubuhku rasanya tidak bertenaga. Aku hilang kesadaran dengan gumaman lemah di bibirku.

###

Bunga kertas pemberian Ana mulai berbunga. Warnanya orange, cerah seperti warna mentari. Benar katanya, halaman rumahku akan lebih bagus ketika dipenuhi tanaman. Sudah satu bulan berlalu. Satu bulan yang sangat panjang.

Apa kabar, Ana? Aku pikir kamu sedang sibuk dengan dunia barumu, sedangkan aku sendirian di sini. Masih dibayangi sosokmu yang menjadi favoritku selama kurang lebih dua tahun.

Semilir angin sedikit menggoyangkan daunnya, membuat keseluruhan bagian bunga kertas itu bergerak. Secangkir kopi Glatik masih mengepulkan asap, panas tapi menenangkan. Kegelisahan yang sejak pagi kupendam perlahan mulai menampakkan wujudnya. Aku rindu kamu, Ana.

Aku duduk tenang di kursi goyang tua peninggalan pendahuluku, selagi pikiranku mengembara mencari tuannya. Rumah begitu sepi tanpa kehadiran Ana. Biasanya, dia sering mampir sepulang kerja atau sebelum pulang kampung. Aku yang tinggal sendirian di rumah peninggalan orangtuaku merasa sangat terbantu dengan kehadirannya. Terkadang dia sampai repot-repot menyapu, mengepel, dan merapikan rak bukuku di hari Minggu.

Ana begitu riang, sulit membayangkan dia telah tewas setelah jatuh dari air terjun kutukan itu. Aku menyeka perlahan air mataku. Rasa sesak memenuhi rongga dadaku, mengedarkan racun bernama penyesalan. Selalu begitu ketika aku mengingatnya. Ah, seandainya aku tidak mengajaknya ke sana kala itu.

Tanganku secara otomatis mencari pelarianku, sebungkus Dji Sam Soe yang masih tersegel rapi. Aku membuka segelnya dan mengeluarkan sebatang rokok favoritku, cepat-cepat menyelipkannya ke bibir. Aku menyalakan pemantik, membakar ujungnya, menyedotnya dalam satu hisapan, dan pikiranku pun kembali tenang. Hanya sedikit, entah sisanya. Aku belum menemukan cara lain untuk menghilangkan hantu masa laluku.

Menuju batang kesebelas ketika deru motor yang familiar memasuki pekarangan rumahku. Pasti dia lagi.

Tebakanku benar. Ardi turun dari motornya dan berjalan ke arahku. Seperti biasa, dia menenteng satu kantong plastik putih di tangan kirinya. “Lo udah makan?” Katanya, meletakkan bungkusan itu ke atas meja di sampingku. Bersebalahan dengan kopi Glatik yang masih utuh. Lagi-lagi aku lupa meminumnya. Berapa jam aku duduk di sini? Kenapa jalanan tiba-tiba jadi gelap?

Aku diam saja, masih asyik menyedot lintingan ramping campuran tar dan nikotin dalam mulutku. Sejak kejadian naas itu, aku lebih sering mengabaikan Ardi dibandingkan sebelumnya. Sulit rasanya berdekatan dengan seseorang yang sedikit banyak mendukung kematian Ana. 

Dia merenggut rokok dari mulutku yang sedikit terbuka,  membuatku menoleh marah ke arahnya. “Apa?!” Kataku, sengit. Berani-beraninya dia menarik rokokku tanpa permisi.

Dia melempar sisa rokokku ke halaman. “Rokok gak baik buat kesehatan. Mending lo makan, Man.” Balasnya, cerewet seperti Ibu-ibu. Apa peduliku? Siapa dia? Berani-beraninya mengaturku!

“Cerewet. Balikin.” Kataku sembari merampas bungkus rokok yang akan dibuangnya juga ke halaman. “Kenapa lo masih ganggu hidup gue? Sana pergi. Jangan datang ke sini lagi.” Usirku, kasar. Aku tidak pernah mengizinkannya datang ke rumahku sejak kematian Ana, tapi dia selalu datang setiap malam. Membuatku muak.

“Salman! Ana gak akan balik sekalipun lo bertingkah gini!” Mendengar kalimatnya, aku bangkit berdiri dan meninju pipinya. Dia terhuyung ke belakang sembari memegangi pipinya.

“APA LO BILANG?” Belum sempat dia berdiri tegak, aku sudah menarik kerah kemejanya paksa. “Kenapa lo menahan gue waktu itu!” Rasa marah yang berusaha kutahan selama sebulan ini, akhirnya keluar dan terucap begitu saja pada Ardi.

Ardi masih memegangi pipinya, sambil melemparkan tatapan kesalnya ke arahku. “Lo tuh gak tahu terima kasih! Gue sengaja menarik lo supaya lo tetap hidup!” Jeritnya, berusaha mendorong tanganku menjauh dari kerahnya. Tak kubiarkan hal itu terjadi. Aku semakin kuat menarik kerahnya.

“Demi Tuhan! Ana mati. Pacar gue mati. Dia mati di depan gue. Gue gak bisa menolongnya karena lo! Teganya lo!” Aku tidak bisa menahan luapan emosi yang menguasai jiwaku. Aku mulai menangis histeris di depan Ardi. Di sela tangisku, aku berteriak memanggil-manggil nama Ana.

Ardi menggoyangkan bahuku berulang kali. “Gue suka lo!” Bentaknya, putus asa. “Mana bisa gue lihat lo mati di depan gue!” Dia memelukku dan menjatuhkan kepalanya di bahuku, lalu dia mulai menangis. Aku yang kaget dengan ucapan dan tindakannya sampai menghentikan tangisku. Entah belas kasihan darimana yang tiba-tiba ada dalam diriku, perlahan aku balas memeluknya. Tubuhnya bergetar hebat di pelukanku. Pada akhirnya, kami berdua menangis dalam penderitaan yang sama. 

###

Selamat membaca, jangan lupa vote dan comment ya :v

25/01/19

AntaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang